Membantah Fitnah BuzzeRp ke Anies: Kelebihan Bayar Dalam Hasil Audit BPK Tidak Sama Dengan Korupsi


Selasa, 10 Agustus 2021

Faktakini.info

Tatak Ujfiyati

Kelebihan Bayar dalam hasil audit BPK tidak sama dengan korupsi

Akhir-akhir ini jagat twitter diramaikan dengan posting yang menyudutkan Anies Baswedan. Memasang berita temuan hasil audit BPK, menggarisbawahi kelebihan bayar lalu memberi stempel korupsi. Posting mereka itu hoaks, yang mengandung disinformasi. Sebab kelebihan bayar dalam hasil audit BPK tidak sama dengan korupsi.

Audit BPK dan Penyelidikan oleh Aparat Penegak Hukum itu beda ranah, atau beda rejim istilahnya. Audit BPK dilakukan atas laporan keuangan yang menghasilkan sejumlah temuan dan rekomendasi, yang harus ditindaklanjuti oleh lembaga-lembaga yang diaudit. Mereka itu adalah kementerian, lembaga, pemerintah daerah, dan BUMN/ BUMD. BPK melakukan audit laporan keuangan rutin setiap tahu kepada lembaga-lembaga itu. Yang hasilnya berupa opini, mulai dari yang paling bagus yaitu WTP, WDP, sampai yang paling jelek yaitu TMP. 

BPK adalah lembaga audit negara, bukan penegak hukum, jadi tidak bisa membuat kesimpulan apakah telah terjadi korupsi atau tidak. Soal yang terakhir ini merupakan ranah dari aparat penegak hukum untuk menyelidikinya, menyidiknya, lalu kebenarannya akan dibuktikan melalui proses sidang di pengadilan.  

Jadi karena audit BPK dan penyelidikan oleh aparat penegak hukum itu memiliki jalur yang berbeda maka temuan BPK berupa “kelebihan bayar” tak serta merta berarti korupsi. Kita tahu tindak pidana korupsi memiliki definisinya sendiri. Yang menurut UU Tipikor korupsi itu harus memenuhi unsur melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan/kesempatan/sarana, memperkaya diri sendiri/orang lain/korporasi, merugikan keuangan/ perekonomian negara.

Hasil audit BPK tak menyelidiki sampai pada motif dan unsur-unsur tindak pidana korupsi dalam temuan kelebihan bayar itu. BPK juga tahu bahwa kelebihan bayar itu banyak faktornya, yang seringkali hanya soal administratif belaka, dan bukan pelanggaran hukum. Contohnya lebih bayar karena perbedaan kurs mata uang. Kita tahu kurs mata uang asing fluktuatif bukan, sehingga belanja barang impor pasti mengalami perbedaan semacam ini. 

Demikian juga lebih bayar karena volume pekerjaan berkurang. Mengapa berkurang, bisa jadi karena barang yang dibutuhkan untuk membangun nggak ada di pasaran. Lebih bayar karena harga barang lebih mahal dari seharusnya, bukan karena niat tapi karena situasi pandemi. Pernah kan kita alami masker medis lenyap di pasaran, atau jika ada barangnya mahal, karena permintaan yang terlalu tinggi? Hal-hal semacam itu, tentu saja bukan korupsi.

Memang sih ada hubungannya penegak hukum dan lembaga audit negara. Tak jarang aparat kepolisian, kejaksaan atau KPK meminta kepada BPK (dan BPKP) untuk melakukan audit dengan tujuan tertentu. Biasanya untuk mendalami satu kasus, yang temuannya nanti bisa ditindaklanjuti ke tahap penyelidikan dan penyidikan. Namun tetap saja, hasil audit BPK itu masih melalui proses hukum yang panjang dan putusan pengadian untuk sampai pada kesimpulan telah terjadi tindak pidana korupsi. 

Sementara itu para pendengung dengan semangat menihilkan akal sehat demi menjatuhkan kredibilitas Anies. Bahasa mereka sudah memakai prinsip pokoknya, khusus untuk DKI Jakarta kalau ada kelebihan bayar berarti korupsi. 

Mereka tak peduli bahwa temuan BPK itu tidak hanya Jakarta. Risalah laporan audit BPK semester I tahun 2020 mencatat 7.868 temuan dengan 13.567 permasalah di 680 kementerian/lembaga/pemda. Dengan potensi kerugian sejumlah Rp 8,87 Triliun. Termasuk diantaranya kelebihan bayar di banyak lembaga. Tapi yang diributkan hanya DKI. Nasib Pak Anies memang terus disalah-salahkan, walau tidak salah.

Lebih detail, mari kita bahas satu-satu apa yang mereka tuduhkan. Soal temuan BPK bahwa ada pegawai yang sudah meninggal/pensiun/berhenti tapi tetap dibayar. Benar dan DKI terimakasih pada temuan BPK, persoalanpun telah diselesaikan. Orang-orang yang terlanjur dibayar telah mengembalikan uangnya ke kas Pemprov DKI. Urusan DKI selesai. Tapi mereka semua lupa persoalan ini bukan cuma persoalan Jakarta. 

Bandingkan: DKI itu hanya 103 orang vs Indonesia ada 97.000 orang yang misterius tapi tetap menerima gaji. Persoalan Jakarta itu hanya 0.1 % saja dari persoalan Indonesia. Teramat sangat kecil. https://www.jawapos.com/nasional/24/05/2021/bkn-ungkap-97-ribu-data-pns-misterius-gaji-dibayar-orangnya-tak-ada/

Soal pengadaan rapid antigen dan masker bukan kelebihan bayar namanya, tetapi hanya dianggap kemahalan karena soal administratif belaka. Kita tahu pada masa darurat, dimana masker dan alat rapid antigen sempat lenyap di pasaran karena permintaan yang terlalu tinggi. Lembaga-lembaga seperti Dinkes DKI terpaksa harus membeli harga dengan lebih mahal dari harga pasar demi menyediakan masker untuk tenaga kesehatan dan rapid tes untuk tracing kasus covid. Cek saja, saya kira ini bukan hanya persoalan DKI. Untuk ini temuan BPK juga tak rekomendasikan pengembalian uang dari pengadaan. Masker https://ppid.jakarta.go.id/view-pers/2401-SP-HMS-08-2021. Rapid antigen https://ppid.jakarta.go.id/view-pers/2401-SP-HMS-08-2021

Apalagi mengenai KJP Plus ya. Sangat mudah dicek akurasinya, sebab sistem pemberian KJP Plus itu sudah online dan pakai sistem transfer ke rekening penerima (cashless). Sulit dikorupsi. Kepala Dinas Pendidikan memastikan bahwa penyaluran pada 1.145 siswa yang dicutigai itu telah sesuai dengan hasil verifikasi dari sekolah/madrasah. Temuan lapangan, hanya ada 1 org yang telah dibatalkan kepesertaannya karena telah lulus sekolah. 

https://ppid.jakarta.go.id/view-pers/2400-SP-HMS-08-2021

Inspektorat DKI Jakarta menegaskan bahwa temuan BPK bersifat administratif pada LKPD tahun anggaran 2020, dan tak timbulkan kerugian keuangan Daerah. Dus bukan kelebihan bayar namanya, apalagi korupsi. BUKAN. https://ppid.jakarta.go.id/view-pers/2404-SP-HMS-08-2021

Soal kelebihan bayar di Trans Jakarta juga bukan soal korupsi, tapi karena adanya perbedaan peraturan perundang-undangan yang menyebabkan perbedaan perhitungan subsidi Pemda kepada Trans Jakarta. Perda nomor 10 tahun 2014 menyatakan bahwa perhitungan subsidi harus memperhitungkan pendapatan tiket dan non tiket. 

Sementara Peraturan Gubernur tahun 2016 menyebutkan perhitungan subsidi hanya memperhitungkan pendapatan dari tiket. Sementara Peraturan Pemerintah nomor 54 tahun 2017 menyebutkan bahwa laporan keuangan proyek penugasan harus dipisah dari proyek komersial. Yang menyebabkan adanya berbedaan perhitungan jumlah subsidi hingga Rp 415 M. 

Tidak ada kesalahan apapun sebenarnya karena ada 2 landasan aturan yang berbeda. Tapi Trans Jakarta tetap memenuhi rekomendasi BPK dengan mengembalikan dana tersebut ke kas Pemda.  https://www.merdeka.com/jakarta/mengapa-pemprov-dki-bisa-lebih-bayar-subsidi-transjakarta-hingga-rp415-miliar.html

Jelas sudah, untuk kasus-kasus temuan BPK di DKI yang dituduhkan para pendengung itu tidak selalu bernama lebih bayar yang harus dikembalikan kepada negara. Rekomendasi BPK sudah ditindaklanjuti. Tak ada unsur melawan hukum, tak ada kerugian negara, tak ada unsur memperkaya diri sendiri/orang lain, tak ada unsur menyalahgunakan jabatan. Jelas bukan tindak pidana KORUPSI.

Kalau ingin tahu kasus kelebihan bayar yang terkait dengan kasus korupsi ada. Yaitu Bansos di Kementerian Sosial. Hasil audit BPKP menyatakan ada kelebihan bayar, di sisi lain KPK juga telah menangkap basah pejabat yang mengutip uang bansos. https://news.detik.com/berita/d-5564761/kemensos-kelebihan-bayar-vendor-bansos-rp-74-m-baru-kembali-rp-5-m


Jelas sudah yang dimaksud dengan temuan kelebihan bayar tak selalu berarti korupsi, seperti yang didengungkan buzzers.


Tatak Ujiyati

(Catatan Pagi)