Kisruh PAN dan Elektabilitas Partai Menyongsong Pemilu 2024

 

Rabu, 4 Agustus 2021

Faktakini.info

*KISRUH PAN DAN ELEKTABILITAS PARTAI MENYONGSONG PEMILU 2024*

Oleh : *Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik

Belum lama ini, internal Partai Amanat Nasional (PAN) dikejutkan oleh kabar adanya Gugatan kader yang menuntut Ketua Umum DPP PAN Zulkifli Hasan untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 100 Miliar. Meski Penulis berkedudukan sebagai advokat dalam kasus tersebut, namun tulisan ini bukan dibuat untuk dan atas nama Ellidanetti, kader PAN yang berkedudukan sebagai Penggugatnya.

Tulisan ini lebih dari sekedar analisis politik bagi masa depan PAN sehubungan dengan adanya prahara gugatan kader, setelah sebelumnya mengalami Tsunami politik pasca hengkangnya Amien Rais. Siapapun tahu siapa sosok Amien Rais, pendiri sekaligus tokoh sentral PAN.

Gugatan Ellidanetti, menjadi semacam konfirmasi banyak masalah di internal PAN sekaligus menguatkan posisi Amien Rais yang mengambil pilihan hengkang dari PAN dan mendirikan Partai Umat. Karena itu, kasus gugatan kader ini jika tidak hati-hati mengelolanya dapat berkonsekuensi pada melorotnya atau setidaknya turunnya elektabilitas PAN.

Perlu diketahui bukan hanya PAN yang diterpa guncangan politik. Sebelumnya, Partai Demokrat juga mengalami guncangan dahsyat akibat kudeta partai yang dilakukan oleh KSP Moeldoko. Namun, ada perbedaan mendasar antara guncangan Partai Demokrat via kudeta KSP Moeldoko dengan gugatan Kader PAN Elidanetti. Karena itu, PAN perlu memperhatikan hal-hal yang substansial, diantaranya :

*Pertama,* Kudeta KSP Moeldoko berasal dari kekuatan eksternal partai. Segelintir tokoh pecatan Demokrat yang berhimpun dengan KSP Moeldoko tidak mengganggu soliditas partai.

Bahkan, KSP Moeldoko dianggap sebagai 'Common Enemy' di internal Partai Demokrat, sehingga hal itu justru menguatkan kohesi internal kader. Isu Kudeta KSP Moeldoko, selain menguatkan soliditas internal Partai Demokrat juga melambungkan elektabilitas partai karena dipersepsikan publik sebagai korban kezaliman rezim mengingat KSP Moeldoko tidak lepas dari eksistensi rezim Jokowi.

Adapun Gugatan Kader PAN Elidanetti justru membuka potensi kader-kader lain yang merasa dizalimi oleh otoritas partai ikut bersuara. Keadaan ini, memicu friksi internal dikarenakan sangat mungkin sejumlah kader menggunakan isu ini untuk bermanuver memainkan peran politik untuk mencapai tujuannya.

Disamping itu, gugatan Kader PAN Elidanetti dapat menggerus atau setidaknya mengurangi elektabilitas PAN setelah sebelumnya cukup kelimpungan karena ditinggalkan Amien Rais. Sangat wajar, jika publik membenarkan sikap Amien Rais yang memilih meninggalkan partai yang pernah didirikan dan dibesarkannya, sebab ternyata kader PAN lainnya juga diperlakukan tidak jauh berbeda.

*Kedua,* Gugatan Kader PAN Elidanetti juga akan menguras energi PAN dan apalagi jika Elidanetti selain menempuh upaya hukum juga melakukan sejumlah manuver politik untuk membela hak hukumnya. Meski ada potensi dapat diatasi, namun energi yang dikeluarkan akan lebih optimal dan potensial jika digunakan untuk membesar partai, bukan melayani gugatan kader.

Kondisi ini jika berlarut-larut, akan berpotensi mengakibatkan menurunnya kepercayaan kader pada penyelesaian kasus yang diadopsi partai. Bukannya menambah soliditas partai, boleh jadi kader justru akan banyak mengajukan komplain terhadap penanganan perkara tersebut.

*Ketiga,* PAN tidak dapat memprediksi ada atau tidaknya elemen eksternal partai atau bahkan penguasa yang akan memanfaatkan situasi ini. Boleh jadi, akan banyak pihak yang bermain api atau mencoba mengail di air yang keruh.

Kalaupun PAN dapat selamat dari kubangan lumpur tapi PAN pasti tercoreng oleh pekatnya lumpur kasus ini. Sehingga, posisi ini menjadikan PAN tidak independen dan tidak bisa bersikap merdeka dalam menentukan kebijakan, keputusan bahkan hingga sikap politiknya.

Meskipun Elidanetti bukan kader inti, bukan elit PAN, namun magnitud kasusnya tidak dapat ditakar dengan kalkulasi politik konvensional. Di Era Sosmed, kasus kecil pun bisa membesar jika salah kelola.


Penulis kira, persoalan ini telah dikalkulasi secara baik oleh petinggi PAN. Memperpanjang kasus dengan potensi terekspose ke publik lebih luas, bukanlah pilihan bijak saat PAN paham elektabilitas partai akan terancam karena itu. Apalagi, prahara partai ini terjadi mendekati tahun politik 2024. Semestinya, saat ini semua energi PAN harus difokuskan untuk gawe Pemilu 2024, bukan yang lain. [].