Tragedi Bandara Cililitan, Sosok Westerling Dimata Seorang Prajurit Suriname
Selasa, 31 Agustus 2021
Faktakini.info
Ady Erlianto Setyawan
@adysetyawan
Film "de Oost" yang mengisahkan kekejian Westerling rupanya cukup menggemparkan. Mengutip artikel dari erasmusmagazine , putri si tukang jagal yang bernama Palmyra Westerling menulis surat terbuka, memprotes bagaimana sosok ayahnya digambarkan dan mengajak untuk memboikot film tersebut. Diluar itu, kritik datang dari komunitas Indo Belanda, bahkan organisasi para veteran perang dari Maluku yang bernama Maluku4Maluku mengajukan laporan pada Kepolisian Belanda dengan alasan "penghinaan kepada kelompok tertentu" dan "ujaran kebencian".
Kita seringkali dihadapkan pada kesaksian sudut pandang dari Indonesia dan Belanda, bagaimana dengan kesaksian dari sudut pandang lain? Perlu diketahui bahwa dalam perang kemerdekaan di Indonesia, terlibat pula prajurit-prajurit muda dari Suriname di pihak Belanda.
Tujuh tahun sebelum film de Oost diluncurkan, saya bersama dua kawan peneliti, Marjolein van Pagee dan Max van der Werff mewawancara salah seorang dari veteran Suriname yang mengaku melihat langsung kekejian Westerling. Veteran ini bernama Iwan Dompig, beliau tinggal di Rotterdam sisi timur. Mengendarai mobil kecil milik Max, kami meluncur ke apartemen narasumber.
Begitu pintu dibuka, saya dikejutkan wajah yang nampak familiar. Tuan Iwan Dompig memiliki ciri fisik khas orang Indonesia. Lebih kurang seabad yang lalu Belanda mengirimkan orang-orang Indonesia menuju Suriname sebagai buruh industri gula, dijejal-jejalkan didalam kapal laut. Mengenakan kemeja batik, beliau tersenyum dan mempersilahkan kami untuk masuk. Ruangan apartemen itu tak terlalu luas, sebuah sepeda statis terpajang ditengah ruang tamu. Dari bermacam dekorasi yang terpajang maupun tergantung pada dinding di ruangan itu, dapat disimpulkan dengan mudah bahwa masa muda Iwan Dompig setidaknya melalui dua perang besar : perang kemerdekaan di Indonesia dan perang Korea.
Kami bertiga duduk di ruang tamu, suguhan minuman mulai dikeluarkan tuan rumah beserta beberapa lembar foto. Diantara foto-foto itu terdapat gambar istrinya yang telah tiada dan foto masa mudanya saat bertugas sebagai prajurit angkatan udara. Marjolein mulai menyetting kamera dan posisi tripod. Tuan Iwan Dompig memulai kisahnya, pertama datang di Indonesia, ia ditugaskan di Bandara Cililitan.
"Saya ingat saat itu hari Minggu dan sedang bersantai, tiba-tiba seorang kawan bernama Cameron mengajak untuk menemani dia mengirim ransum makanan ke salah satu afdeling (bagian) di dalam komplek Bandara Cililitan. Karena memang sedang tidak ada tugas penting maka saya bersedia menemani dia".
"Kendaraan yang memuat ransum makanan pun berangkat dengan dikemudikan Cameron dan saya duduk di sampingnya, kami berhenti di depan sebuah gedung lalu Cameron turun. Saya tetap duduk di dalam kendaraan seorang diri. Kemudian dari atas balkon gedung tersebut muncul sosok seorang Letnan, saat itu saya sama sekali tidak tahu siapa Westerling, saya juga tidak tahu bahwa logistik beras dan roti yang kami kirimkan itu adalah afdeling nya Westerling"
"Dari atas balkon, si Letnan ini melihat kesibukan sebuah pasar tradisional orang Indonesia yang ada diseberangnya, ia sempat juga melihat kearah saya tetapi saya hanya duduk diam di mobil. Tiba-tiba ia menunjukkan jarinya kearah seorang pemuda Indonesia yang memiliki postur tubuh bagus. Anak buahnya segera bergerak menyeret si pemuda malang tersebut keluar dari pasar, membawanya mendekati gedung. Saat itu tak ada orang kulit putih yang menjadi anak buah si Letnan, semuanya adalah pasukan Ambon, setidaknya itu yang saya lihat. Letnan itu kemudian mendekat, mencabut pistolnya dan "dorrr", ia menembak kepala anak muda malang itu begitu saja, tanpa banyak bicara".
"Peristiwa itu terjadi hingga tiga kali di hadapan mata kepala saya sendiri, darah saya mendidih, saya sangat marah dan berpikir untuk meraih senjata Thompson dan memberondong si Letnan biadab ini".
"Ketika Cameron kembali, saya sampaikan padanya : Cammy, siapa Letnan ini? dia baru saja mengeksekusi anak-anak muda itu"
"Cameron menjawab bahwa itulah si Westerling yang sangat terkenal, kemudian tentara-tentara Ambon itu menyeret mayat para pemuda ke bagian belakang gedung. Saya tidak bisa melihat apa yang terjadi di bagian belakang gedung, tetapi Cameron menyampaikan bahwa terdapat lubang dibelakang gedung untuk mengubur para korban Westerling".
"Di tahun 1948, Westerling pernah pula berulah dengan mengenakan seragam Perwira Inggris. Ketika perang usai dan nama Westerling begitu tercemar, saya mengajak Cameron untuk bersaksi di depan kamera televisi tentang tragedi yang kami lihat di Cililitan itu, saya ingin menegaskan bahwa saya adalah saksi soerang Westerling bukanlah prajurit militer yang terhormat, ia tak lebih dari seorang pembunuh kotor, seorang kriminil. Sayangnya Cameron tak pernah bersedia dan menganggap semua itu adalah kisah masa lalu dan kini Cameron sudah meninggal"
Diluar semua kisah ini, Tuan Iwan Dompig juga menceritakan kisah yang ia dengar. Suatu hari Westerling dan anak buahnya memberhentikan sebuah bus yang dikemudikan seorang prajurit. Westerling mengatakan bahwa bus diambil alih olehnya, si prajurit menolak dan mengatakan bahwa bus tersebut sedang dibutuhkan dan perintah tidak bisa dirubah begitu saja. Tanpa banyak bicara, Westerling menembak kaki prajurit malang tersebut. Sayangnya Tuan Dompig sekali lagi menggarisbawahi bahwa kisah ini tidak ia saksikan dengan mata kepalanya sendiri, ia hanya mendengarnya dari kisah orang lain. Untuk video wawancara Iwan Dompig bisa dilihat pula disini.
Penulis memegang foto masa muda veteran Iwan Dompig disamping foto sang istri. Marjolein van Pagee dan Max van der Werff duduk mengapit kami. Foto diambil menggunakan kamera Marjolein
Kembali ke film de Oost, peneliti Marjolein van Pagee punmenyampaikan kritik keras. Film ini tidak bisa lepas dari tuntutan hukum dan riset yang dilakukan oleh yayasan K.U.K.B dibawah pimpinan Bapak Jeffry Pondaag, melalui K.U.K.B lah semua kejadian keji masa perang kemerdekaan kembali menjadi sorotan di Belanda.
Dari arsip riset yang dilakukan yayasan inilah tim film de Oost bisa menemui para saksi mata kejadian, orang-orang yang dibantu yayasan K.U.K.B dalam persidangan di Belanda. Semua perkembangan terakhir tentang perdebatan kejahatan perang di Indonesia tidak bisa lepas dari sepak terjang Jeffry Pondaag dan yayasannya yang mengancam negara konstitusional Belanda, yang sayangnya sama sekali tidak disebutkan dalam kredit film. Lebih dari itu, tim film mengirimkan pesan pribadi kepada Jeffry Pondaag bahwa mereka tak mau lagi dikaitkan dengan yayasan K.U.K.B. Video kritikan Marjolein van Pagee terkait film de Oost dan K.U.K.B bisa dilihat disini
Foto: Penulis memegang foto masa muda veteran Iwan Dompig disamping foto sang istri. Marjolein van Pagee dan Max van der Werff duduk mengapit kami. Foto diambil menggunakan kamera Marjolein
Sumber: Karyakarsa.com