Soal Penahanan HRS, Damai Lubis: Opsi Hukum MA Turun Tangan Demi Kepastian Hukum

 


Rabu, 18 Agustus 2021

Faktakini.info

*Opsi Hukum " Mahkamah Agung Urgen Pro Aktif Turun Tangan Demi Kepastian dan Wibawa Administrasi Hukum Dan Peduli Sejarah Penegakan Hukum Nasional " Terkait Pelanggaran HAM pada Proses Perkara Habib Rizieq Shihab*

Oleh Damai Hari Lubis, SH., MH.

Pengamat Hukum Mujahid 212

*(  Terkait Perkara RS. Ummi di PN. Jakarta Timur No.255/ 2021 Mahkamah Agung Perlu Presentasikan Hakekat Pancasila pada Sila Ketuhanan, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab )*

Fungsi Penegakan  Hukum, apapun bentuk sanksinya terlebih sanksi penjara, salah satu tujuannya adalah Efek Jera bagi pelaku dan berlaku Equal ( equality before the law )

selain fungsi hukum lainnya antara lain Keadilan atau gerechtigheit dan Kepastian Hukum atau rechmatigheid termasuk fungsi Utility atau doelmatigheid atau kemaslahatan atau  bermanfaat bagi seluruh bangsa dan negara dengan tetap berpijak pada rule of law atau sistem hukum yang berlaku

Equality memiliki makna, penegakan ( hukum ) harus diberlakukan terhadap setiap orang WNI tanpa pandang bulu, siapapun serta apapun status jabatan yang dimiliki, sistem hukum ini dianut sesuai perintah Konsitusi NRI, UUD. 1945

Secara yuridis formil  status perkara " RS. Ummi " No. 255 / Pid.Sus/ 2021PN.Jkt. Tmr  terhadap TDW Imam Besar Habib Rizieq Sihahb / IB. HRS , terhadap penahanannya yang sudah berjalan atau telah dilalui oleh IB. HRS  serta dan atau  penambahan masa penambahan yang dilakukan melalui surat penetapan yang diterbitkan dengan Nomor 1831/ Pen.Pid) 2021 Tentang Perpanjangan Penahahan selama 30 Hari,  terhitung egektif sejak 9 Agustus 2021 sampai dengan 7 September 2021 oleh yudex facti atau Hakim Pengadilan Tingkat Pertama *Pengadilan Tinggi Jakarta memuat beberapa unsur kesalahan atau pelanggaran hukum secara ganda atau berlipat :*

1.  Bertentangan bila disandingkan atau dihubungkan dengan putusan hukum yang memiliki irah - irah Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai bunyi Surat Putusan yudex facti dari Majelis Hakim Pengadilan Tingkat pertama Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang pada vonisnya terdapat fakta tidak ada klausula perintah penahanan,  vide pasal 197 ayat ( 1 ) Kuhap Huruf "K " terhadap Terdakwa / TDW IB HRS  dan hal penahanan kelanjutannya oleh atau dari Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta / PT.Jakarta tentunya menjadi sebuah pelanggaran hukum, oleh sebab penetapan penahan  yang dilakukan oleh yudex fakti Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, serta kelanjutan perpanjangan masa penahanan bertentangan dengan asas sistem hukum daripada hukum positif pada pasal 197 ayat ( 1 ) huruf " K"  a quo Kuhap , walau ternyata pada perkembangan hukumnya kini, ada polemik asas hukum sebagai penghalang , yakni terhalang oleh sebab putusan Mahkamah Konstitusi/ MK,  namun unik karena  secara materiil bunyi dari putusan  MK.tersebut melalui putusannya  dengan No. 69/ PUU-X/ 2012 ini, isinya antara lain " Mahkamah berpendapat Pasal 197 ayat (1)  huruf k KUHAP secara formal bersifat  imperatif (wajib) kepada pengadilan manakala pengadilan atau hakim tidak mencantumkannya dalam putusan yang dibuatnya, maka akan menimbulkan akibat hukum tertentu. Meski demikian, secara materiil-substantif kualifikasi  imperatif seluruh ketentuan Pasal 197 ayat (1) KUHAP tidaklah dapat  dikatakan sama atau setingkat.

Mahkamah membenarkan suatu amar putusan pidana tetap perlu ada pernyataan terdakwa tersebut ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan sebagai bagian dari klausula untuk menegaskan status terdakwa bersalah dan harus dijatuhi pidana. Namun, ada atau tidaknya pernyataan itu tidak dapat dijadikan alasan untuk mengingkari kebenaran materiil yang telah dinyatakan oleh hakim dalam amar putusannya ."

Dapat disimpulkan terhadap kasus perkara yang terdakwanya adalah Imam Besar Habib Rizieq Shihab/ IB. HRS  bila faktanya vonis putusan perkara No. 255 atau populer disebut terkait RS. Ummi pada amarnya tertanggal 27 Juni 2021 lalu fakta amarnya tidak terdapat kalimat atau klausula 'mesti ditahan' atau penahanan terhadap diri Beliau, maka imperatif dinyatakan secara hukum bahwa penahanan batal demi hukum, walau putusan tersebut tetap sah atas dasar materiele waarheid yang ada ( kebenaran yang sebenar-senarnya )

*Namun penulis beradagium dengan menterjemahkannya atas polemik unik hukum formal dari dua norma yang memiliki derajat sama sebagai UU. ( Kuhap dan Putusan MK ), berpendapat terhadap perkara RS.. Ummi terkait Pelanggaran Prokes Covid 19 :*

*" Atau dengan kata lain ; khusus proses hukum atau perkara dengan Beliau sebagai Terdakwa  ( Termasuk Proses Perkara Kerumunan Petamburan ) yang berjalan di PN. Jakarta Timur adalah sebuah fakta  proses perkaranya benar ada, namun dasar hukum atau asas legalitas pelaksanaan daripada status hukum keberadaan perkara tersebut melanggar konstisusi atau sistem hukum positif "*

2. Penahanan IB. HRS pada perkara tersebut merupakan bentuk  pelanggaran hukum oleh sebab Prinsip hukum Presumption Of Innocent  atau praduga tak bersalah yang artinya setiap orang belum dianggap bersalah sebelum perkaranya berkekuatan hukum tetap atau inkracht, maka penetapan penahanan yang dilakukan oleh Penyidik lalu dilanjutkan oleh JPU serta Majelis Hakim yudex fakti ( PN. dan  PT ) bersebrangan dengan asas legalitas daripada KUHAP 

*Adapun terkait dalil terdapat hak atau alasan hukum menahan daripada yudex facti termasuk aparatur negara sebelumnya ( penyidik dan JPU )  karena faktor subjektif ( Pasal 21  ayat 1 Kuhap ), namun secara nalar sehat faktor subjektif secara figur atau sosok gambaran pribadi HRS  sebagai tokoh ulama besar yang beliau sandang di negeri ini dan dilatar belakangi dengan beberapa kenyataan sepengetahuan umum bahwa negara telah memiliki  personal aparatur hukum sesuai pada bidang kebutuhannya dan berbagai  fasilitas pendukung  ( Intel Kepolisian, intel Kejaksaan dan Dinas Imigrasi ) yang harus negara percayakan serta menjamin kesanggupan para aparatur negara itu melaksanakan tupoksinya secara kredibel ( profesional, proposional & akuntabel ). Maka untuk alasan menahan karena faktor subjektif dimaksud tertolak demi hukum dan moral*

Maka patut dinyatakan secara hukum terkait pelanggaran pada poin kedua ini selain Pengadilan Tinggi Jakarta, maka Penyidik Polri dan JPU serta Pengadilan Negeri ( Majelis Jakim ) Jakarta Timur, juga telah melanggar atau setidaknya menyepelekan makna penting prinsip hukum  praduga tak bersalah, oleh sebab masih ada tingkatan hak TDW untuk banding pada yudex facti  pengadilan tingkat pertama diatas setelahnya , juga Judex Jurex pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung, termasuk herziening atau Peninjauan Kembali/ PK  agar putusan yudeks facti diharapkan

oleh Pemohon Kasasi atau Pemohon PK. dapat diubah oleh yudeks yuris lalu menjadi inkracht atau berkekuatan hukum pasti 

3. Melanggar Kejahatan HAM atau menyandera kebebasan hidup diluar kurungan/ penjara selain  oleh sebab tidak ada perintah penahanan oleh yudex fakti yang mengadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada vonis putusannya, maka otomatis penahanan terhadap Beliau hanya dapat berlaku sampai 200 hari dan 200 hari tersebut telah dilalui sebagai batas maksimal penahanan sejak berstatus TSK dan Terdakwa

Dalil 200 hari ini berdasarkan Vide  KUHAP/ UU. No. 8 Tahun 1981 ( Pasal 20, Jo.24 Jo. 25  ) dihubungkan dengan vonis hukuman tehadap 2 perkara Petamburan dan Mega Mendung menunjukkan korelasi antara fakta hukum dan dalil  hukum oleh sebab proses hukum banding dan menerima putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta. Maka secara hukum proses perkara telah dilalui dan inkracht sehingga  TDW IB.HRS wajib lepas demi hukum, dalam artian oleh sebab gugur karena sistem hukum ( termasuk pemotongan masa tahanan dll yang ada pada sistem pembebasan bersyarat )  telah menjalankan vonis  terhitung sejak masa penahanan terhadap Beliau pada 12 Desember 2021 

Pada kasus ke - 3 IB. HRS pun mesti lepas dan keluar dari sel penjara oleh sebab hukum selain  ada dasar hukum Pasal A quo Kuhap dan Putusan MK. No. 69/ PUU.X / 2012 Tertanggal 2 Juli 2012, untuk dan atau terhadap ketiga perkara kasus pelanggaran pokok perkara prokes  Kasus RS. Ummi, Bogor Kota.

Mengapa penahanan 200 Hari termasuk status penahanan atas perkara RS. Ummi ? 

fakta hukum dari banyak jejak digital medsos,  menyebutkan bahwa Beliau dijadikan TSK sejak ditangkap dalam beberapa kasus, tentu dimaknai secara fakta hukum, karena apa yang terjadi oleh yudex fakti Pengadilan Tingkat Pertama  PN. Jakarta Timur beliau dituntut dalam 3 perkara, maka pada perkara perkara a quo dengan unsur materi pokok yang sama yakni Pelanggaran Prokes Covid 19 , Vide Surat Dakwaan Sdr.JPU . Tentunya pada semua perkara ( 3 dakwaan ) merupakan penangkapan pada hari yang sama selain subjek hukum yang ditahan sama , juga penyidik yang menangkap dan menahan juga oleh petugas yang sama ?

Namun bila tanggal penangkapan dan penahanan faktanya dibedakan hari dan atau tanggal surat penetapan status TSK nya terhadap diri Beliau antara Petamburan, Mega Mendung  menjadi satu kesatuan namun berbeda dengan Perkara RS. Ummi, secara hukum petugas penyidik tidak proporsional dan tidak akuntabel , hal ini tentu perlu ada investigasi hukum khusus,  apa motifnya ?

*Bila ada unsur motif politis, maka  hal ini merupakan sebuah kejahatan dahsyat atau extra ordinary crime yang telah dilakukan aparatur negara, karena politik negara dan atau maupun politik praktis dengan kekuatan politiknya di legislatif maupun Pejabat Tinggi dan atau Pejabat Tertinggi  Eksekutif atau keduanya legislatif dan eksekutif kongsi  ( motif oligarki ) dengan cara cara atau modus kekuasaan, melalui cara  intervensi terhadap penegakan hukum yang dilakukan  yudikatif atau mahkamah dengan cara  obstruksi atau jadi penghalang penegakan hukum yang tengah dilakukan mahkamah terhadap seorang individu atau pada sebuah kelompok tertentu dan atau pada siapapun dari setiap insan WNI. Dengan kata lain ;  politik dan kekuasaan tetap mesti mentaati supremasi hukum atau mematuhi asas - asas hukum positif atau hukum yang harus berlaku ( ius konstitum)*

Bahwa pada semua kasus perkara ( 3 perkara ) atau terhadap ketiga perkara Mega Mendung, petamburan serta RS  Ummi, secara keseluruhan, sejak  ditahan oleh pihak  Kepolisian, JPU dan Hakim Pengadilan Negeri sebelum masuk ke ranah hakim Pengadilan Tinggi ( TDW IB. HRS telah menjalankan penahanan maksimal 200 Hari ) terkait 200 hari telah sesuai  merujuk  KUHAP/ UU. No. 8 Tahun 1981 ( Pasal 20, Jo.24 Jo. 25 Jo. 26. ). 

Sedangkan menurut ketentuan Kuhap IB.HRS. sebelum 200 hari khusus  perkara RS. Ummi  penahanannya harus closing, ditutup oleh karena sistem hukum semestinya  Beliau saat ini sudah dapat menghirup udara bebas, sejak tanggal  27Juni 2021 secara serta merta oleh sebab hukum terhadap bunyi amar vonis yang tidak ada kalimat atau klausula tetap ditahan atau perintah penahanan , walau belum dapat dinyatakan inkracht ( ada proses banding dan kasasi ), dalil hukum jelas termasuk fakta  jika dihubungkan causalitas konsideran akan pasal 197 Ayat ( 1 ) Kuhap serta dikuatkan dengan putusan MK. No. 69 Yang dalilnya cukup  mengikat layaknya undang - undang, maka tadi, demi fungsi hukum yang mengikat, walau fakta sejatinya ada dalil hukum unik yakni putusan MK. Pada nomor 69/ 2012 a quo yang hakim ketuanya adalah Prof.  Mahfud MD ( Ketua MK saat itu )

Namun kenyataan praktik hukumnya di tengah republik yang menjadi gaduh atau berpolemik, dalil hukum penahanan dan pembebasan Beliau telah menjadi bagian arena debatebel para ahli hukum oleh sebab lembaga Peradilan Tinggi Jakarta dibawah mahkamah agung ini melanggar hukum yang semestinya menjadi pedoman hukum yaitu KUHAP dan Putusan MK. Bukan melepas IB.HRS demi kepastian hukum dan Keadilan atau hakekat Kemanusiaan yang Adil Beradab justru mengeluarkan penetapan perpanjangan 30 hari ? Ini perilaku bengis dan zolim

Maka lebih elok dan ideal demi wibawa hukum serta hilang kesan adanya politisasi hukum oleh yang berkuasa  ( oligarki  ) dengan perilaku dzolim terhadap pribadi atau individu WNI yang notabene sang korban justru seorang  Tokoh Ulama Besar Muslim Negeri ini,  maka kembalikan saja kepada subtansial pada fungsi hukum yang pokok dan utama atau  hakekat dari cita - cita mulia hukum itu sendiri yaitu menciptakan atau melahirkan hukum semata - mata untuk atau demi keadilan, termasuk diantaranya demi utillty atau asas manfaat, demi kemaslahatan bangsa ini kedepannya, dalam hal ini tentunya paling tidak dapat meminimalisir kegaduhan nasional,  atau mencegah gejolak hingga dapat berdampak terganggunya pembangunan perekonomian negara pada bangsa yang tengah dilanda pademi atau Covid 19

Secara nasional dan faktual, muncul kegaduhan ditengah masyarakat negara ini terhadap proses penambahan masa penahanan terhadap diri Beliau

Dan demi kepastian hukum khusus pada perkara ini RS. Ummi 255 dan sebagai refleksi akan adagium dari banyak dapat menjadi referensi atau acuan hukum, bahwa ketentuan dalam bentuk penetapan dengan No. 1831 yang diterbitkan oleh  Pengadilan Tinggi Jakarta yang isinya penetapan perpanjangan penahan 30 Hari dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta tidak menjiwai atau bertentangan dengan putusan MK. No. 69/ 2012 dan sangat bertentangan dengan pasal 197 ayat ( 1 ) huruf " K " KUHAP termasuk bia dihubungkan bahwa Beliau telah menjalani penahanan penjara selama 200 hari,sebagai batas maksimal penahanan, sebelum masuk keranah Pengadilan Tinggi dan telah melewati hari dan Tanggal putusan 27 Juni 2021, sebuah hari dimana Beliau semestinya dibebaskan  atau terbebaskan pada tanggal sejak putusan dibacakan yang isi amar putusannya " tanpa klausula mesti menjalankan penahanan atau tetap ditahan "

Teori dan fakta hukum sangat bertentangan dengan banyaknya bukti atau kenyataan fenomena debatebel ( adagium ) dari para akademisi hukum dan atau ahli atau pakar hukum terkait akibat hukum prokes Covid 19, dan juga pada kenyataannya materi pokok debatebel  ( penambahan penahanan 30 hari ) berimpek "  hujatan masyarakat terhadap  Mahkamah " oleh sebab masyarakat umum dan masyarakat hukum melihat lalu berbicara  atas dasar fakta dengan menghubungkan teori hukum dengan fakta pelaksanaan daripada ketentuan prokes Covid 19 terkait kerumunan ini, riil sangat banyak pelanggaran yang dilakukan masyarakat bangsa ini, para pelanggarnya terdiri dari masyarakat umum secara berkelompok ( mall, pasar trasisonal, kolam renang )  sampai dengan pejabat istana, namun fakta hukumnya para pelanggar zero proses hukum,  oleh sebab secara teori hukum unsur atau sifat hukum pada *prokes covid 19 ini  merupakan sebuah norma atau bentuk ketentuan umum yang tidak pantas para pelanggarnya untuk dihukum penjara oleh sebab derajat norma prokes Covid 19 jauh dari hirarkis sebuah undang - undang atau dengan kata lain "bukan" makna  hukum positif yang biasa diterjemahkan, ini hanya sekedar melanggar sebuah norma yang sekedar hukum cita - cita atau sekedar hukum yang diharapkan mudah mudahan berlaku ( ius konstituendum )*

Kembali kepada topik, bahwa putusan yang tidak menyebutkan pada amar vonisnya agar dilakukan penahanan, dapat dimaknai secara hukum sebagai cukup dan sudahkan penahanan IB. HRS selama 200 hari ( bahkan lebih jika sampai tulisan ini dibuat terhitung sejak 27 Juni 2021 ). Mahkamah enough ,  "  jangan turut serta melakukan tindakan atau perlakuan zolim " terhadap diri Beliau yang munhkin saja  dapat menimbulkan prediksi  Mahkamah sudah menjadi bagian dari politik oligarki atau politik kekuasaan , atau sinonim dengan " ikut melanjutkan epsode anti equality  terhadap para pelanggar prokes lainnya "  terkecuali khusus atau spesial terhadap sosok  IB.HRS ,  melanggar rasa keadilan dan melanggar asas kepastian hukum ( menabrak asas rule  of law , terlibat pelanggaran  terhadap due prosses of law ) terhadap para pelanggar prokes lainnya

Selanjutnya dengan berlandaskan asas demi keadilan dan kepastian hukum serta manfaat atau kemaslahatan pada bangsa yang majemuk ini. Mahkamah Agung sangat dibutuhkan eksistensinya melalui bentuk sosok mulia dan ruh yudikatif yang sebenarnya, termasuk wibawa hukum yang dimiliki, dengan segala  kewenangannya yang tertinggi di lembaga yudikatif, untuk kiranya segera dan secepatnya  memerintahkan Ketua  PT. Jakarta  mencabut penetapan No. 1831/ Pen.Pid/ 2021 perihal Perpanjangan Penahanan selama 30 Hari terhtung sejak 9 Agustus sampai dengan 7 September 2021

Selanjutnya  memerintahkan agar bersamaan dengan Hari dan Tanggal Surat Penetapan  Pencabutan yang dikeluarkan, segera membebaskan Beliau HRS secara serta merta dengan status hukum  Perkara RS. Ummi dengan register perkara No.255/ Pid.Sus/ PN. Jkt Tmr tetap sah,  sesuai putusan MK. Yang bernomor 69/ PUU.X / 2012

Sehingga Opsi Hukum, Mahkamah Agung mesti pro aktif , selain kewajiban juga merupakan hakekat pelaksanaan daripada landasan atau dasar Negara RI, Pancasila, diantarnya Sila Berketuhanan , Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dan Keadilan Sosial yang equal,  *jadi bukan sebuah barter hukum, juga diluar unsur politik*

Pro aktifnya MA justru langkah luhur atau mulia dan opsi bijaksana , termasuk menolak fitnah atau perkataan dan prasangka serta citra buruk dan termasuk menunjukan bukti atau menghilangkan kesan MA tidak sekedar menonton polemik hukum, namun aktif  berdiri tegak ketika ranah internal yudikatif diketahui berpolemik pada sistem penegakan hukum dan termasuk berpolemik pada sistem pada  perundang - undangannya, sehingga  MA tetap  berwibawa, amanah serta positif kelak daripada catatan cacatan sejarah kelam penegakan hukum yang buruk di tanah air saat ini

*Pendapat Hukum Advokat selaku Penegak Hukum*