Ahmad Khozinudin: Ponpes dan Para Kyai di Jawa Timur Menolak UU Pesantren

 


Jum'at, 1 Oktober 2021

Faktakini.info

*PONDOK PESANTREN DAN PARA KIYAI DI JAWA TIMUR MENOLAK UU PESANTREN*

_[Catatan Hukum Agenda Silaturahmi Komisi VIII DPR RI bersama Para Kiyai dan Pondok Pesantren Di Ponpes Riyadhul Jannah, Pacet, Mojokerto]_

Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*

Santri Abuya KH Machfudz Syaubari*

Pada Kamis, 30 September 2021, penulis mendapatkan ikhtirom diundang secara khusus oleh Abuya KH Mahfudz Syaubari untuk hadir dalam forum silaturahmi sejumlah kiyai dan tokoh se Jawa Timur yang mendapat kunjungan dari Komisi VIII DPR RI. Acara silaturahmi tersebut, diagendakan secara khusus untuk menyerap aspirasi pondok pesantren dan para kiyai atas terbitnya UU No. 18 tahun 2019 tentang pesantren berikut aturan turunannya. [Permenag No. 31/2020, Perpres No. 82/2001 dan Raperda Provinsi Jatim tentang Pengembangan Pesantren].

Dalam acara tersebut hadir KH Ihya' Ulumiddin Ponpes Pujon Malang (Ketua Asy Syofa Indonesia), KH Toha Kholili (Cucu Syaikhona KH Kholil Bangkalan), KH Ali Khoror Madura, KH Badrudin H Subkhi (Ponpes Al Badar Bogor), KH Muhammad Thamrin Ali (Jember), KH Ja'far Shodiq (Bangkalan, Madura) dan masih banyak lagi yang lainnya.

Dari pemerintah hadir Ketua Kemenag Jatim, Dirjen Pendidikan Agama Islam, Ketua BAZNAS pusat, Ketua BWI, sementara DPR RI dipimpin oleh Ketua Komisi VIII DPR RI Yandri Susanto (PAN), dan membawa sejumlah anggota dewan dari PDIP, PKB, Golkar, Gerindra dan PKS.

Dalam kesempatan tersebut, penulis diberi amanah oleh Abuya KH Mahfudz Shobari selaku Pimpinan Ponpes Riyadhul Jannah sekaligus Sohibul Bait untuk memaparkan kritik terhadap UU Ormas berikut aturan turunannya.

Dalam sesi diskusi dan pemaparan dihadapan para kiyai dan sejumlah anggota komisi VIII DPR RI, penulis menyampaikan substansi pemaparan sebagai berikut :

*Pertama,* adanya cacat formil dalam pembentukan UU pesantren. Dalam forum tersebut ternyata terkonfirmasi banyak Pondok Pesantren yang tidak dilibatkan pada proses pembentukan UU Pesantren, sehingga materi muatannya tidak dipahami secara utuh dan menyeluruh dan tidak memperhatikan dan mempertimbangkan keseluruhan aspek kepentingan, aspirasi, kehendak dan arah kebijakan yang mengadopsi nilai-nilai dan norma yang berlaku dilingkungan pesantren, sehingga UU Pesantren akan mengalami kendala saat penerapan dan/atau pelaksanaannya. 

Problem tidak diketahuinya materi muatan UU pesantren ini juga berkonsekuensi tidak akan menghasilkan kedayagunaan dan kehasilgunaan yang diharapkan sesuai dengan tujuan dibentuknya UU dimaksud. 

UU Pesantren tidak dipahami secara utuh dan menyeluruh tentang kejelasan rumusan yang diatur dalam norma pasal-pasalnya, 

 sehingga materi muatannya tidak dipahami secara utuh dan menyeluruh dan tidak memperhatikan dan mempertimbangkan keseluruhan aspek kepentingan, aspirasi, kehendak dan arah kebijakan yang mengadopsi nilai-nilai dan norma yang berlaku dilingkungan pesantren, sehingga aspek keterbukaan dalam pembentukan UU Pesantren pesantren tidak terpenuhi.

Hal mana tentu saja bertentangan dengan ketentuan pasal 5 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan UU No. 15 tahun 2019.

*Kedua,* adanya cacat materil dalam pembentukan UU pesantren. Hal ini terkonfirmasi misalnya dalam aspek pendefinisian yang kabur.

Tidak adanya kejelasan mengenai batasan/unsur definisi pondok pesantren seperti penggunakan frasa “ajaran islam rahmatan lil a’lamien” dan frasa “keseimbangan dan moderat” sehingga memungkinkan tafsir sepihak oleh kekuasaan untuk membuat klasifikasi tentang ‘ajaran islam rahmatan lil a’lamien yang seimbangan dan moderat’ sesuai kehendaknya.

Hal mana akan rawan menimbulkan konflik dan adu domba serta pecah belah dalam penerapannya disebabkan tidak adanya kesamaan tentang pandangan mengenai Batasan devinisi. Terlebih lagi, dalam ketentuan pasal 1 angka 16 dan 17 Raperda Pengembangan Pesantren diadopsi istilah Radikalisme dan Ektremisme, yang dimaknai :

16. Radikalisme adalah paham yang ingin melakukan perubahan sistem sosial dan politik secara total dan bersifat drastis dengan mengenyampingkan nilai dan norma yang ada, dengan mengajarkan intoleran, fanatik, eksklusif, atau anarkis.

17. Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme adalah keyakinan dan/atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme.

UU Pesantren juga mengintervensi corak dan arah pendidikan pesantren. Kurikululum Pesantren disusun berdasarkan kerangka dasar dan struktur kurikulum Pesantren yang dirumuskan oleh Majelis Masyayikh.

UU Pesantren mengintervensi masalah manajerial dan anggaran yang selama ini menjadi kewenangan prerogatif pesantren.

Sehingga, *para ulama dan para kyai menolak UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren Jo Permenag No. 31 Tahun 2020 Tentang Pendidikan Pesantren Jo Pepres No. 18 tahun 2021 Tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren, dan Raperda Provinsi Jawa Timur tentang Pengembangan Pesantren, karena memiliki substansi dan ruh mencampuri urusan rumah tangga pondok pesantren, mendikte urusan pendidikan pondok pesantren baik terkait kurikulum maupun manajemen dan terlalu jauh mencampuri urusan keuangan pondok pesantren.*

Akhirnya, diakhir pemaparan penulis menyarankan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut :

*Pertama,* Secara Formil dan Materil proses pembentukan dan materi Muatan UU Pesantren tidak memperhatikan dan mempertimbangkan keseluruhan aspek kepentingan, aspirasi, kehendak dan arah kebijakan yang mengadopsi nilai-nilai dan norma yang berlaku dilingkungan pesantren sebagai materi muatan untuk menyusun norma perundangan yang dijadikan sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum dilingkungan pesantren.

*Kedua,* UU Pesantren tidak melibatkan aspirasi seluruh pesantren dan menerobos terlalu jauh pada aspek rumah tangga pesantren khususnya berkaitan dengan Manajerial, Kurikulum, Kelembagaan dan Keuangan Pesantren. 

Meskipun ada pengakuan eksistensi pesantren termasuk diadopsinya system Pendidikan Muadalah, namun kurikulum Pendidikan Pondok pesantren tradisional belum terakomodasi kepentingannya sehingga UU Pesantren ini alih-alih mengakui eksistensi pondok pesantren tradisional, justru akan menyulitkan mereka baik secara prosedur maupun substani untuk memenuhi keseluruhan kewajiban dan tanggungjawab pesantren sebagaimana diatur dalam UU No 18 Tahun 2019 tentang Pesantren Jo Permenag tentang Pendidikan Pesantren. 

*Ketiga,* Problem materi muatan sebagaimana dimaksud dalam kajian hukum ini bukan termasuk pada kajian tentang konstitusionalitas norma berdasarkan konstitusi melainkan UU Pesantren berikut turunannya tidak memperhatikan dan mempertimbangkan keseluruhan aspek kepentingan, aspirasi, kehendak dan arah kebijakan yang mengadopsi nilai-nilai dan norma yang berlaku dilingkungan pesantren sebagai materi muatan untuk menyusun norma perundangan yang dijadikan sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum dilingkungan pesantren. 

Oleh karena itu problem yang demikian tidak dapat diselesaikan dengan proses Judicial Review baik ke Lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) maupun ke Mahkamah Agung (MA).

*Keempat,* Karena itu, sebaiknya pemerintah menunda pemberlakuan UU pesantren berikut seluruh aturan turunannya, dilakukan pembahasan ulang secara utuh dan menyeluruh melibatkan pesantren-pesantren selaku pihak yang menjadi objek pemberlakuan UU Pesantren, selanjutnya melakukan revisi UU pesantren berdasarkan kajian yang telah memperhatikan keseluruhan aspek kepentingan, aspirasi, kehendak dan arah kebijakan yang mengadopsi nilai-nilai dan norma yang berlaku dilingkungan pesantren.

Demikianlah, catatan ringkas hasil silaturahmi yang penulis lakukan bersama sejumlah ulama dan pesantren saat melakukan silaturahmi bersama komisi VIII DPR RI. Di akhir pertemuan, semua sepakat UU pesantren memiliki problem dan harus diperbaiki. Mekanisme perbaikan diserahkan sepenuhnya kepada DPR RI untuk merevisinya, sementara seluruh pondok pesantren sepakat menolak UU Pondok Pesantren. [].

Nb. Penulis mendapat ijazah mewakili santri untuk memaparkan presentasi hukum, yang diberikan langsung oleh Abuya KH Machfud Syaubari.