Masalah PCR dan Korupsi Dana Covid? Ah Sudahlah, Pesta Rampok Anggaran Sudah Berakhir

 

Senin, 1 November 2021

Faktakini.info

*MASALAH PCR DAN KORUPSI DANA COVID? AH SUDAHLAH, PESTA RAMPOK ANGGARAN SUDAH BERAKHIR !*

Oleh : *Ahmad Khozinudin*

Sastrawan Politik

Presiden Joko Widodo mendadak menjadi pahlawan, setelah meminta agar harga tes swab PCR (polymerase chain reaction) diturunkan menjadi Rp 300.000. Sebelumnya, harga PCR bisa mencapai Rp. 900.000,-, itu artinya 300 % lebih mahal.

Pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan Covid-19 sudah berlangsung setahun lebih sejak status pandemi ditetapkan sebagai bencana nasional pada Maret 2020 yang lalu. Itu artinya, sudah berapa juta kali Tes PCR dengan harga yang lebih mahal, dan baru dikoreksi saat ini setelah badai Covid-19 mereda.

*Dalam kacamata tindak pidana korupsi, membayar harga lebih mahal dari harga wajar itu korupsi.* Alokasi anggaran yang digunakan jika berasal dari APBN termasuk terkategori merugikan keuangan negara.

Program penanggulangan dan pencegahan Covid-19 termasuk didalamnya tes PCR telah diback up APBN melalui Kementerian Kesehatan. Pasien positif Covid-19 diberbagai rumah sakit (pemerintah maupun swasta), mengajukan klaim tagihan pasien Covid-19 ke Kementerian Kesehatan.

Dasarnya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 59 Tahun 2016 tentang Pembebasan Biaya Pasien Infeksi Emerging Tertentu, Jo Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/238/2020 dan beberapa Keputusan Menkes lainnya. Semua biaya perawatan pasien Covid-19 dibebankan kepada APBN melalui Kemenkes.

Itu artinya, ada anggaran negara yang digunakan untuk membayar tes PCR pasien yang dirawat di rumah sakit, dan harga yang ditetapkan lebih mahal (300 %) jelas merugikan keuangan negara sehingga terkategori korupsi.

Hingga 30 Oktober 2021, total data positif Covid 19 sebesar 4.240.000 kasus, dengan total kematian 143.000 orang. Belum ada data rincian, mengenali metode untuk mengecek pasien.

Andai saja, 50 % positif Covid-19 menggunakan metode PCR (sebenarnya ini rangkaian tes wajib di RS), paling tidak ditemukan data 212 juta kasus yang menggunakan PCR dengan harga lebih mahal. Jika tes PCR hanya Rp. 300.000,- sementara harga patokan sebelumnya mencapai Rp. 900.000'- sehingga ada lebih bayar (karena kemahalan) sebesar Rp. 600.000,- 

APBN yang dirugikan karena harus membayar lebih mahal, dimana nilai yang lebih mahal itu sebesar Rp. 600.000,- dikalikan 212 juta kasus (asumsi yang mengunakan PCR, diluar antigen dan metode lainnya). Itu artinya, *ada kerugian negara lebih dari 100 Triliun rupiah hanya untuk urusan PCR !*

Belum lagi urusan obat, vitamin, perawatan, layanan rumah sakit, rujukan, urusan tracking, urusan isoman, Bansos, Pemulihan Ekonomi, dll. Jadi, kalau mau buat angka kasar bisa jadi diatas 500 Triliun anggaran Covid-19 dikorupsi. Korupsi ini, tidak bisa diproses hukum karena dalam ketentuan pasal 27 UU No 2/2020 (sebelumnya Perppu No 1/2020) telah dipagari dengan redaksi *'Bukan Merupakan Kerugian Negara'.* Jadi, korupsi Anggaran Covid-19 benar-benar pesta besar garong anggaran negara  ditengah pendemi.

Siapa yang diuntungkan ? ya jelas industri farmasi, layanan kesehatan, termasuk perusahaan tes PCR ini. Dan menurut Agustinus Edi Kristianto, Nama Luhut Panjaitan, Erick Thohir dan Airlangga ada dalam baris tokoh yang terkait dengan PCR.

Kemudian, datanglah Mahkamah Konstitusi (MK) membawa sihir hukum dengan redaksi putusan *sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan"* telah menyulap pasal 27 UU Covid menjadi kembali pada domain kerugian negara. Sehingga, redaksi lengkapnya menjadi :

_"Biaya yang telah dikeluarkan Pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan *bukan merupakan kerugian negara sepanjang dilakukan dengan iktikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan*"._

Segenap rakyat gegap gempita menyambut putusan MK. Seolah, MK telah mengembalikan negara dari Negara Rampok menjadi Negara Hukum.

Padahal ?

Putusan MK ini hanya berlaku sejak diucapkan, yakni sejak tanggal 28 Oktober 2021. Itu artinya, alokasi anggaran Covid-19 yang bisa dijerat dengan pasal korupsi (khususnya pasal 2 dan 3 UU Tipikor) hanyalah peristiwa yang terjadi sejak tanggal 28 Oktober 2021. *Putusan MK tidak dapat menjerat kerugian negara pada alokasi dana covid-19 sebelum tanggal 28 Oktober 2021. Dasarnya ? Asas Hukum Non Retroaktif (Hukum tidak berlaku surut).*

Lalu apa gunanya putusan MK ? Pesta Rampok Anggaran dengan modus Covid-19 telah usai. *Badai Korupsi telah berlalu, jadi tidak berguna jaring hukum yang dijahit oleh MK melalui putusannya. [].*