HMI MPO Bela MUI

 



Selasa, 23 November 2021

Faktakini.info

*HMI MPO Bela MUI*

Ditulis Oleh : Affandi Ismail Hasan (Ketua Umum PB HMI) 

Merespon penangkapan Ustadz Dr. Ahmad Zain an-Najah (Anggota Komisi Fatwa MUI) oleh Densus 88 anti teror Mabes Polri beberapa hari yang lalu, Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) tentunya tergerak untuk memberikan tanggapan dan sikapnya perihal peristiwa tersebut. Mejelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai Wadah Musyawarah Para Ulama Zu'ama dan Cendekiawan Muslim di Indonesia yang telah ada sejak tahun 1975 ini harus dibela tidak saja oleh HMI dan Ummat Islam tapi juga seluruh Rakyat Indonesia. 

Sebab MUI sebagai institusi telah memberikan kontribusi dan berjasa sangat besar bagi keutuhan NKRI dan khususnya bagi Ummat Islam Indonesia. Sebagai wadah pemersatu Ummat yang di dalamnya berhimpun para 'Alim 'Ulama dan Cendekiawan Muslim dari berbagai Ormas Islam maka eksistensinya harus dipertahankan dan dijaga dari berbagai upaya 'makar' untuk melemahkan dan bahkan membubarkan MUI. Makar yang dimaksud adalah ajakan pembubaran MUI melalui #BubarkanMUISarangTeroris.

Melemahkan MUI berarti melemahkan Ummat Islam yang selama puluhan bahkan ratusan tahun dapat hidup berdampingan dan menerima perbedaan serta keberadaan entitas atau kelompok minoritas di luar Islam di NKRI ini dalam bingkai ke Bhinekaan dan ke Tunggal Ikaan. 

Sehingga tegas PB HMI mengatakan bahwa pihak yang membuat dan menyebarkan serta setuju dengan hashtag bubarkan MUI harus diberikan tindakan tegas oleh aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah Polri karena pihak pembuat hashtag tersebut telah membuat kegaduhan di  masyarakat dan bisa mengancam keutuhan NKRI. Sudah bisa dipastikan bahwa hashtag ini berasal dari kelompok Islamophobia. 

Lalu bagaimana mungkin MUI menjadi sarang teroris dan paham terorisme sedangkan tegas MUI sendiri melalui Fatwa No. 3 Tahun 2004 tentang Terorisme secara substantif berkomitmen dalam mendukung penegakan hukum terhadap ancaman kekerasan terorisme. Olehnya itu HMI mengajak kepada seluruh OKP khususnya OKP Islam, Ormas Islam dan Seluruh Rakyat Indonesia untuk membela MUI. Sebab ini soal marwah MUI dan Ummat Islam dimana MUI sebagai representasi Ummat serta soal keutuhan NKRI. 

Benar bahwa terorisme adalah paham (ideologi) yang berbahaya olehnya itu terlarang. Namun paham terorisme itu sama sekali tidak diekstrak dari ajaran Islam, karena sejatinya Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil 'Alamin). 

Sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan tentunya Islam sangat tidak menganjurkan bahkan melarang pemeluknya melakukan kekerasan atas dasar dan alasan apapun termasuk atas nama Islam kecuali  berdasarkan pada tuntunan dan ketentuan Syari'at (Al Qur'an, Sunnah Nabi Muhammad SAW dan Ijma' para 'Ulama), seperti hukum qishos, rajam, cambuk dan potong tangan yang dilakukan terhadap pelaku kejahatan berdasarkan pertimbangan syar'i untuk memberikan pembelajaran kepada manusia agar tidak melakukan kejahatan sebab sangat merugikan orang lain. Sekalipun di dalam kondisi perang untuk kepentingan bertahan sebab diserang oleh musuh, kekerasan (membunuh musuh) boleh dilakukan namun bukan atas dasar hawa nafsu.

Jika ada muslim yang terlibat melakukan tindakan teror, maka dapat dipastikan bahwa pemahaman itu muncul dari interpretasi (tafsir) yang keliru bahkan sesat atas ajaran Islam dan jelas melenceng dari perilaku yang dicontohkan oleh Baginda Rasulullah SAW, keluarga beliau, para sahabat beliau, dan para tabi'in radhiyallahu 'anhum dalam konteks interaksi sosial (mu'amalah) sampai politik dimana ketika Islam memimpin maka Islam akan menjadi pengayom bagi ummat lainnya tidak saja hanya kepada ummat Islam dan hal ini dapat dilihat ketika Pemerintahan Islam memimpin di Madinah al Munawwarah dimana Islam benar-benar menjadi Rahmatan lil 'Alamin. 

Sekali lagi originalitas ajaran Islam tidak mengajarkan terorisme. Sehingga teroris dan terorisme adalah oknum dan bukan cerminan dari keseluruhan ummat muslim. Artinya bahwa Islam tidak indentik dengan terorisme. 

Olehnya itu juga menjadi teroris sangat mungkin bisa terjadi bagi oknum dan/atau kelompok di luar Islam atas dasar suatu kondisi ketimpangan sosial, ketidakadilan, dan kedzaliman di suatu negeri yang menimpa mereka. Sehingga dari sini ada hal yang paling penting perlu dicermati oleh semua pihak bahwa terorisme lahir dari banyak variabel atau faktor, tidak hanya atas dasar motif tafsir yang keliru atas agama seperti yang telah dipaparkan di atas, namun juga sangat mungkin dapat dimotivasi oleh adanya disharmoni yang terjadi dalam tatakelola oleh pemerintah terhadap berbagai dimensi kehidupan di tengah masyarakat dan bahkan juga dibalik tindakan terorisme bisa disusupi oleh agenda terselubung (hidden agenda) yang berkaitan dengan kepentingan ekonomi, politik dan kebudayaan. Maka sangat tidak adil jika agama dianggap sebagai satu-satunya variabel dari munculnya terorisme apalagi agama itu adalah Islam. 

Pengurus Besar HMI sangat mengapresiasi sikap tegas dan bijak MUI yang dituangkan melalui Bayan Majelis Ulama Indonesia tentang Penangkapan Dugaan Tersangka Terorisme yang terbit per tanggal 12 Rabi'ul Akhir 1443 H/17 November 2021, terutama pada point ke 3 (tiga) yang isinya meminta agar aparat berkerja secara profesional dengan senantiasa mengedepankan asas praduga tak bersalah dan dipenuhi hak-hak yang bersangkutan untuk mendapatkan perlakuan hukum yang baik dan adil. Menurut PB HMI ini adalah sikap yang sangat bijak oleh MUI sebagai wadah pemersatu ummat. 

Di sisi yang lain ada fakta/realitas yang sangat mengherankan dan patut disayangkan oleh publik yaitu mengapa sampai saat ini issue terorisme masih santer di Indonesia. Padahal menyoal terorisme ini bukanlah hal yang baru di Indonesia. Justru dewasa ini jika masih ada teroris serta paham terorisme berkembang di Indonesia, maka tegas kinerja pemerintah khususnya Polri melalui Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) perlu dipertanyakan dan dievaluasi secara serius sebab terorisme bukanlah masalah baru di Indonesia. 

Kita juga tentu ketahui bersama bahwa dana yang tidak sedikit telah digelontorkan oleh Negara kepada kedua institusi tersebut namun seolah-olah tidak berarti apa-apa sebab kabarnya jaringan terorisme di Indonesia masih ada. 

Bahkan tercatat sejak peristiwa bom Bali pada 12 Oktober 2002 sampai sekarang issue terorisme ini seakan-akan malah menjadi project yang menjanjikan dan parahnya selalu mampu mengalihkan perhatian publik terhadap berbagai macam problem multidimensi yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini seperti bahaya covid 19 yang tidak kunjung tuntas, kualitas kesehatan yang semakin anjlok, ekonomi yang sangat rapuh, hutang luar negeri yang semakin membelit, kualitas pendidikan bergerak semakin mundur, penegakan hukum yang tebang pilih yaitu tumpul ke atas namun tajam ke bawah, darurat tindak pidana korupsi terutama di kalangan elit penguasa, tingkat pengangguran dan kemiskinan meningkat, dan berbagai ketimpangan hidup lainnya ditambah lagi nasib demokrasi Indonesia yang semakin memperihatinkan sebab rezim Jokowi ini semakin jelas menghamba kepada kepentingan Oligarki terbukti melalui kebijakan dan regulasi yang lahir seperti Undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) dan Undang-undang No. 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). 

Fakta mengherankan lainnya yaitu di tengah konsentrasi dan fokus pengawalan rakyat Indonesia kepada beberapa persoalan bangsa seperti skandal bisnis Polymerase Chain Reaction (PCR) yang mengakibatkan kerugian Negara puluhan triliun rupiah di mana skandal PCR ini mengaitkan pada 2 (dua) pejabat menteri kabinet Jokowi yaitu Luhut Binsar Panjaitan (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi) dan Erick Thohir (Menteri Badan Usaha Milik Negera), juga soal ramainya penolakan publik terhadap Permendikbudristek RI no. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang dibuat oleh Nadiem Makarim ditengarai ada kepentingan upaya sekularisasi dan liberalisasi dunia pendidikan yang secara implisit pada peraturan menteri (permen) tersebut akan menjadi ruang bagi berkembangnya seks bebas di kalangan pelajar dan generasi muda, kemudian pada 9 Desember ini juga akan diperingati hari Anti Korupsi Sedunia dan pada 10 Desembernya akan diperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia, lalu publik kembali dikagetkan dengan munculnya persoalan terorisme ini. Jangan-jangan ini adalah bahagian dari agenda atau cara pengalihan issue dan upaya untuk melemahkan gerakan yang selalu hadir sebagai kontrol atas kinerja pemerintah Jokowi. 

Sekali lagi boleh jadi issue terorisme melalui penangkapan Dr. Ahmad Zain an-Najah ini hanyalah bagian dari strategi atau cara pengalihan issue semata. Olehnya itu PB HMI mengecam dan mengutuk keras bila ada pihak yang mencoba untuk mempolitisasi dan mengkapitalisasi issue terorisme ini. 

Pengurus Besar HMI kembali menegaskan bahwa teroris dan terorisme adalah musuh Islam dan musuh bersama seluruh rakyat Indonesia. Dikarenakan Islam adalah agama yang Rahmatan lil 'Alamin maka terorisme itu bukanlah ajaran Islam, sehingga tidak ada kaitan sedikitpun Islam dengan terorisme. Jadi apabila ada pihak yang mencoba mengaitkan terorisme dengan Islam termasuk MUI maka jelas sekali lagi ini adalah upaya makar yang nyata untuk terus melemahkan dan menciptakan polarisasi di kalangan ummat Islam memulai pemberian label yang negatif terhadap MUI, juga untuk kepentingan memojokkan Islam di mata dunia internasional yang tentunya akan sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan dan kemajuan Ummat Islam. 

Padahal eksistensi ummat Islam dalam perjalanan sejarah bangsa ini tercatat telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi kemerdekaan bangsa Indonesia termasuk dalam merumuskan Dasar Negara yaitu *Pancasila*. 

Sehingga dalam situasi yang seperti ini ketika semakin menguatnya upaya jahat untuk menyudutkan ummat Islam maka sebuah keniscayaan akan semakin terjadi simpati dan konsolidasi penguatan di tubuh ummat Islam (ukhuwah Islamiyah) untuk tujuan kehormatan dan kemuliaan Islam sebagai bentuk kecintaan terhadap agama Islam dan NKRI. Semangat kesadaran keberagamaan yang demikian inilah yang perlu dibangun dan dijaga terus menerus oleh ummat Islam saat ini. 

Penangkapan terhadap aktivis dan 'Ulama dengan tuduhan teroris mestinya harus menjadi momentum penyatuan gerakan Rakyat Indonesia khususnya ummat Islam untuk bersatupadu berkolaborasi menyelamatkan bangsa ini dari ancaman baik yang datang dari dalam (internal) maupun dari luar (eksternal) sebagaimana yang dimaksudkan oleh TAP MPR No. VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa yang menegaskan bahwa tantangan kebangsaan Indonesia saat ini meliputi tantangan internal dan eksternal di tengah derasnya arus Globalisasi. 

HMI dan MUI memang dua organisasi yang berbeda dan HMI bukanlah underbow dari MUI. Namun, atas dasar semangat menegakkan kebenaran dan keadilan, maka HMI merasa terpanggil untuk membela MUI yang saat ini tengah diissukan sebagai sarang teroris dan ada pihak yang meminta pembubaran MUI hanya karena ada satu anggota MUI yang terduga terlibat aksi terorisme. 

Sekalipun pada akhirnya terbukti di meja hijau, maka tindakan oknum tersebut sama sekali tidak bisa mewakili totalitas MUI. Sehingga dapat dijustifikasi bahwa pihak yang mengaitkan MUI dengan terorisme tengah mengalami cacat berpikir (logika) yang berbahaya. Olehnya itu, sekali lagi PB HMI merasa terpanggil untuk membela MUI. Solidaritas ini bukan hanya semata-mata atas nama keadilan dan kebenaran, namun sebagai usaha untuk membendung prasangka negatif atas Islam. Bayangkan saja jika MUI diissukan terlibat terorisme, maka akan memunculkan tafsir liar yang lagi-lagi akan dialamatkan kepada Islam sebagai agama teroris padahal sejatinya Islam adalah agama Rahmatan lil 'Alamin. 

HMI bersama MUI, HMI bersama para Ustadz, 'Alim 'Ulama, Ummat Islam dan Seluruh Rakyat Indonesia. Billahi Taufiq wal Hidayah. Yakin Usaha Sampai.