Mengenang 17 Tahun Wafatnya Munir, Pejuang Kemanusiaan
Selasa, 7 September 2021
Faktakini.info, Jakarta - "Teror itu tergantung penafsiran kita sendiri. Kalau saya bilang saya dan keluarga takut, berarti si peneror berhasil menjalankan tugasnya." (Munir, 1965-2004)
Hari ini 17 tahun yang lalu, pejuang kemanusiaan Munir Said Thalib meninggal dunia setelah diracun dalam penerbangan menuju Amsterdam, Belanda, pada 7 September 2020.
Munir merupakan satu dari sekian orang yang memilih jalan hidup untuk bersuara dan memperjuangkan hak asasi manusia (HAM), diberitakan Harian Kompas pada 5 September 2014.
Mantan Ketua Tim Pencari Fakta (TPF) pembunuhan pegiat HAM, Munir Said Thalib, Marsudhi Hanafi menegaskan bahwa perkara pembunuhan Munir belum tuntas.
Masih ada pihak yang diduga kuat terlibat pembunuhan itu yang lolos dari proses hukum.
Mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) A.M Hendropriyono adalah orang yang dimaksud.
"Kan dia bergerak di lingkungan BIN. Waktu itu pimpinan BIN kan Hendro dan tentulah dia harus tahu, begitu" ujar Marsudhi di kediaman Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono, Puri Cikeas, Bogor, Selasa (25/10/2016).
Marsudhi menegaskan, nama Hendropriyono disebut dalam dokumen TPF Munir. Dokumen itu telah diserahkan kepada SBY pada akhir Juni 2005.
Dokumen itu kemudian dibagikan ke Kapolri, Jaksa Agung, Kepala BIN, Menkumham dan Menteri Sekretariat Negara.
Proses hukum Polisi setelah itu kemudian berujung pada penetapan sejumlah orang sebagai tersangka.
Di antaranya adalah Pollycarpus Budihari Priyanto dan Muchdi Pr.
Namun, Marsudhi mengakui bahwa proses penyidikan perkara pembunuhan Munir kala itu tidak sampai menyentuh nama Hendropriyono.
"(Saat itu) baru dugaan saja (Hendropriyono telibat). Waktu itu tidak ada bukti menunjukkan keterlibatan yang bersangkutan. Tapi itu waktu itu loh. Kalau sekarang ada yang beritahu begini, begini, buka saja. Kalau sekarang ada (bukti baru) kenapa tidak dibuka," ujar Marsudhi.
Tinta sejarah telah mencatat betapa gigihnya perjuangan Munir dalam mengungkap kasus pelanggaran HAM besar.
Ia pernah melawan Komando Daerah Militer V Brawijaya untuk memperjuangkan kasus kematian Marsinah, aktivis buruh PT CPS Sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik dan mati.
Ia juga menyelidiki kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta pada masa reformasi 1997-1998.
Sederet kasus pelanggaran HAM, seperti penembakan mahasiswa di Semanggi (1998-1999) hingga pelanggaran HAM masa referendum Timor Timur (1999) menjadi catatan sejarah atas perjuangan Munir.
Karena itu, ancaman dan teror sudah akrab buatnya.
Budiman Tanuredjo dalam artikelnya berjudul "Perginya Pahlawan Orang Hilang" yang dimuat di Harian Kompas pada 8 September 2004 mencatat, Munir pernah diancam akan dijadikan sosis oleh orang yang mengaku aparat keamanan saat membongkar kasus Marsinah.
Kendati demikian, Munir mengaku bukan seorang pemberani. Ia hanya menafsirkan segala teror yang dialaminya dengan cara yang berbeda.
"Teror itu tergantung penafsiran kita sendiri," kata Munir. "Kalau saya bilang saya dan keluarga takut, berarti si peneror berhasil menjalankan tugasnya," ucapnya.
Berkat perjuangannya itu, Munir meraih The Right Livelihood Award dari Yayasan Livelihood Award Jakob von Uexull, Stockholm, Swedia (2000).
Menariknya, uang ratusan juta rupiah yang didapatkan dari penghargaan itu ia serahkan kepada Kontras dan ibunda tercintanya.
Setahun sebelumnya, Munir juga pernah dinobatkan majalah Asiaweek sebagai salah satu dari 20 Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru (1999).
Detik-detik meninggalnya Munir
Pada 6 September 2004 pukul 21.55 WIB, Munir berangkat ke Belanda menggunakan pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974.
Sesaat sebelum lepas landas, ia sempat mengirim pesan kepada kawannya, Rachland Nashidik dan Rusdi Marpaung (Ucok) yang merupakan Direktur Program Imparsial.
"Lan, Cok, aku berangkat, titip kantor dan anak istriku," tulis Munir.
Dalam perjalanannya, pesawat sempat transit di Bandara Changi, Singapura, pada pukul 00.40 waktu setempat dan kembali melanjutkan penerbangan pada pukul 01.50.
Harian Kompas, 8 September 2004 memberitakan, Munir sempat terlihat seperti orang sakit setelah beberapa kali ke toilet.
Itu setelah pesawat lepas landas dari transitnya di Bandara Changi, Singapura.
Dalam perjalanan menuju Amsterdam, tiba-tiba Munir merasa sakit perut. Ia sebelumnya minum jus jeruk.
Munir sempat mendapat pertolongan dari seorang dokter yang berada dalam pesawat. Dia kemudian dipindahkan ke sebelah bangku dokter dan mendapat perawatan.
Munir dinyatakan meninggal dunia pada pukul 08.10, di ketinggian 4.000 kaki di atas tanah Rumania.
Dua bulan setelah kematiannya, Kepolisian Belanda menemukan fakta Munir diracun setelah ditemukan adanya senyawa arsenik.
Belum ada titik terang
Meski telah menjatuhkan hukuman kepada pilot Garuda, Pollycarpus Budihari Priyanto dan Direktur Utama PT Garuda Indonesia saat itu, Indra Setiawan, kasus kematian Munir hingga saat ini belum menemui titik terang.
Pasalnya, Indra membantah terlibat dalam konspirasi pembunuhan itu.
Dalam pleidoinya, diberitakan Harian Kompas pada 2 Februari 2008, Indra mengaku tak tahu apakah surat BIN yang diterimanya pada Juni atau Juli 2004 itu bagian dari rencana pembunuhan atau bukan.
Dia hanya memahami bahwa surat tersebut merupakan surat resmi dari lembaga negara yang salah satunya bertugas mencegah ancaman teror.
Meski BIN mendapat sorotan dalam kasus pembunuhan Munir, namun belum ada pejabat lembaga itu yang dijerat kasus hukum.
Sementara itu, mantan Ketua LBH Jakarta Alghifari Aqsa menyebut aktor intelektual pembunuhan Munir belum ditindak.
"Kejanggalan kasus ini, pembunuhan berencana tapi yang dihukum aktor di lapangan. Penyuruhnya tidak ditindak, aktor intelektualnya tak disentuh," kata dia dikutip dari Kompas.com, 7 September 2019.
Dia mengatakan, pembunuhan Munir terlaksana karena ada dukungan negara atau orang yang berkuasa dan melibatkan intelijen.
Sumber: kompas.com, voa-islam.com