"The Missing Link”, Akhir Petualangan Lettu Doel Arief dalam Peristiwa G 30 S/PKI

 


Rabu, 27 Oktober 2021

Faktakini.info

'The Missing Link”

Akhir petualangan Lettu Doel Arief pun tak jelas. Sebagai komandan Pasukan Pasopati yang menjadi operator G 30 S, ia adalah tokoh kunci. Ia bertanggung jawab terhadap operasi penculikan jenderal-jenderal pimpinan AD. Tapi Doel Arief, yang ditangani langsung oleh Ali Moertopo, hilang bak ditelan bumi. Bentuk hukuman apa yang diberikan Ali Moertopo bagi Doel Arief? Mungkin saja ia langsung di-dor, seperti halnya D.N. Aidit oleh Kolonel Yasir Hadibroto. Atau, bukan tidak mungkin, ketidakjelasan Doel Arief lebih mirip dengan misteri tentang Sjam Kamaruzzaman.

Kalau dilihat secara holistik (dengan asumsi bahwa G 30 S betul-betul merupakan skenario kudeta) peran Doel Arief tidak begitu penting. Setidaknya, ia hanyalah pion yang dimainkan para elit di atasnya. Perannya hanya sebagai pelaksana untuk menculik para jenderal. Namun kalau diasumsikan bahwa G 30 S merupakan skenario jenial untuk menabrakkan PKI dan AD guna memunculkan konstelasi politik baru di Indonesia, maka Lettu Doel Arief adalah key person, seperti halnya Sjam.

Dalam sebuah operasi intelijen, antara operator dan pengguna (desainer gerakan), tak ada struktur komando langsung. Yang ada hanyalah pivot atau penghubung secara tidak langsung, yang biasanya dimainkan oleh beberapa aktor kuci. Kalau Sjam dianggap sebagai desainer G 30 S, dan Untung adalah pelaksana - maka tesis yang muncul adalah; Doel Arief sebagai pivot. Dalam istilah intelijen, ia adalah faktor cut - disadari atau tidak disadari oleh Doel Arief sendiri. Kalau operasi intelijen ternyata gagal, faktor cut memang harus di-cut (artinya: didor!) agar tidak meninggalkan jejak.

Berdasarkan asumsi di atas, dapat disusun rekonstruksi sebagai berikut: Sjam mendesain gerakan yang dirancang untuk dilakukan Untung. Namun, ada pihak ketiga yang memanfaatkan Lettu Doel Arief untuk mengacaukan gerakan. Cara kerjanya mirip dengan virus komputer yang dirancang untuk mengacaukan program atau sistem. Kalau semula tidak ada perintah bunuh terhadap para jenderal, tetapi oleh Doel Arief (selaku komandan Pasukan Pasopati), diberikan instruksi “tangkap hidup atau mati”. Akhirnya, gerakan menjadi kacau-balau.

Betulkah eks Lettu Doel Arief merupakan faktor cut yang dimanfaatkan oleh pihak ketiga? Lalu, siapakah pihak ketiga itu? Soeharto-kah?

Sulit untuk menyimpulkan. Perkembangan yang terjadi sungguh-sunggu rumit. Lettu Doel Arief bergabung bersama Pelda Djahurub dalam operasi penculikan di rumah Nasution. Tetapi ternyata operasi itu gagal. Nasution lolos. Dan hanya membawa ajudan sang jenderal; yaitu Pierre Tenden yang sesungguhnya bukan target utama atas operasi penculikan tersebut. Bahkan Pierre Tendean dan Karel Satsuit Tubun (pengawal di rumah Leimena) menjadi korban. Operasi penculikan di rumah Nasution itu sendiri sama sekali tidak elegan. Sebab dari awal sudah memancing keributan; yang berarti membuka kemungkinan untuk gagal. 

Menurut keterangan yang diperoleh dari pengadilan Gathut Soekresno, sebetulnya diperoleh petunjuk tentang Doel Arief. Ketika ditanya hakim apa tindakan yang diambil Gathut (selaku petugas pengamanan) basis di Halim, di bawah komandi Mayor Soedjono) setelah jenderal-jenderal itu dibawa ke Lubang Buaya, Gathut menjawab:

“Doel Arief memaksa meminta saya supaya segera dibereskan saja. Saya tidak tahu apa yang harus saya perbuat, kemudian saya menulis surat kepada Mas Jono (maksudnya, Mayor Udara Soedjono), yang di sampaikan per kurir yang bunyinya ialah bagaimana mengenai para jenderal yang sudah ada di Lubang Buaya, terutama yang masih hidup. Oleh karena waktu itu kami dalam keadaan gugup, maka kami suruhkan kurir untuk membawa surat sampai kedua kali untuk minta keputusan Mas Jono, yang pada waktu itu berada di PENAS (gedung penas). Lagipula oleh karena Saudara Doel Arief waktu itu mengulangi lagi permintaannya, memaksa-maksa dan membentak-bentak, maka kami jawab kami belum mengerti bagaimana saya harus berbuat, karena ketentuan harus datang dari Mas Jono.

...Kemudian ada orang datang membawa balasan yang ditulis di balik surat kami, yang mana maksudnya supaya para jenderal itu diselesaikan, dibereskan, artinya ditembak mati.

...Kemudian karena saya sendiri tidak mempunyai niat semacam itu, maka hal itu tidak dapat kami lakukan sendiri, maka kami perintahkan kepada Serma Marsudi, anak buah langsung dari Mayor Soedjono, untuk melaksanakan perintah itu."

Analisis yang lain: Sjam-lah yang merupakan faktor cut. Berdasarkan pengakuan Kolonel Latief, bahwa ada hal-hal yang di luar perencanaan, tak sulit diduga bahwa Sjam memainkan kartu penting. Menurut Latief, sebenarnya dalam perundingan, tidak ada rencana pembunuhan terhadap para jenderal.

“Mula-mula kita sepakati para jenderal itu dihadapkan kepada Presiden/Panglima Tertinggi Bung Karno di Istana. Pelaksanaannya oleh Resimen Cakrabirawa yang dikomandoi oleh Letkol Untung. Komando pelaksananya Letnan Doel Arief. Tanpa sepengetahuan Brigjen Soepardjo dan saya sendiri, Sdr. Sjam ikut Letkol Untung. Kami baru tahu setelah selesai pelaksanaan atas laporan Letnan Doel Arief. Saya dan Brigjen Soepardjo kaget. “Kenapa sampai mati?” tanya Pak Pardjo. Letnan Doel Arief menjawab bahwa Sjam menginstruksikan bahwa bila mengalami kesulitan menghadapi para jenderal, diambil saja hidup atau mati. Mereka melaksanakan perintah Sjam karena tahu bahwa Sjam duduk dalam pimpinan intel Cakrabirawa.”

Sebelumnya, Sjam memang pernah diperkenalkan Letkol Untung kepada Soepardjo, Latief, Mayor Udara Soedjono, Mayor Agus Sigit (Dan Yon 203 Brigif), dan Kapten Wahyudi (Dan Yon AURI) - sebagai intel Cakrabirawa. Dengan atribut sebagai intel, Sjam pun memiliki akses ke Cakrabirawa sebagai operational tools G 30 S dan memainkan peran sebagai faktor cut.

Kedekatan Sjam (juga Untung dan Latief) dengan Soeharto, membuat orang menduga-duga soal keterlibatan Soeharto dalam operasi ini. Namun, betapa pun, raibnya Sjam menjadi problema tersendiri bagi upaya mencari siapa sesungguhnya desainer gerakan, yakni otak gerakan yang sesungguhnya. Doel Arief yang juga hilang tak tentu rimbanya, juga menjadikan persoalan ini kian rumit.

Sebuah missing link yang lain adalah D.N. Aidit. Setelah G 30 S gagal mendapat dukungan Soekarno, langsung Aidit terbang ke Yogyakarta. Ia kemudian menghilang, dan tertangkap di daerah Boyolali oleh Kolonel Yasir Hadibroto. Sayangnya, Aidit dieksekusi terlebih dulu sebelum diadili. Padahal, kalau ia dibawa hidup-hidup ke pengadilan, keterangannya akan sangat berguna untuk menemukan missing link yang terputus. Aparat hanya menyeret istri Aidit, Sutanti, dan mertuanya (Ibu Mudigdo) ke tahanan.

Mayjen Tahir dari Teperpu tidak mempersalahkan tindakan Yasir Hadibroto terhadap Aidit. Menurutnya, “Karena ditangkap lewat operasi, maka putusannya terserah pimpinan operasi. Yasir Hadibroto itu memang orangnya boleh dikata jiwanya jiwa tentara. Jadi, patut kalau Pak Yasir itu, setelah pemeriksaan seperlunya oleh Tim Operasi Solo dan dianggap cukup, mengambil keputusan, “Udah bunuh saja!”. Pertimbangannya saya nggak ngerti. Kalau untuk menghilangkan jejak, saya jawab no comment.”

Yasir Hadibroto sendiri, dalam pengakuannya, menolak intervensi Soeharto atas keputusannya mengeksekusi D.N. Aidit. Yang terjadi pada waktu itu, kata Yasir, penembakan itu bukan untuk menutupi rekayasa G 30 S/PKI. Yasir mengaku hanya menjalankan tugas.

Saat tertangkap di daerah Boyolali, tutur Yasir, Aidit sempat mengeluh. Mungkin, karena waktu itu jabatannya sebagai seorang Menko (Menteri Koordinator), dia merasa tidak layak ditangkap oleh pasukan yang hanya dipimpin seorang kolonel. “Karena merasa dilecehkan itu, Aidit kemudian meminta pasukan saya menembak mati dirinya,” kata Yasir. “Ya, saya sih sebagai prajurit yang patuh dan penurut, langsung menuruti permintaannya. Karena dia mintanya ditembak, ya saya kasih tembak.”

Terlepas dari apakah ada instruksi dari Jakarta untuk menembak mati Aidit atau tidak, sebetulnya tindakan Yasir itu justeru memperumit persoalan. Bagaimana pun, keterangan Aidit di pengadilan sangat dibutuhkan. Bukan tidak mungkin, G 30 S /PKI adalah rekayasa Aidit dan Sjam untuk kepentingan tertentu. Inilah yang hingga saat ini masih kabur.

Selesai