Dr Abdul Chair: Cacat Hukum Tersembunyi Perkara RS Ummi, HRS Dkk Harus Dibebaskan!
Ahad, 10 Oktober 2021
Faktakini.info
*CACAT HUKUM TERSEMBUNYI PERKARA RS UMMI: HRS DKK HARUS DIBEBASKAN*
Perkara RS UMMI yang melelahkan itu telah memasuki babak akhir upaya hukum biasa yakni kasasi Mahkamah Agung. Pada awalnya duduk perkara RS UMMI semata-mata adalah pelanggaran Prokes. Kemudian berkembang dengan masuknya delik berita bohong. Perkara RS UMMI tidak menerapkan perbuatan berlanjut (vorgezette handeling) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 64 Ayat (1) KUHP, yang berbunyi: “Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya dikenakan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.”
Ternyata tidak digunakan vorgezette handeling mengandung skenario klasterisasi perkara. Dimaksudkan agar klaster perkara RS UMMI terpisah dari klaster perkara sebelumnya, yakni Prokes Megamendung dan Petamburan. Klasterisasi memang menjadikan masing-masingnya berdiri sendiri. Pada akhirnya tuntutan perkara RS UMMI sebagai residu dari perkara Petamburan dan Megamendung.
Jika seandainya ketentuan Pasal 64 Ayat (1) KUHP digunakan, maka delik hoaks tidak memiliki persintuhan dengan perkara awal yakni Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Pasal 216 KUHP. Kedua pasal tersebut telah pula digunakan dalam dua klaster perkara sebelumnya. Demikian itu tentu terkait dengan asas ‘nebis in idem’, sehingga tidak mungkin lagi diterapkan pada perkara RS UMMI. Menjadi jelas rekayasa klasterisasi menunjuk pada penggunaan delik berita bohong pada tahap (klaster) akhir.
Munculnya perkara RS UMMI bermula dari adanya Laporan Polisi oleh Bima Arya. Dirinya menganggap ada pelanggaran Prokes (swab test). Kemudian terhadap pelaporan pelanggaran Prokes tersebut, ditempelkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana inilah yang kemudian menjadi dasar tuntutan Penuntut Umum dan dengan itu Majelis Hakim menjatuhkan vonisnya. Dengan demikian terlihat perkara yang dimajukan ke persidangan semenjak awal sudah terkandung maksud terhadap HRS dkk harus diproses pidana. Menurut informasi Bima Arya sempat ingin mencabut laporannya, namun tidak jadi dilakukan. Hal ini menjadi dalil bahwa laporan Bima Arya tersebut sebagai entry point delik hoaks dalam proses hukum selanjutnya.
Dari uraian di atas, terlihat susunan perkara secara bertingkat. Bermula dari perkara “swab test” berkembang menjadi delik “menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah” dan kemudian delik “berita bohong yang menerbitkan keonaran”.
Dalam proses selanjutnya, terdapat fakta menarik yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Fakta dimaksud menunjuk adanya media-media online dan you tube channel yang menyebarkan berita hoaks dan ujaran kebencian (hate speech) kepada HRS. Terhadap perbuatan tersebut diklarifikasi oleh AT, HHA dan termasuk HRS sendiri. Sesuai dengan maksud dan tujuannya, klarifikasi dilakukan guna membuat suasana kondusif, agar ummat tidak cemas dan terprovokasi. Disini tidak ada penggunaan pikiran secara salah yang mengarahkan pada tindakan yang dilarang. Tidak ada sifat ketercelaan dalam pemberitahuan tentang keadaan sehat atau dikatakan “baik-baik saja” oleh yang bersangkutan. Sungguh di luar dugaan, AT, HHA, dan HRS yang pada akhirnya di proses pidana. Seharusnya dengan mengacu pada ajaran sebab akibat (kausalitas), pemilik atau pengguna media-media online dan you tube channel itulah yang harus diproses hukum dan dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Dilihat dari kronologis dan kontennya, keberadaan buzzer-buzer tersebut patut diduga sengaja dibentuk untuk menimbulkan kegaduhan (pro-kontra) di media sosial. Seiring dengan itu, muncul aksi demontrasi dan karangan bunga memadati RS UMMI. Aksi demonstrasi dan karangan bunga menjadi dalil Penuntut Umum bahwa telah terjadi “keonaran di kalangan rakyat”. Sejalan dengan itu, terjadinya demontrasi juga didalilkan oleh Majelis Hakim sebagai bentuk dari keonaran. Logika mengatakan susunan perkara yang bertingkat dengan dalil tersebut mengandung makna adanya skenario pemenuhan unsur “keonaran”. Pada akhirnya yang diputuskan oleh Judex Factie memang demikian. Judex Factie telah memperluas norma “keonaran atau kekacauan di kalangan rakyat”. Dengan demikian, menurutnya termasuk dalam pengertian itu adalah juga “kegaduhan di media sosial”. Dua alam yang berbeda (fisikal dan digital) telah dipersamakan.
Pembebanan pertanggungjawaban pidana atas terjadinya kegaduhan di media sosial ditimpakan kepada HRS dkk. Disini berlaku pembalikan beban tanggungjawab. Untuk mengakomodasi unsur delik berita bohong, maka pernyataan kesehatan yang disampaikan didalilkan sebagai perbuatan pidana. Dari unsur ini sudah jelas maksudnya guna mempertemukan dengan unsur berikut yakni “keonaran”. Seolah-olah pada keduanya terdapat hubungan kausalitas.
Perluasan norma tersebut bukan sebagai interpretasi ekstensif melainkan analogi. Memperluas makna melalui penafsiran ekstensif memang dapat dibenarkan sepanjang ada keterpautan hukum dan tentunya tidak bertentangan dengan hukum asalnya (baca: Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana). Majelis Hakim mendalilkan bahwa keberlakuan Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana harus disesuaikan dengan kondisi sekarang. Disini terlihat adanya motivasi menjadikan sesuatu perbuatan yang sebenarnya bukan tindak pidana menjadi tindak pidana.
Dalil Majelis Hakim dengan penggunaan analoginya tidak berpegang kepada aturan yang ada alias menyimpang. Argumen timbulnya “kegaduhan nonfisik” sebangun dengan “kekacauan fisik” di kalangan rakat tidak dapat diterima. Dalil demikian bukan termasuk petunjuk (isyarah) adanya keterpautan hukum dengan tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Peraturan Hukum Pidana. Terlebih lagi undang-undang a quo telah dihapuskan dalam Rancangan KUHP Tahun 2019. Hal itu disebutkan dalam Pasal 626 Ayat 1 huruf a Rancangan KUHP Tahun 2019. Penghapusan tersebut menandakan bahwa sudah tidak ada lagi sebab atau sifat (illat) yang menjadikannya sebagai norma larangan.
Penjelasan di atas semakin memperjelas adanya kondisi cacat hukum dalam penerapan delik berita bohong yang dikenakan pada HRS dkk. Sebelumnya demikian itu nyaris tidak terlihat. Oleh karena itu, Majelis Hakim Kasasi hendaknya memutuskan pembebasan HRS dkk.
Jakarta, 10 Oktober 2021.
*Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.*
(Direktur HRS Center & Ahli Hukum Pidana)
🙏🙏🙏