Ressa dan Muratov Raih Nobel Perdamaian, Fadli Zon: Pers Punya Tanggung Jawab Awasi Ketidakadilan
Selasa, 12 Oktober 2021
Faktakini.info, Jakarta - Anggota DPR RI Fadli Zon mengapresiasi prestasi dua wartawan yaitu Maria Ressa dari Filipina dan Dmitry Muratov dari Rusia yang memenangkan hadiah Nobel Perdamaian 2021.
Pihak Komite Nobel Norwegia menyatakan, dua wartawan tersebut dinilai gigih dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi di negaranya masing-masing meskipun di tengah kondisi demokrasi yang kian merosot.
Melihat capaian tersebut, Fadli Zon menyampaikan bahwa hal itu bisa menjadi pengingat insan pers Indonesa untuk menjalankan tugas dan fungsinya sebaik mungkin.
“Hadiah Nobel bg @mariaressa seharusnya jadi wake up call bagi pers di Indonesia,” kata Fadli melalui akun twitternya, Senin (11/10/2021).
Menurutnya, insan pers punya tanggung jawab untuk mengawasi proses berbangsa dan bernegara.
“Pers punya tanggung jawab menjaga demokrasi, watchdog thd otoritarianisme n berbagai bentuk ketidakadilan. Dulu ada wartawan jihad Mochtar Lubis. Smg lahir Mochtar Lubis n Maria Ressa di Indonesia,” cuit Fadli.
Seperti diketahui, Ressa, yang mendirikan situs jurnalisme investigasi Rappler, memfokuskan sebagian besar karyanya pada perang kontroversial dan kekerasan Presiden Filipina Rodrigo Duterte terhadap narkoba.
Menurut Komite Nobel, dia juga mendokumentasikan bagaimana media sosial digunakan untuk menyebarkan berita palsu, melecehkan lawan dan memanipulasi wacana publik.
Sementara itu, Muratov mendirikan surat kabar Rusia Novaya Gazeta pada 1993 dan menjadi pemimpin redaksi selama 24 tahun.
Adapun, terakhir kali wartawan yang menerima penghargaan serupa adalah pada 1935 yakni Carl von Ossietzky dari Jerman karena mengungkapkan program persenjataan kembali rahasia negaranya pasca-perang.
Sebagaimana diketahui,
Wartawan Filipina, Maria Ressa, dan wartawan Rusia, Dmitry Muratov, meraih Nobel Perdamaian atas "perjuangan berani" mereka untuk membela kebebasan ekspresi di negara masing-masing.
Komite Nobel menyebut kedua insan itu adalah "perwakilan dari semua jurnalis yang membela idealisme ini".
Para peraih Nobel, dengan hadiah 10 juta krona Swedia (atau sekitar Rp16,2 miliar), diumumkan di Institut Nobel Norwegia di Oslo pada Jumat (08/10).
Keduanya dipilih dari 329 kandidat.
Maria Ressa, yang turut mendirikan situs Rappler di Filipina—dan juga sempat berdiri di Indonesia—dipuji karena dia menggunakan kebebasan berekspresi untuk "mengungkap penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan, dan berkembangnya otoriterianisme di negara asalnya, Filipina."
Dalam siaran langsung yang ditayangkan situs Rappler, Ressa mengaku dirinya "terkejut".
Menurutnya, kemenangannya menunjukkan "tiada yang mungkin tanpa fakta-fakta…sebuah dunia tanpa fakta-fakta berarti sebuah dunia tanpa kebenaran dan kejujuran".
Ressa adalah wartawan kawakan Filipina yang sebelum mendirikan Rappler, menghabiskan kariernya dengan CNN - pertama sebagai kepala biro di Manila dan kemudian di Jakarta.
Dia juga merupakan wartawan investigatif utama media AS tersebut terkait dengan terorisme di Asia Tenggara.
Dia memenangkan sejumlah penghargaan internasional karena liputannya dan dipilih menjadi Time Magazine Person of the Year tahun 2018.
Kebebasan berekspresi di Rusia
Selain Ressa, Komite Nobel memuji Muratov, salah satu pendiri sekaligus editor surat kabar independen Novaja Gazeta. Selama berpuluh tahun, media tersebut membela kebebasan berekspresi di Rusia dalam kondisi yang kian menantang.
Saat diwawancara kanal Telegram, Podyom, Muratov berkata: "Saya tertawa. Saya sama sekali tidak menyangka. Sudah gila di sini."
Muratov menyebut hadiah yang diberikan kepada dirinya merupakan "hadiah bagi jurnalisme Rusia yang saat ini sedang ditekan".
Dia diberi ucapan selamat oleh juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, yang berkata: "Dia bekerja secara gigih sejalan dengan idealismenya, dia teguh pada pendirian, dia berbakat, dia berani".
Hadiah Nobel Perdamaian dimaksudkan untuk menghormati individu atau organisasi yang "melakukan upaya paling baik atau upaya paling bagus demi persahabatan antarbangsa".
"Jurnalisme yang bebas, independen, dan berdasarkan fakta bertugas menangkal penyalahgunaan kekuasaan, kebohongan, dan propaganda perang," papar Komite Nobel dalam pernyataan resmi.
"Tanpa kebebasan berekspresi dan kebebasan pers, akan sulit untuk mempromosikan persahabatan antarnegara secara sukses, perlucutan senjata, dan terciptanya tata dunia yang lebih baik pada masa sekarang," tambahnya.
Hadiah Nobel Perdamaian tahun lalu diberikan kepada World Food Programme atas upaya badan yang bernaung di bawah PBB itu dalam memerangi kelaparan dan memperbaiki kondisi demi perdamaian.
Sumber: suaraislam.id