Kehati-hatian Para Salaf Saadah Alawiyyin Kepada Penguasa

 


Jum'at, 27 Agustus 2021

Faktakini.info

Kehati-hatian Para Salaf Saadah Alawiyyin Kepada Penguasa

Satu waktu seorang raja Hadhramaut yang sholeh, Sultan Badar bin Abdullah Al-Katsiri bermaksud mengunjungi Al-Quthub Al-Imam Umar bin Abdurrahman Al-Atthas, penyusun Ratib Al-Atthas yang terkenal. Sebelum masuk kota Huraidhah dimana Imam Al-Atthas tinggal, sang raja memerintahkan pembantunya untuk mengabarkan kedatangannya.

Namun Imam Al-Atthas mencegahnya dan berkata bahwa beliau yang akan mendatangi raja di kemahnya. Ini semata-mata karena beliau tidak mau membebani masyarakat Huraidhah jika harus menjamu raja dan rombongannya yang banyak. Demikian diantara kedermawanan masyarakat Huraidhah, jika ada tamu rombongan yang datang ke kotanya, mereka akan bersama-sama mempersiapkan jamuan.

Imam Al-Atthas kemudian datang ke kemah raja dengan membawa segala sesuatu keperluannya, termasuk kopi dan madu, serta arang dan api untuk memasaknya. Kopi tersebut yang nantinya akan dihidangkan ketika beliau berbincang dengan raja. Melihat apa yang dibawa Imam Al-Atthas, para pembantu raja memberitahukan bahwa segala sesuatu telah disiapkan. Namun Imam Al-Atthas menjawab bahwa beliau tidak akan menggunakan sesuatu pun dari raja.

Ketika Imam Al-Atthas memberikan nasihat, petuah dan wejangan yang didengar dengan seksama oleh raja, tanpa terasa kopi mereka hampir habis. Imam Al-Atthas yang kala itu telah hilang pengelihatannya, tidak bergeming ketika raja memerintahkan pembantunya untuk menambahkan kopi. Pembantunya pun lalu memasak air untuk kopi tersebut.

Saat itulah hal aneh terjadi. Setelah sekian lama dimasak, air tersebut tak kunjung matang. Karena lama, raja memerintahkan untuk dituangkan seadanya. Namun ketika hendak dituangkan, mendadak semua air dalam tungku habis sama sekali. Imam Al-Atthas lalu memberitahukan bahwa hal itu terjadi sebab beliau enggan menggunakan api dari kerajaan, karena sifat wara'nya (kehati-hatian) yang tinggi.

Demikianlah yang diajarkan salaf-salaf Saadah Alawiyyin terhadap penguasa. Mereka tidak melarang ulama menghadap penguasa selama itu untuk tujuan baik, seperti memberi nasehat dan mencegah kemudharatan. Bukan untuk kepentingan duniawi, bahkan mereka sangat berhati-hati untuk urusan duniawi yang bersumber dari penguasa.

[Sumber : Kitab Minhajussawi Syarah Ushul Thariqah Saadah Ba'alawi juz II hal. 169-170 karya Habib Zein bin Ibrahim Bin-Sumaith].

l