Nuim Hidayat: Pecahnya Jaringan Islam Liberal (JIL)
Senin, 27 September 2021
Faktakini.info, Jakarta - Pendukung Jaringan Islam Liberal kini pecah. Ulil Abshar Abdalla, Koordinator JIL, tampak soft. Ia tak lagi berkoar-koar mengkritisi Islam. Ia kini malah tampak lebih alim karena sering mengajar kitab Ihya’ di berbagai tempat.
Pendukung JIL yang masih aktif diantaranya Luthfi as Syaukani, Budhy Munawar Rahman, Nadirsyah Hosen, Akhmad Sahal dan lain-lain. Mereka kini lebih banyak memainkan opininya lewat media sosial. Luthfi punya website sendiri yaitu qureta.com.
Perpecahan ini mulai terlihar ketika Pilkada Jakarta 2917 lalu. Ulil Abshar Abdalla dan Denny JA terang-terangan menolak Ahok jadi menjadi gubernur DKI waktu itu. Sedangkan Nadirsyah Hosen, Akhmad Sahal, Guntur Ramli, dan Luthfi as Syaukanie di seberang lainnya.
Ulil Abshar menyatakan dalam twitternya 2 Februari 2017 lalu : “Tak pernah saya seterus terang ini. Tapi saya harus mengatakannya: Ahok berbahaya bagi hubungan antar-agama di negeri ini.” Ulil melanjutkan, “Membiarkan Ahok pada posisi publik yg penting spt gubernur jelas tak bisa dibenarkan. Membahayakan kehidupan sosial…Insentisitivitas Ahok pada konteks sosial sudah sampai pada derajat yg “intolerable”. We cannot afford having him as governor anymore!”
Ulil yang biasanya mendukung non Muslim, dalam masalah siapa gubernur di Jakarta ini ia lebih realistis. Mungkin pengalaman politiknya di Partai Demokrat, membuat keputusan politiknya banyak diacungi jempol oleh aktivis-aktivis Islam.
Sama dengan Ulil, Denny JA juga anti Ahok. Artikel-artikel Denny JA telah menyebar ke masyarakat sejak sebelum Pilkada DKI putaran satu. Denny makin menunjukkan keberpihakannya dengan mendatangi rumah dan memuji Prabowo April 2017. LSI Denny JA juga dikabarkan menjadi konsultan politik Agus-Sylvi yang kalah dalam Pilkada DKI Jakarta putaran pertama kemarin.
Setelah bertemu dengan Prabowo pertengahan April itu, ia antara lain menulis : “Di bawah Anies Sandi, kebhinekaan juga akan lebih kental dengan keadilan sosial. Ketimpangan ekonomi di Jakarta memprihatinkan. Ini bukan hanya tak adil bagi yang miskin. Tapi juga bahaya bagi yang kaya. Politik akan rawan. Jakarta harus untuk semua. Pemimpin perlu lebih berempati kepada rakyat kecil. Jangan ada Bahasa dari seorang gubernur yang terkesan arogan melecehkan mereka…Agama menggoreskan batin sangat dalam bagi penduduk Indonesia, termasuk pemilih Jakarta. Seorang pemikir boleh saja berjumpalitan dengan gagasannya sendiri. Namun seorang gubernur harus peka, menghormati dan peduli dengan keyakinan masyarakat yang dipimpinnya.”
Lain halnya dengan Nadirsyah Hosen. Dosen di Monash University dan Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia-New Zealand ini hampir tiap hari menulis tweet untuk mendukung Ahok. Tweetnya yang terakhir adalah: “Jika bumi bulat berputar mengelilingi matahari,maka bumi datar berputar mengelilingi Ahok”
Pada 10 April lalu, dosen ini menulis : “Masalah pemilu ini urusan duniawi belaka. Tapi banyak yg ngaitkan dg spiritual makanya ramai dukun politik pas mau pemilu…”
Sebelumnya ketika Aksi 212 yang diikuti oleh jutaan umat berlangsung, Nadirsyah menulis : “Kalau kita ingin lihat sabda Nabi umat Islam kualitasnya spt buih seolah byk tapi tdk berkualitas lihat kerumunan di Monas hari ini..”
Akhmad Sahal, sama dengan Nadirsyah. Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika ini pada 17 Februari 2017 lalu menulis : “Saya gak rela DKI dipimpin orang yg mesra dgn FPI dan munduk2 ke Rizieq Shihab. Lihat aksi2 premanisme FPI ini.” Ahmad Sahal juga tiap hari kini menulis tweet untuk membela Ahok, termasuk membela iklan Ahok terakhir yang kontroversial itu.
10 April 2017, Sahal menulis : “Makna sowannya Ahok ke PBNU: Ahok tak diangap penista Islam, krn ia memang tak menista. Tuduhan penistaan hanyalah akal2an utk menjegalnya.”
Sedangkan Guntur Romli yang dikenal pembela die hard Ahok, marah ketika kasus Novel Baswedan, dipakai kampanye oleh Tim Anis. “Gak Rachel, gak Anies, ternyata picik & licik, ambil manfaat politis dr serangan thdp Novel Baswedan, pdhal ini teror pd jihad anti korupsi,” kata Guntur dalam tweetnya.
Guntur juga meretweet tulisan Akhmad Sahal : “Bagi NU, soalnya bukan lagi ttg Pilkada, tp mencegah jangan sampe kaum radikal berkuasa di ibu kota dan di NKRI.”
Luthfi Assyaukanie, pernyataan-pernyataannya lebih kasar lagi. Di Facebooknya 3 November 2016, ia menyatakan Islam sebagai agama pemaaf, santun, dan rahmatan lil alamin cuma omong kosong. Menurutnya, hikmah terbesar dari hiruk-pikuk pilkada DKI Jakarta adalah agama Islam punya umat yang brutal, norak, pemarah, dan dungu. “Siapa yang mau ikut agama yang brutal? Siapa yang mau ikut orang-orang bengis, norak dan tolol? Agama yang tidak bisa mengubah perilaku umatnya menjadi lebih baik adalah agama yang gagal, agama yang tak layak dibanggakan,” tuturnya.
Hosen, Sahal, Guntur dan Luthfi memang seringkali menakut-nakuti masyarakat dengan mengeksploitasi keradikalan FPI pendukung Anies Sandi. Mereka tidak peduli Anies-Sandi jauh lebih ramah dan santun daripada Ahok-Djarot. Mereka juga tidak peduli Rais Syuriah NU DKI Jakarta (saat itu), KH Mahfudz Asirun dan banyak kiai NU di Jakarta tidak mendukung Ahok. Bagi mereka NU adalah KH Aqil Siroj.
Begitulah nasib JIL. Kini pedagang asongan liberalisme itu kocar kacir. Meski demikian, mereka masih mempengaruhi banyak perguruan tinggi, media sosial dan para pejabat di istana. Pertarungan pemikiran memang tak pernah henti. Wallahu azizun hakim. []
Nuim Hidayat, Ketua DDII Depok (2012-2021), Anggota MIUMI dan MUI Depok.
Sumber: suaraislam.id