Perseteruan tentang Perbudakan dan Perang Saudara Amerika
Kamis, 12 Agustus 2021
Faktakini.info
Hi Historimean!
Membicarakan Amerika Serikat, tak lengkap rasanya bila kita tidak melihat dengan baik Sejarah negara adidaya ini. Semenjak mendeklarasikan kemerdekaannya pada 4 Juli 1776, AS kemudian berkembang menjadi negara baru dan besar. Namun dibalik semua itu, ternyata AS pernah mengalami konflik perang saudara. Perang saudara ini terjadi selama empat tahun, yaitu antara 12 April 1861 sampai 9 Mei 1865. Perang Saudara Amerika adalah perang antara Amerika Serikat (di utara) yang memiliki 23 negara bagian, dengan 11 negara bagian di wilayah selatan yang memisahkan diri dan membentuk negara Konfederasi Amerika. Sebelas negara bagian di wilayah selatan tersebut adalah Carolina Selatan, Mississippi, Florida, Alabama, Georgia, Louisiana, Texas, Virginia, Arkansas, Tennessee, dan Carolina Utara, yang mulai memisahkan diri dari tahun 1860-1861.
Konflik Perang Saudara ini dilatarbelakangi oleh perbedaan dalam menyikapi masalah perbudakan. Negara Kesatuan yang terdiri dari 23 negara bagian menginginkan dihapuskannya perbudakan. Sedangkan 11 negara bagian yang membentuk Negara Konfederasi menginginkan tetap berlangsungnya perbudakan. Negara Kesatuan di utara telah mapan dengan perusahaan manufaktur dan industrinya, sehingga penduduknya menentang perbudakan. Sementara penduduk Negara Konfederasi di selatan sangat pro terhadap perbudakan, karena sektor ekonominya bergantung pada pertanian yang digarap oleh para budak kulit hitam. Setelah itu, muncul abolisionisme (gerakan untuk menghapus perbudakan) yang semakin membuat penduduk di wilayah selatan kalang-kabut. Keadaan semakin memanas saat Abraham Lincoln, yang anti perbudakan, terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat pada November 1860.
Setelah Lincoln menang, banyak pemimpin Selatan merasa bahwa perpecahan adalah satu-satunya pilihan mereka. Maka dimulailah perang saudara antara Negara Kesatuan yang dipimpin oleh Presiden Abraham Lincoln dengan Negara Konfederasi yang dipimpin oleh Presiden Jefferson Davis. Konflik ini menjadi perang paling mematikan dalam sejarah Amerika yang menewaskan 620.000 tentara, jutaan lainnya luka-luka, dan menghancurkan sebagian besar wilayah selatan Amerika.
Masing-masing pihak memasuki pertempuran dengan harapan yang besar akan kemenangan awal. Meskipun Negara Kesatuan memiliki banyak keunggulan, namun pihak Konfederasi juga memiliki keuntungan mulai dari kondisi geografisnya sampai dengan militernya yang kuat karena memiliki pemimpin-pemimpin yang lebih berpengalaman. Pertempuran besar yang pertama terjadi di kota Bull Run, Virginia dekat Washington. Pertempuran itu langsung mematahkan harapan pihak manapun bahwa kemenangan akan diraih dengan cepat atau mudah. Pihak selatan (Konfederasi) selalu menang pada pertempuran di barat. Sedangkan pihak utara (Negara Kesatuan) selalu menang pada pertempuran di timur.
Pasukan Persatuan dan Konfederasi bertemu di Teluk Antietam dekat Sharpsburg, Maryland, pada 17 September 1862. Ini adalah hari paling berdarah. Lebih dari 4.000 meninggal di masing-masing pihak dan 18.000 terluka.
Antietam juga membuka kesempatan bagi Presiden Lincoln untuk mengeluarkan Proklamasi Emansipasi awal, yang menyebutkan mulai 1 Januari 1863, semua budak dalam semua negara bagian yang memberontak terhadap Persatuan dibebaskan. Hal ini kemudian berdampak pada banyaknya para budak yang bergabung dengan tentara Negara Kesatuan. Pada pertempuran di Gettysburg, lebih dari 3.000 pasukan persatuan dan hampir 4.000 pasukan Konfederasi tewas, yang terluka dan hilang terhitung lebih dari 20.000 orang di masing-masing pihak. Pada 19 November 1863, Presiden Lincoln mendedikasi kuburan nasional yang baru. Acara itu ditutup dengan pidato sang Presiden yang paling terkenal dalam sejarah Amerika.
Dia menyimpulkan pernyataan singkatnya dengan kata-kata, “kita di sini menegaskan bahwa semua yang gugur di sini tidak meninggal dengan sia-sia – bahwa bangsa ini, di bawah kuasa Tuhan, akan melahirkan kembali kebebasan – dan bahwa pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, takkan pernah hilang dari muka bumi". Menjelang akhir Perang Saudara, kubu Konfederasi terus-menerus mengalami kekalahan. Pada 9 April 1865, Ulysses S. Grant pemimpin militer Negara Kesatuan menerima penyerahan diri Robert E. Lee dari Konfederasi. Lee dikagumi sebagai pemimpin militer yang hebat dari selatan dan juga kebesarannya menerima kekalahan. Sekembalinya dari pertemuan dengan Jenderal Lee, Grant menenangkan serdadunya dengan mengingatkan mereka dan kemudian berkata, “Para pemberontak sekarang telah menjadi warga negara kita lagi". Pada 26 April 1865, William Tecumseh Sherman menerima penyerahan diri Johnston di Stasiun Durham, Carolina Utara, yang secara resmi mengakhiri Perang Saudara Amerika.
Meskipun masih ada perlawanan kecil-kecilan. Perang benar-benar berakhir pada 9 Mei 1865. Bagi pihak utara, perang ini memunculkan seorang pahlawan yang bahkan lebih hebat dalam bentuk diri Abraham Lincoln. Pada 1864, ia kembali terpilih untuk kedua kalinya sebagai presiden Amerika Serikat. Lincoln menyampaikan pidato yang berisi tentang pembangunan kembali negara ini dan memaafkan mereka-mereka yang terlibat di dalam permberontakan. Pada 14 April 1865, Abraham Lincoln menggelar pertemuan kabinetnya yang ternyata adalah pertemuan terakhirnya. Malam itu bersama istrinya, sang Presiden menghadiri pertunjukan di Teater Ford. Sesaat kemudian ia ditembak oleh John Wilkes Booth, seorang simpatisan Konfederasi yang tidak bisa menerima kekalahan pihak selatan. Presiden Lincoln meninggal di kamar tidur di rumah seberang teater Ford pada 15 April pagi hari. Sedangkan penembaknya John Wilkes Booth ditembak mati dalam pelariannya di sebuah peternakan dekat Virginia.
Penulis puisi, James Russell Lowell menulis : “Tidak pernah sebelumnya seperti pagi di bulan April itu, di mana begitu banyak orang menitikkan air mata bagi kematian seseorang yang belum pernah mereka lihat, seolah bersama orang itu, lenyap juga hadirat yang begitu bersahabat, dicerabut dari hidup mereka, meninggalkan mereka dengan perasaan yang lebih dingin dan lebih gelap. Sambutan pemakaman tidak pernah terdengar begitu mengharukan, seiring pandangan simpati yang sunyi antara orang-orang yang tidak saling mengenal di hari itu. Kemanusiaan baru saja kehilangan anggota keluarganya.”
Sumber: Historia