Audit Proyek Kereta Cepat Jkt - Bdg Untuk Ungkap Adanya Korupsi, Libatkan KPK dan BPK, Bukan Turunkan BPKP untuk Gelontorkan Uang APBN!
Selasa, 12 Oktober 2021
Faktakini.info
*AUDIT PROYEK KERETA CEPAT JAKARTA - BANDUNG UNTUK UNGKAP ADANYA KORUPSI, LIBATKAN KPK DAN BPK, BUKAN TURUNKAN BPKP UNTUK GELONTORKAN UANG APBN !*
Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*
Advokat, Aktivis Gerakan Islam
Penulis mulanya sangat kaget, begitu mendengar kabar Presiden menerbitkan Perpres No. 93 Tahun 2021 Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Sebab, dalam Perpres ini khususnya dalam ketentuan pasal 4 disebutkan bahwa Pendanaan proyek kereta cepat dapat dibiayai dari APBN dengan dalih dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal.
Padahal, kalau benar alasan terbitnya Perpres adalah dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, maka yang pertama harus dilakukan pemerintah adalah melakukan evaluasi baik kinerja maupun keuangan terhadap proyek tersebut.
Adapun soal Presiden Jokowi yang menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, untuk memimpin komite yang menangani Kereta Cepat Jakarta-Bandung, bukan kabar yang mengagetkan. Selama ini, Luhut memang sering mendapatkan tambahan Jabatan dari Jokowi selain tugas utamanya sebagai Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi.
Kabarnya, Mega proyek ambisius ini awalnya direncanakan menelan biaya 6,07 miliar dolar AS ekuivalen Rp 86,5 triliun, tetapi kini menjadi sekitar 8 miliar dolar AS atau setara Rp 114,24 triliun. Angka ini, tidak boleh begitu saja dijadikan dasar legitimasi untuk menerbitkan Perpres yang melegitimasi dana APBN untuk menambal kebutuhan pendanaan proyek.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sendiri, menurut sumber yang dirujuk tempo meminta konsorsium Badan Usaha Milik Negara yang terlibat dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung untuk menghitung lebih rinci pembengkakan biaya pekerjaan tersebut.
"Sri Mulyani meminta kekurangan dana dihitung lebih detail, tidak hanya belanja modal tapi juga pada masa operasi atau istilahnya cash shortfall," Begitu kata sumber Tempo, Minggu (19/4/2021).
*Kewajiban Audit Investigasi Indikasi Korupsi, Bukan Sekedar Audit rincian kebutuhan anggaran*
Ada sejumlah wacana untuk melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menghitung berapa sebenarnya kebutuhan rincian anggaran yang dibutuhkan proyek kereta cepat Jakarta - Bandung, sebelum Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara (APBN) mengalokasi anggaran melalui mekanisme Penyertaan Modal Negara (PMN) baik diakumulasikan kepada PT Kereta Api Indonesia atau didistribusikan melalui sejumlah BUMN lainnya yang terlibat.
Tujuannya, agar tidak terjadi lagi overrun (pembengkakan biaya) seperti pada awal perencanaan. Penghitung rincian kebutuhan ini, juga untuk menghindari adanya potensi kerugian keuangan negara yang berimplikasi pada korupsi.
BPKP sendiri memiliki sejumlah fungsi yang diantaranya adalah melaksanakan fungsi Pelaksanaan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya terhadap perencanaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban akuntabilitas penerimaan negara/daerah dan akuntabilitas pengeluaran keuangan negara/daerah serta pembangunan nasional dan/atau kegiatan lain yang seluruh atau sebagian keuangannya dibiayai oleh anggaran negara/daerah dan/atau subsidi termasuk badan usaha dan badan lainnya yang didalamnya terdapat kepentingan keuangan atau kepentingan lain dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah serta akuntabilitas pembiayaan keuangan negara/daerah.
Fungsi ini bisa diberlakukan untuk melakukan audit terhadap pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta - Bandung, yang salah satu tujuannya adalah untuk menentukan besaran kebutuhan dan rincian alokasi anggaran yang akan ditanggung pemerintah melalui penggelontoran PMN yang bersumber dari APBN.
Sayangnya, Presiden justru telah terlebih dahulu menerbitkan Perpres No. 93 Tahun 2021 Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat antara Jakarta dan Bandung. Padahal, Perpres semestinya baru terbit setelah ada audit menyeluruh dari BPKP.
Karena itu, saat ini menurut hemat penulis yang dibutuhkan adalah audit dari Lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mengingat, penggelembungan kebutuhan anggaran yang semula hanya menelan biaya 6,07 miliar dolar AS ekuivalen Rp 86,5 triliun, tetapi kini menjadi sekitar 8 miliar dolar AS atau setara Rp 114,24 triliun, *merupakan indikasi kuat terjadinya tindak pidana korporasi pada perencabaan dan pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta - Bandung.*
Sehingga, yang melakukan audit harus BPK bukan BPKP. Karena audit dilakukan dengan tujuan untuk menentukan besaran kerugian keuangan negara dalam proyek tersebut.
BPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, *memiliki tugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah dan Lembaga atau Badan lain yang mengelola keuangan negara.* Peran BPK sebagai lembaga negara yang diberi mandat oleh konstitusi untuk memeriksa pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dalam upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi.
Sejak November 2016, BPK telah membentuk satuan kerja Auditorat Utama Investigasi (AUI). Dibentuknya AUI bertujuan untuk semakin *mengoptimalkan pelaksanaan pemeriksaan investigatif, perhitungan kerugian negara dan pemberian keterangan ahli, termasuk juga permintaan pemeriksaan dan perhitungan yang disampaikan oleh instansi penegak hukum.*
Tim ini bisa segera diterjunkan untuk memeriksa perencanaan dan pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta - Bandung yang dikabarkan biayanya membengkak dari 6,07 miliar dolar AS ekuivalen Rp 86,5 triliun, menjadi sekitar 8 miliar dolar AS atau setara Rp 114,24 triliun.
Audit BPK ini tidak berdiri sendiri, melainkan harus didampingi oleh KPK. Bahkan, audit BPK merupakan atas permintaan KPK dalam rangka mengungkap unsur kerugian keuangan negara, dalam proses penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi.
Dalam Bab II Pasal 6 UU Nomor 30 Tahun 2002 terdapat lima tugas utama yang dibebankan pada lembaga KPK, yakni *melakukan Koordinasi dengan instansi yang berwenang*, melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, *Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, *Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi,*, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.
Ada dua pasal utama yang patut diselidiki oleh KPK dengan menggandeng BPK, yaitu :
*Pertama,* ketentuan pasal 2 UU Tipikor yang menyatakan Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
*Kedua,* ketentuan pasal 3 UU Tipikor yang menyatakan Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Dua pasal inilah, yang harus diselidiki oleh KPK bersama BPK. Audit yang dilakukan adalah untuk menentukan jumlah kerugian keuangan negara dan siapa pelaku korupsinya.
Prioritas tugas negara, adalah menghitung kerugian keuangan negara dan menghukum maling-maling yang mencuri uang negara pada proyek kereta cepat Jakarta - Bandung, karena meskipun sebelumnya belum menggunakan dana dari APBN tetapi dikerjakan oleh sejumlah BUMN yang terdapat Penyertaan Modal Negara (PMN) sehingga menjadi objek kewenangan BPK. Negara melalui KPK harus mengusut tuntas korupsi proyek kereta cepat ini, bukannya malah menggelontorkan modal dengan menambah Penyertaan Modal Negara (PMN) dari APBN. [].