Terkait Ucapan Agus Widjojo, Pengamat: "The Art of War" Melawan Kelicikan PKI
Rabu, 13 Oktober 2021
Faktakini.info
"THE ART OF WAR" MELAWAN KELICIKAN PKI
By. Ariadi MSi
"Bunuhlah musuhmu dengan memakai pisau orang lain. Artinya gunakanlah perangkat lain untuk menyuarakan perlawanan, kelabui lawan, kuasai logistik dan tempat trategis" . SUN TZU.
Pernah ada seorang ketua PNI Marhaenisme di negeri ini beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa ideologi Partai Komunis Indonesia adalah Pancasila. Tentu banyak pihak yang geram dengan pernyataan itu, karena seolah sedang menggiring masyarakat untuk tidak takut lagi dengan PKI. Menurutnya, PKI berbeda dengan komunis di Uni Soviet dan Cina, karena PKI berideologikan Pancasila. Lalu generasi masa kini pun bertanya-tanya, benarkah ideologi PKI adalah Pancasila? Benarkah PKI di Indonesia mulai bangkit? Lalu seberapa besar bahaya PKI? Apakah lebih berbahaya dari kapitalisme? Lantas di mana posisi kaum muslim?
Siapa pun bisa mengklaim ideologinya Pancasila, termasuk komunis. Karena Pancasila adalah hasil kesepakatan bersama. Tetapi mari kita telaah lebih dalam fakta sejarah PKI, apakah PKI itu berbeda dengan partai komunis yang ada di Uni Soviet dan Cina? Menurut Prof. Fahmi Amhar, memang ada sedikit perbedaan praktik negara-negara komunis yang ada di dunia, termasuk partai komunis di Indonesia, namun perbedaannya tidaklah prinsipil. Sebagai contoh, perbedaan komunis Uni Soviet dan Cina terletak pada kekuatan utamanya. Jika Cina bertumpu pada kaum tani di pedesaan, Uni Soviet menjadikan buruh atau proletar kota sebagai kekuatan utamanya.
Begitu pun PKI yang diadopsi DN Aidit dan kawan-kawannya, berafiliasi pada Cina. Berbeda dengan PKI ala Musso yang memproklamasikan “Republik Soviet Indonesia”. Namun, keduanya memiliki pandangan hidup yang sama, yaitu memandang segala sesuatu adalah materi, dialektika materialism dan Ideologi PKI adalah Komunisme. Akidah/landasan ideologi komunis adalah kufur (tidak mempercayai keberadaan Tuhan). Walau pada praktiknya, para penganut paham komunis pun ada yang beragama. Namun, pemikiran untuk pergerakan mengubah masyarakatnya mengambil komunisme.
Namun yang pasti, para penganutnya (komunis) menganggap penghalang terbesar dalam penyebaran ideologi mereka adalah para pemeluk agama yang ingin menerapkan Islam dalam setiap kehidupannya. Maka, wajar jika pembantaian terhadap ulama terjadi. Ingat tragedi pembantaian yang dilakukan Musso dan kawan-kawan di Madiun tahun 1948. Persis seperti yang dilakukan DN Aidit dan kawan-kawannya pada 1965. Peristiwa G/30S/PKI adalah pembantaian sadis Komunis pada para Jenderal TNI, di mana jasadnya dimasukkan ke sumur tua di Lubang Buaya.
Mengapa nyawa harganya murah sekali? Menurut paham komunis, pertentangan kelas itu harus ada. Walhasil, mereka akan menghalalkan segala cara untuk menciptakan perubahan. Adanya pembantaian terhadap ribuan manusia sah saja di mata mereka, karena semua itu merupakan jalan yang harus dilalui dalam perubahan. Terlebih para santri dan ulama merupakan penghalang terbesar mereka.
Apakah Ideologi PKI akan Bangkit? Sebuah ideologi tidak akan mati selama masih ada yang mengembannya. Begitu pun ideologi komunis, walaupun sudah tidak diemban secara utuh oleh satu negara, namun keberadaannya masih diterapkan sebagian/parsial, seperti di RRC. Ideologi komunis pun masih diemban individu-individu. Pemikiran-pemikiran komunisme masih hidup di kampus-kampus dan juga karya literasi, seperti buku dan konten-konten di media sosial. Bahkan keberadaannya disinyalir masuk ke parlemen dan memengaruhi kebijakan yang diputuskan.
Karena sehebat apa pun bajunya berganti, entah baju Musso atau baju DN Aidit, atau bahkan baju yang berbeda lagi, namun pemikiran asasi mereka tetap sama. Ruhnya sama, yaitu membenci agama dan menghalalkan segala cara untuk merealisasikan delusi mereka. Jika hari ini ada yang memersekusi ulama, mengkriminalisasi ajaran Islam politik, khususnya syariah Islam, patut dicurigai mereka berbadan sama tetapi bajunya saja yang berbeda.
Farid Wadjdi mengatakan, komunisme adalah bahaya laten. Adapun sosialisme-komunisme yang menjadi ideologi PKI, memberikan trauma hebat bagi bangsa ini melalui peristiwa pembantaian oleh PKI. Apalagi asasnya yang menolak keberadaan Tuhan, secara otomatis tertolak dalam benak kaum muslim Indonesia. Inilah mengapa komunisme dikatakan bahaya laten. Selain bahayanya telah diketahui umat dan umat akan terus waspada, juga karena ideologi ini sudah tidak diemban utuh negara mana pun.
Lalu, di mana posisi kaum muslimin saat komunisme terbukti berbahaya dan membawa malapetaka bagi umat manusia? Kaum muslim harus mampu menghadirkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin pada seluruh umat manusia. Layaknya sebuah ideologi yang memiliki seperangkat aturan tentang kehidupan, penerapan Islam haruslah totalitas agar mampu menjawab seluruh persoalan, yang tak bisa terlaksana tanpa diterapkannya sistem politik Islam, yaitu Syariat Islam.
Mengingat apa yang disampaikan professor Ahmad Mansur Suryanegara, “Bisa jadi PKI bangkit bukan lagi dalam bentuk partai, tapi menyebarkan anggotanya ke berbagai partai. Ini sama dengan yang diajarkan Sun Tzu dalam ‘The Art of War’, bunuhlah musuhmu dengan pisau orang lain. Artinya gunakanlah perangkat lain untuk menyuarakan perlawanan, kelabui lawan, kuasai logistik dan tempat strategis. Terakhir adalah memecah belah lawan. Buat mereka tidak menyatu sehingga menjadi lemah dan tercerai berai. Maka itu, selalu waspada.
Menurut M RIzal Fadillah pernyataan Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo aneh bisa ngomong asbun dan ngaco. Memalukan korps TNI atas ungkapan yang jauh menyimpang dari doktrin TNI yang dipegang TNI dan dikenal rakyat. Ungkapan putera dari Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo yang dibunuh PKI ini jika tidak diluruskan dapat membawa TNI jauh dari rakyat dan rakyat pun menjauh dari TNI.
Pandangan brutal Agus Widjoyo awalnya didasarkan pada persepsi menyalahkan Irdam XIII/Merdeka Brigjen Junior Tumilaar yang membela habis Babinsa yang dipanggil Polri akibat berurusan dengan pembelaan pada rakyat. Hubungan TNI dengan rakyat menjadi tema wawancara Agus dengan Najwa Shihab dalam acara Narasi. Narasi Agus ternyata "jeblok".
Tiga "jeblok" nya narasi Agus Widjojo, yaitu :
Pertama, saat perang TNI bersatu dengan rakyat, contohnya perang gerilya, tetapi setelah sistem demokrasi maka rakyat itu menjadi milik Presiden sebagai akiibat adanya Pemilu Pilpres. Weleh, logika kok bisa seperti ini ? Asas rakyat berdaulat itu tidak hilang dengan terpilihnya Presiden, mas. Rakyat milik Presiden itu bukan di negara demokrasi tetapi di negara yang menganut asas "l'etat cest moi" Negara adalah Aku !
Kedua, kemanunggalan TNI dengan rakyat itu untuk prajurit bukan Mabes atau institusi. Waduh, bahaya kalau begini. Prajurit dilepas dari institusi. Prajurit menjadi obyek eksploitasi dan diserahkan pada rakyat untuk melayani. Ini namanya doktrin licik TNI. Pantas jika para Perwira Tinggi hidupnya mewah dan berkelas, sementara Prajurit belepotan seperti menderitanya rakyat kebanyakan. Terbentuk kaum borjuasi para Jenderal.
Ketiga, pernyataan bahwa TNI membela rakyat itu keliru. Termasuk Babinsa yang mengurusi masyarakat sipil. Widjojo lupa Babinsa itu singkatan dari Bintara Pembina Desa yang merupakan Satuan Teritorial TNI AD yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Sebagai unsur terdepan Babinsa dituntut aktif mengatasi persoalan yang ada di lingkungannya. Nah, disini TNI mencoba bersatu dan membantu, bukan menipu dan membebani rakyat.
Dari kacamata manapun pernyataan Agus Widjojo itu salah, cermin dari egosentrisme seorang Gubernur Lemhanas. Apakah Agus tidak pernah baca Undang-Undang TNI yang menegaskan bahwa TNI adalah tentara rakyat dan tentara pejuang ? Juga dalam pengembangan profesionalitas harus mengacu pada prinsip demokrasi dan supremasi sipil ? Artinya rakyat tidak bisa dipisahkan dari kiprah dan peran TNI.
"Rakyat milik Presiden" adalah ucapan paling tragis dan memprihatinkan dari seorang Purnawirawan Perwira Tinggi TNI ini.