TNI Bilang Aman & Tak Melanggar, Pakar: Justru Kapal China Harus Izin Jika Riset di Laut Natuna Utara
Sabtu, 9 Oktober 2021
Faktakini.info, Jakarta - Pakar aspek teknis hukum laut, I Made Andi Arsana mengatakan aktivitas riset yang dilakukan kapal asing di wilayah perairan Indonesia, termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE) sejatinya harus mendapatkan izin dari pemerintah RI.
Hal itu disampaikannya terkait dengan dugaan kapal riset milik China, Hai Yang Di Zhi 10 yang terdeteksi berada di Laut Natuna Utara sejak akhir Agustus lalu.
Setelah sempat keluar, kapal itu diketahui kembali terdeteksi masuk ke Laut Natuna Utara awal pekan ini.
Andi menjelaskan, Laut Natuna Utara memiliki perbatasan dengan negara tetangga, yakni Vietnam dan Malaysia.
Pemerintah tiga negara telah menyepakati landas kontinen. Namun, untuk ZEE sendiri masih belum klir.
"Jadi batas kita di laut China Selatan itu, batas dasar air laut (landas kontinen) sudah (klir), batas air laut (ZEE) itu belum klir dan disepakati dengan Vietnam dan Malaysia," kata Adi saat dihubungi, Rabu (6/10) malam.
Dengan kondisi itu, Dosen Teknik Geodesi UGM ini mengatakan jika benar kapal asing itu masuk ke landas kontinen, tindakan tersebut termasuk pelanggaran seandainya dilakukan tanpa izin dari Pemerintah Indonesia.
"Karena sudah disepakati (landas kontinen), berarti kalau dia tanpa izin ya enggak boleh sama sekali. Kalau misal ada izin, kita kerjasama dengan negara lain, itu biasa dilakukan," katanya
"Dalam konteks China. Lagi lagi saya enggak kan punya data. Apakah betul dia datang dan bolak balik. Tapi jika betul datanya sahih, dan betul terbukti kapal China itu masuk dalam landas kontinen Indonesia. Itu sudah pasti salah," imbuhnya.
Antara ZEE dan Wilayah Teritorial
Dihubungi terpisah, Pakar Hukum Internasional Hikmahanto Juwana, mengatakan di ZEE, walaupun bukan bagian dari teritorial, telah disepakati bahwa negara pantai lah yang memilih hak berdaulat di sana.
Oleh karena itu, kapal asing tidak bisa serta merta melakukan kegiatan di sana, termasuk mengekspoitasi sumber daya alam (SDA) tanpa izin negara pantai, kecuali hanya untuk melintas.
"Ya tidak boleh mengambil SDA tanpa persetujuan negara pantai. Tapi boleh melalukan pelayaran," kata Hikmahanto saat dihubungi.
Guru Besar di Universitas Indonesia itu menerangkan wilayah laut yang tunduk pada kedaulatan negara disebut laut teritorial dan itu lebarnya 12 mil dari pangkal laut.
"Tetapi masyarakat internasional menyepakati bahwa kalau ada sumber daya alam yang ada di dalam kolom air, dari setelah 12 mil itu sampai dengan 200 mil, itu namanya zona ekonomi eksklusif," kata Hikmahanto.
Apapun yang ada di ZEE--dari mulai ikan hingga kandungan di bawah permukaan bumi-- menjadi hak negara pantai untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasinya.
"Kalau misalnya dia [asing] enggak ambil [apapun, termasuk] ikan, enggak apa-apa... Karena kalau di ZEE perairan internasional, bukan tunduk pada kedaulatan negara," kata Hikmahanto.
Oleh karena itu, apabila ada kapal melakukan pelayaran---mondar-mandir--di wilayah ZEE itu maka tak bisa dilarang, kecuali melakukan kegiatan yang melanggar hak berdaulat RI di sana.
Saat ditanya soal riset yang mungkin dilakukan kapal asing di wilayahZEE tersebut,Hikmahanto menjawab,
"Iya enggak apa-apa. Menaruh kabel laut di sana juga enggak apa-apa, itu kan bukan kedaulatan kita," katanya.
TNI AL, sambung Hikmahanto, hanya bisa beroperasi menegakkan kedaulatan RI di wilayah teritorial, sehingga perairan internasional tidak tunduk pada itu.
"TNI AL itu tentu hanya sampai 12 mil, penegak kedaulatan. Di luar 12 mil enggak boleh lagi dia," kata Hikmahanto. [cnnindonesia]