3 Kritik Waketum MUI Anwar Abbas yang Bikin Jokowi Batal Baca Teks Pidato

 



Sabtu, 11 Desember 2021

Faktakini.info, Jakarta- Wakil Ketua Umum Majelis Indonesia (MUI) Anwar Abbas melontarkan kritik terhadap pemerintah. Intinya, Anwar Abbas menyatakan kesenjangan ekonomi semakin terjal dan banyak warga belum sejahtera.

Kritik tersebut disampaikan Anwar Abbas di hadapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Pembukaan Kongres Ekonomi Umat ke-2 MUI Tahun 2021. Lantaran kritik tersebut, Presiden Jokowi pun tidak jadi membaca teks pidato yang sudah disiapkan, namun langsung menanggapi Anwar Abbas.

"Tadi saya disiapkan bahan sambutan seperti ini banyaknya. Tapi setelah saya mendengar tadi Dr Buya Anwar Abbas menyampaikan, saya nggak jadi juga pegang ini. Saya akan jawab apa yang sudah disampaikan oleh Dr Buya Anwar Abbas. Akan lebih baik menurut saya di dalam forum yang sangat baik ini," ujar Jokowi dalam acara pembukaan kongres tersebut, disiarkan via YouTube Official TVMUI, Jumat (10/12/2021).

Berikut 3 kritik Anwar Abbas yang bikin Jokowi ogah baca teks pidato:

(1) Kesejahteraan belum merata

"Saya rasa pemerintah kita sudah berhasil mensejahterakan rakyatnya, tapi rakyat yang sudah bisa tersejahterakan dan disejahterakan oleh pemerintah tersebut kebanyakan mereka-mereka yang kalau kita kaitkan dengan dunia usaha, itu mereka-mereka yang ada di kelompok usaha besar, dan menengah serta usaha kecil," kata Anwar Abbas

"Sementara mereka-mereka yang berada di level usaha mikro dan ultra mikro, itu tampak oleh kita belum begitu terjamah, terutama oleh dunia perbankan. Sehingga akibatnya kesenjangan sosial dan ekonomi di tengah-tengah masyarakat kita tampak semakin terjal," sambung Anwar.

(2) Ketimpangan bidang pertanahan

Anwar Abbas juga menyinggung soal ketimpangan di bidang pertahanan. Dia menyebut hal ini sebagai sesuatu yang memprihatinkan.

"Cuma dalam bidang pertanahan, indeks gini kita sangat memprihatinkan itu 0,59, artinya 1 persen penduduk menguasai 59 persen lahan yang ada di negeri ini. Sementara yang jumlahnya sekitar 99 persen itu hanya menguasai 41 persen lahan yang ada di negeri ini," ujar Anwar.

(3) Banyak pelaku usaha belum diperhatikan

Anwar Abbas memaparkan mengenai data kelompok usaha di Indonesia. Menurut dia masih banyak pelaku usaha yang belum diperhatikan.

"Padahal seperti kita ketahui bersama, jumlah usaha besar cuma besarnya hanya 0,01 persen dengan jumlah pelaku usaha 5.550 dengan total aset di atas 10 miliar. Usaha menengah besarnya adalah 0,09 persen, dengan jumlah pelaku usaha 60.702. Dengan total aset lebih dari 50 juta rupiah dan usaha kecil besarnya 1,22 persen dengan jumlah pelaku 783.132 dan total aset di atas Rp 50 juta. Jadi, dari data ini kita ketahui total mereka-mereka yang sudah terperhatikan oleh pemerintah dan dunia perbankan itu ada di sekitar angka 1,32 persen atau lebih kurang kalau dari jumlah pelaku yaitu 849.334 pelaku usaha," ujar Anwar.

"Sementara jumlah usaha mikro dan ultra mikro besarnya adalah 98,68 persen dengan jumlah pelaku usaha, yaitu sekitar 63,3 juta pelaku. Di mana total asetnya sama dan atau di bawah 50 juta rupiah, dan itu boleh dikatakan tidak dan atau belum terurus oleh kita secara bersama-sama dengan baik, tidak hanya oleh pemerintah tapi juga oleh kita," sambungnya.

Anwar Abbas menggambarkan struktur dunia usaha yang menurutnya bukan seperti piramida, namun seperti kubah Masjid Istiqlal. Apa maksudnya?

"Kalau kita coba membuat gambar dari struktur dunia usaha yang ada saat ini di negeri kita, maka dia akan terlihat seperti piramid, tapi malah saya coba-coba gitu seperti kubah Masjid Istiqlal. Jadi kubahnya besar lalu ada di tengah-tengah tiang, ya itulah dia usaha besar di situ, usaha menengah di situ, usaha kecil di situ. Sementara yang kubah yang besar itu usaha mikro dan usaha ultra mikro," imbuh Anwar.

Terakhir, Anwar Abbas mengingatkan pemerintah jangan membiarkan kesenjangan ekonomi itu tersebut terus berlangsung karena akan menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian.

"Bila hal ini terus berlangsung, maka tentu dia akan menciptakan sesuatu yang tidak baik. Karena dia akan menimbulkan kesenjangan sosial yang dari tahun ke tahun akan semakin tajam dan tajam. Dan hal itu tentu jelas tidak baik dan akan sangat berbahaya karena dia sangat potensial akan mengganggu stabilitas dan rasa persatuan dan kesatuan di antara kita sebagai warga bangsa. Di samping itu, dari perspektif ekonomi tentu saja daya beli masyarakat kita secara agregat tidak akan bisa naik secara signifikan," tuturnya.

Sumber: detik.com