Ponpes At-Taroqqi Sampang Madura, Berdiri di Bekas Lokasi Pembantaian dan Sarang Jin
Kamis, 26 Agustus 2021
Faktakini.info, Jakarta - Sebelum menjadi salah satu telaga ilmu agama di Kota Bahari, lokasi ini konon merupakan tempat yang dijauhi orang. Orang biasa dahulu tak berani menginjakkan kaki di tempat ini, karena nyawa menjadi salah satu taruhannya.
Di situlah, di tempo doeloe, peristiwa-peristiwa kriminal banyak terjadi, berupa aksi carok antar warga, pembantaian, dan perampokan. Mereka yang meregang nyawa di situ lantas dimasukkan dalam karong (karung). Dari situlah asal-mula nama tempat yang kini menjadi salah satu desa di Kabupaten Sampang ini: Karongan.
Berdiri Pesantren
Syahdan, lebih kurang setengah abad silam, seorang kiai membabat lokasi ini. Kiai Haji Ma’mun Muhammad namanya. Setelah melewati banyak fase dan perjuangan, pondok pesantren yang kemudian diberi nama at-Taroqqi ini pada akhirnya rampung dibangun. Tepat pada putaran tahun 1963 Masehi.
Seperti yang disebut di muka, mengingat sikon Karongan, tentu perkara yang mudah membangun ponpes ini. Bayang-bayang pembantaian dan perampokan, dan asal-usul berdirinya desa ini yang kental dengan peristiwa menakutkan dan sadis, masih menghiasi lokasi pesantren. Namun hal itu berhasil dilalui oleh Kiai Ma’mun.
Tak hanya angker karena banyaknya peristiwa criminal, Karongan juga dikenal angker secara mistis. Kebetulan di lokasi yang akan dibangun pesantren itu terdapat sebuah pohon besar. Konon, pohon tersebut dikenal sebagai sarang jin di Karongan.
Ketika mengetahui di situ akan dibangun pesantren, sontak banyak warga ketakutan. Mereka khawatir akan berdampak tidak baik. Para jin dikhawatirkan akan mengamuk. Ketakutan bertambah saat diketahui Kiai Ma’mun bermaksud menebang pohon itu. Kepercayaan warga masih sangat kuat. Namun, Kiai Ma’mun dikisahkan tak peduli dengan itu semua. Dengan izin Allah, penebangan pohon itu tetap dilakukan, bahkan pohon itu beliau gunakan sebagai awal mula pembangunan ponpes. Kekhawatiran masyarakat akan terjadinya sesuatu karena sebab penebangan pohon itu tak terbukti sedikit pun. Bahkan, dari waktu ke waktu ponpes at-Taroqqi semakin berkembang. Subhanallah.
Sistem Pendidikan
Kiai Ma’mun menatar para santri yang belajar kepada beliau dengan begitu telaten. Bukan suatu hal yang mudah, mendidik orang-orang yang terbiasa hidup dengan adat caroknya. Sekalipun demikian, masyarakat Madura tetep mendukung Kiai Ma’mun dalam berdakwah. Mereka mempunyai semboyan yang harus dihormati: Bapa’, Babu’, Guru, Rato (bapak, ibu, kiai atau ulama, dan pemerintah). Tak mengherankan Madura yang dikenal dengan carok juga dikenal sebagai pecinta para ulama atau kiai oleh masyarakat di luar Madura.
Tak lama, Kiai Ma’mun mendapat seruan Ilahi yang pada akhirnya tongkat estafet Ponpes at-Taroqqi diteruskan kakak kandung beliau, yaitu Kiai Haji Alawy Muhammad.
Pada masa kepemimpinan Kiai Alawy, para santri yang datang membanjiri ponpes bukan hanya dari daerah pulau Madura saja. Bahkan, ada yang dari pulau seberang dan pulau lain seperti Pontianak. Aktivitas ponpes pun semakin padat. Namun, itu semua dapat terkondisikan. Hal ini yang semakin meyakinkan para wali santri bahwa Kiai Alawy bukan hanya seorang ulama yang kaya dengan ilmu, tapi juga seorang organisatoris dan politikus Islam yang handal.
Pada masa kepemimpinan beliau, Ponpes at-Taroqqi bukan hanya menyuguhkan pendidikan agama saja seperti zaman adiknya, Kiai Ma’mun. Namun, juga menyuguhkan pendidikan formal tingkatan SD, SMP, dan SMA. Tak hanya berhenti di situ, ponpes juga membekali santri dengan wawasan politik dan berorganisasi yang tentunya tak lepas dari koridor Islam. Hal ini dilakukan agar para santri saat keluar dari ponpes dapat membentengi dari politikus yang suka menjadikan ulama wayang dan juga agar santri dapat memasuki sektor-sektor pemerintah.
Hari Pahlawan 10 November 2014 menjadi saksi kepergian Kiai Alawi untuk menghadap Allah SWT. Masyarakat dari berbagai tempat berdatangan untuk mengantarkan beliau ke tempat peristirahatan terakhir. Kepergiannya banyak membuat tetesan air mata di pipi masyarakat yang hadir pada waktu itu.
Setelah kepergian Kiai Alawy, kursi jabatan sebagai mudir ponpes dilanjutkan oleh putra biologis beliau, yaitu Kiai Haji Fauroq.
Aktivitas para santri Ponpes at-Taroqqi dimulai sejak waktu subuh sampai larut malam pukul 24:00 WIB. Karena didikan yang demikian, para santri dapat mengatur waktu mereka agar tidak sia-sia begitu saja.
Selain para santri mempunyai waktu yang super padat dengan ilmu formal dan non-formalnya (diniyah), ponpes juga menyuguhkan kegiatan ekstrakulikuler seperti seni hadrah, seni kaligrafi, seni jahit dan lain-lain.
Ponpes at-Taroqqi dengan Keluarga Sayyid al-Maliki
Pada musim haji, Kiai Alawi menyempatkan diri untuk menimba ilmu pada Abuya Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliki. Bahkan beliau pernah belajar kepada Sayyid Alawi al-Maliki Makkah (ayahanda Sayyid Muhammad). Dari sinilah beliau mengambil manhaj Mekah untuk dijadikan rujukan di pesantrennya. Kebanyakan kitab yang dipakai adalah karangan Abuya Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliki, seperti Qawaid Asasiyyah.
Pernah suatu ketika pemerintah Saudi mencekal Abuya Sayyid Muhammad bin Alawy al Maliki untuk tidak berkunjung ke Indonesia karena ada masalah tertentu, hingga pada akhirnya beliau mengutus Sayyid Abbas, saudaranya ke Indonesia guna berziarah ke pesantren-pesantren yang memiliki ikatan dengan beliau. Salah satu ponpes yang beruntung adalah Ponpes at-Taroqqi.
Sekilas, apabila kita baca papan nama depan ponpes tertulis “Markazul ulumid’diniyah wa Siroh An’nabawiyah” seperti Ponpes milik Sayyid Abbas bin Alawy al-Maliki di Mekkah. Itu semua atas permintaan beliau sendiri kepada pihak Ponpes at-Taroqqi. Karena sebab inilah pada akhirnya beliau menjadi musyrif Ponpes at-Taroqqi. Bukan hanya itu, Sayyid Abbas juga meminta Ponpes Attaroqqi bersedia dijadikan tempat haul ayahandanya, Sayyid Alawy bin Abbas al-Maliki Mekkah. Kegiatan ini terus berjalan setiap tahun hingga sekarang.
Sumber: matamaduranews.com