(Video) Ustadz Novel: Kalau Densus 88 Gak Mampu Tangani OPM, Serahkan ke Kami

 


Rabu, 13 Oktober 2021

Faktakini.info, Jakarta - Cuitan politikus Gerindra Fadli Zon yang mengusulkan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror sebaiknya dibubarkan memantik perdebatan. Fadli menyebut Densus 88 mengeluarkan narasi Islamofobia.

Anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan mengatakan jika dirinya mengaku memahami kerisauan koleganya, Fadli Zon, terkait pemberantasan terorisme.

Hinca mengatakan Densus 88 harus mengevaluasi diri dan menerima kritikan Fadli Zon sebagai masukan untuk memperbaiki diri. 

“Saya memahami kegelisahan Mas Fadli Zon, sahabat saya. Itu kritik yang saya kira harus diperhatikan oleh Densus 88. Karena dia merasa Densus 88 pilih kasih terhadap organ tertentu,” kata Hinca, Kamis (7/10/2021).

Politisi Partai Demokrat pun mendorong Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mengevaluasi kinerjanya. Agar kepercayaan publik terhadap pasukan khusus itu lebih menguat.

“Saya kira (kritik Fadli Zon, Red.) ini masukan untuk Densus 88 untuk memperbaiki dan kemudian kita bikin lebih baik lagi,” sebut Hinca.

Hal ini juga dibahas dalam Catatan Demokrasi tvOne dengan tema 'Densus 88 Dituding Islamofobia'. Adu argumen sempat terjadi antara Wakil Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni (PA) 212 Ustadz Novel Bamukmin dengan Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia, Islah Bahrawi.

Dalam paparannya, Ustadz Novel menyebut polemik Densus 88 luar biasa sejak dibentuk karena dianggapnya menimbulkan ketidakadilan. Ia menyebut angka 88 dalam nama Densus itu juga karena merujuk jumlah korban tragedi bom Bali. Padahal korban di pihak umat Islam akibat aksi teror dan pembunuhan seperti di Poso, Maluku, pembunuhan terhadap Kyai dan lainnya jauh lebih banyak. 

Ustadz Novel pun mempertanyakan peran dan keberadaan Densus yang memiliki anggaran besar. Apalagi, saat ini sudah ada Brimob hingga Kopassus yang seharusnya bisa dioptimalkan pemerintah. 

"Nah, boleh juga Densus 88 ini dilanjutkan keberadaannya. Asal dengan catatan, betul-betul menjalani fungsinya untuk memerangi teror tanpa pandang bulu. Karena Indonesia saat ini dirongrong oleh pemberontak-pemberontak yang ada di Papua," kata Novel dikutip VIVA pada Rabu, 13 Oktober 2021.

Bagi dia, Densus seperti gerak cepat alias gercep jika bersinggungan dengan Umat Islam. Ia mengatakan, hanya baru diduga teroris tapi sudah bisa ditembak di jalan. Padahal, mestinya mengedepankan asas hukum praduga tidak bersalah. 

"Tetapi, Densus ini punya kebijakan lain yang memang boleh dikatakan sudah menjadi industri untuk fabrikasi," tutur Novel.

Menurut dia, sudah seharusnya Densus ini fokus terhadap ancaman pemberontak yang membahayakan NKRI. Ia menyebut  teroris kelompok kriminal bersentaja (KKB) yang bagian Operasi Papua Merdeka atau OPM mestinya jadi target utama Densus.

"Ada OPM yang selama ini sudah memakan korban baik TNI, Polri, sipil itu sudah memakan korban. Itu jelas di depan mata," jelas Novel.

Bagi Novel, jika tak mau dicap Islamofobia, Densus dengan anggaran dilengkapi persenjataan,mestinya ikut perangi teror OPM.

"Itu teror, itu teror luar biasa. Jadi, kita melihat kalau nggak mampu dengan anggaran besar, kemudian senjata yang ada serahkan saja kepada ke kami. Laskar-laskar banyak. Kita akan bisa berantas itu OPM. Kalau nggak becus Densus ya bubarin," ujar Novel.

Pernyataan Novel sempat ditertawakan Islah Bahrawi. Islah tidak setuju dengan Novel.

"Jadi, laskar-laskar dibenturkan sesama sipil gitu, supaya terjadi konflik komunal? Tidak gitu, tidak gitu," tuding Islah. 

Novel melanjutkan paparannya dengan menyebut Densus yang tak memiliki prestasi. Kata dia, Densus hanya menjadikan umat Islam sebagai korban karena narasi Islamofobia. Namun, tidak ikut memberantas separatis-separatis yang terbukti memberontak dan membahayakan NKRI.

Kemudian, ia menyebut bila Densus sudah digunakan untuk kepentingan politik. Novel mencontohkan Densus untuk menangkapi lawan politik pemerintah seperti kasus eks Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman.

"Saya tahu FPI ini adalah pelopornya Bang Munarman untuk aksi-aksi kemanusian boleh dilihat rekor terdepan dari pada FPI untuk aksi kemanusiaan sampai saat ini," ujar Novel. 

Saat Novel bicara dugaan terorisme fabrikasi dan mencontohkan kejadian 2010 yang dialami FPI, Islah memotongnya. Sempat terjadi perdebatan memanas karena keduanya tidak mau saling bergantian ngomong. 

Islah yang dipersilakan presenter untuk bicara menanggapi Novel soal nama Densus. Dia menjelaskan angka 88 dalam Densus itu bukan arti dari jumlah tragedi korban bom Bali.

Dia mengklaim angka 88 itu berasal dari kata Anti-Terorism Act (ATA) atau yang dilafalkan dalam Bahasa Inggris berbunyi ei ti ekt atau terdengar seperti eighty eight.

"Jadi, begini. Nama Densus itu 88 tidak mengacu ke nama korban atau apa. Dia mengacu dari ATA, yang kemudian diplesetkan menjadi ei ti ekt Anti Teror Act itu singkatannya. Salah Anda!" Tuding Islah.

Dia melanjutkan bila Densus 88 itu dilahirkan karena amanah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme. Islah tuding Novel keliru. Ia tidak setuju bila Densus dianggap untuk memberangus lawan politik.

"Dengan UU Nomor 5 tahun 2018 ketika teroris belum melakukan aksinya ketika mereka baru melakukan persiapan, dia sudah bisa ditangkap dengan alat bukti yang cukup," tutur Islah.

Sumber: viva.co.id

Klik video: