Memuliakan Marwah Kyai dan Pesantren, Bukan Mendistorsi Apalagi Melakukan Intervensi
Jumlah, 1 Oktober 2021
Faktakini.info
*MEMULIAKAN MARWAH KIYAI DAN PESANTREN, BUKAN MENDISTORSI APALAGI MELAKUKAN INTERVENSI*
Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*
Advokat, Aktivis Gerakan Islam
_"Kami para santri sangat menghormati Kiyai kami, tidak berani memasuki Mihrab Kiyai -meskipun diizinkan- untuk memasukinya. Kemudian, tiba-tiba ada pihak diluar kami, yang dengan lancang memasuki Mihrab Kiyai kami, mengacak-acak isinya dengan dalih ingin mengatur dan menata isinya"_
*[Prolog]*
Kalimat diatas, adalah redaksi pengantar yang penulis sampaikan sebelum penulis yang ditunjuk mewakili santri oleh Abuya KH Machfud Syaubari, MA, memaparkan Kajian Hukum berupa kritik terhadap UU Pesantren berikut aturan turunannya. Esensi UU pesantren, sejatinya adalah ingin 'mengacak-acak' Mihrab Ulama, Ruang Eksklusif yang hanya boleh dimasuki dan ditata oleh Kiyai sesuai dengan perspektif dan keyakinannya.
UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren Jo Permenag No. 31 Tahun 2020 Tentang Pendidikan Pesantren Jo Pepres No. 18 tahun 2021 Tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren, dan Raperda Provinsi Jawa Timur tentang Pengembangan Pesantren, *memiliki substansi dan ruh mencampuri urusan rumah tangga pondok pesantren, mendikte urusan pendidikan pondok pesantren baik terkait kurikulum maupun manajemen dan terlalu jauh mencampuri urusan keuangan pondok pesantren.*
Semestinya, hubungan Umaro dan Ulama itu laksana anak dengan Bapaknya. Umaro wajib menghormati Ulama, mendatangi Ulama, meminta nasehat dan petunjuk Ulama, bahkan meminta teguran Ulama ketika salah dalam menjalankan amanah kekuasaan.
Posisi Ulama harus menjaga jarak dengan kekuasaan, memberi nasehat ketika didatangi Umaro dan mendatangi Umaro untuk meluruskan amanah jika telah keluar dari koridor syariat. Itulah, esensi fungsi dan peran Ulama menjalankan amanah dakwah Amar Ma'ruf Nahi Mungkar kepada penguasa.
UU Pesantren, telah merubah pola hubungan dan interaksi Ulama dan Umaro. UU ini telah menjadikan kedudukan Ulama dan Pesantren sebagai sub ordinat penguasa.
Bukannya menjadikan Penguasa Ta'dzim dan Khidmat kepada Kiyai, sebaliknya justru Kiyai yang berubah harus mendatangi penguasa untuk memenuhi kewajibannya sebagaimana diatur oleh UU Pesantren. Ulama jadi sibuk mendatangi penguasa untuk ngurusi Administrasi kurikulum, meminta persetujuan penguasa terkait kurikulum yang diterapkan pesantren, laporan kepada penguasa tentang aspek manajemen dan keuangan pesantren, bahkan 'merendahkan' ulama untuk mendatangi penguasa hanya dalam rangka mengajukan proposal pendanaan dan 'berebut' jatah dana abadi pesantren.
Belum lagi, UU pesantren sangat rawan dijadikan sarana adu domba dan pecah belah antara Kiyai dan pondok pesantren. Dengan dalih radikal radikul, Islam moderat, pembagian jatah dana abadi pesantren, interaksi antara kiyai dan pondok pesantren bisa dalam keadaan 'hangat' dan mungkin juga 'memanas'.
UU ini juga rawan digunakan untuk menyeret ulama dan pesantren terlibat dalam politik praktis, baik dalam Pemilu, Pilpres maupun Pilkada. Yang mendukung calon tertentu diapresiasi, urusannya dimudahkan, diberi bantuan. Yang kontra, dialienasi, urusannya dipersulit, hingga mungkin saja dikriminalisasi.
Karena itu benarlah sikap para ulama dan pesantren se Indonesia yang hadir dalam acara Silaturahmi Komisi VIII DPR RI bersama Para Kiyai dan Pondok Pesantren Di Ponpes Riyadhul Jannah, Pacet, Mojokerto, Jawa Timur, 30 September 2021 yang lalu, *menolak UU pesantren berikut seluruh aturan turunannya.*
Penulis kira, bukan hanya soal substansi dan ruh UU Pesantren yang mencampuri urusan rumah tangga pondok pesantren, mendikte urusan pendidikan pondok pesantren baik terkait kurikulum maupun manajemen dan terlalu jauh mencampuri urusan keuangan pondok pesantren. Namun juga, UU ini tidak dapat menempatkan adab bagaimana sikap penguasa (Umaro') kepada Kiyai (Ulama).
Mendidik santri tidak sama dengan apa yang ada di pikiran orang-orang yang bukan dari pesantren. Ada hal yang eksklusif, yang bahkan sangat intuitif memaknai bagaimana mendidik santri secara benar, dan intuisi itu hanya dimiliki oleh para Kiyai.
Sudah sewajarnya urusan mendidik santri dikembalikan kepada para kiyai. Kehadiran pemerintah tentu masih dimungkinkan, *sepanjang dalam konteks untuk melayani dan berkhidmat kepada Kiyai, bukan mau 'mengatur-atur' apalagi mengintervensi terlalu jauh urusan yang telah menjadi kafa'ah (kompetensi) seorang kiyai.* [].