Eksepsi TA Munarman Atas Surat Dakwaan JPU No. Reg. Perkara PDM-228/JKT.TIM/Etl/11/2021

 


Rabu, 15 Desember 2021

Faktakini.info

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang”

NOTA KEBERATAN

(EKSEPSI)

ATAS

SURAT DAKWAAN JAKSA PENUNTUT UMUM

NO. REG. PERKARA: PDM-228/JKT.TIM/Etl/11/2021

OLEH:

TIM ADVOKASI MUNARMAN

No. Reg. Perkara 925/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Tim

Pada Pengadilan Negeri Jakarta Timur

Jakarta, 15 Desember 2021


BAB I

PENDAHULUAN

Majelis Hakim yang Kami Muliakan,

Penuntut Umum yang Kami Hormati, dan

Segenap Pecinta Keadilan yang Kami Cintai,

Pertama-tama, Kami selaku hamba Allah SWT untuk mengucap puji dan syukur kepada Allah SWT, sehingga dan oleh karenanya baik klien kami maupun kami selaku penasihat hukumnya masih mendapatkan kesehatan dan kekuatan serta kemampuan untuk hadir di tempat ini. Tidak lupa shalawat serta salam kami haturkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, mudah-mudahan dengan syafa’atnya kami diselamatkan dari siksa api neraka, Aamiin Ya Robbal Aalamiin.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada majelis hakim yang mulia, atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk mengajukan sekaligus membacakan EKSEPSI atau NOTA KEBERATAN ini, sebagai tanggapan atas surat dakwaan dari Penuntut Umum yang telah dibacakan sebelumnya.

Ketahuilah bahwasannya salah satu nama agung Allah SWT adalah Al ‘Adl, yang artinya Yang Maha Adil. Allah SWT dengan ke-Maha Adilannya memberikan perintah kepada kita hamba-hambanya untuk berbuat adil dan selalu berupaya untuk menegakkan keadilan. Hal ini secara indah berulang kali termaktub dalam kitab suci Al Qur’an yang berbunyi:

 اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُكُمْ اَنْ تُؤَدُّوا الْاَمٰنٰتِ اِلٰٓى اَهْلِهَاۙ وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهٖ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ سَمِيْعًاۢ بَصِيْرًا

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS: Annisa, ayat 58)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS: Al Maaidah, ayat 8)

اِنَّ اللّٰهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاۤئِ ذِى الْقُرْبٰى وَيَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS: An Nahl, ayat 90)

Allah SWT menurunkan Al Qur’an kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk kebenaran bagi umat manusia. Mereka yang sungguh-sungguh menggunakan akalnya akan semakin kuatlah imannya dan juga semakin yakin untuk mengerjakan sesuai apa yang Allah SWT perintahkan kepadanya. 

Akan tetapi mereka yang mencampakkan akal sehatnya, dengan berbagai alasan, menutup diri dari kebenaran wahyu Allah SWT, sungguh mereka adalah golongan yang tidak bersyukur, kami berlepas diri dari mereka itu dan menyerahkan kepada Allah SWT pembalasan setimpal atas pengingkaran mereka terhadap ayat-ayat Allah SWT.

Ayat-ayat diatas setidaknya memperlihatkan bagaimana keadilan begitu dijunjung tinggi dan juga diperintahkan kepada kita untuk menegakkan keadilan. Dari ayat diatas juga mengajarkan kepada kita dalam rangka mengupayakan tegaknya keadilan, maka sangat penting diingat bagi 

Penuntut Umum, Yang Mulia Majelis Hakim, termasuk kepada kami sendiri Penasihat Hukum, bahwa dalam upaya menemukan kebenaran materiil demi tegaknya keadilan secara terang benderang, maka segala unsur prasangka, sentimen, stigma, kepentingan politik dan sejenisnya tidak boleh kemudian 

menjadi dasar bagi memutus suatu perkara.

Keadilan tidak mungkin akan tegak ketika hukum dirusak sedemikian rupa. 

bahwa kerusakan hukum adalah ketika hukum dikooptasi oleh kepentingan 

selain kepentingan penegakkan hukum, apalagi itu terkait kepentingan politik 

belaka. Bukan barang baru jika kemudian hukum digunakan sebagai alat bagi 

penguasa untuk membungkam suara kritis mereka yang melakukan kritik 

terhadap kekuasaan. Disini kami berharap sekali kepada yang mulia Majelis 

Hakim agar betul-betul menjadi benteng bagi para pencari keadilan dengan menjalankan secara konsekuen kekuasaan kehakiman yang merdeka dari 

segala bentuk kooptasi dan tekanan dari cabang kekuasaan lainnya.

Sering kali dalam penanganan kasus terorisme, tidak sedikit pihak-pihak 

terjebak dalam stigma, labelisasi, sentimen serta prasangka, sehingga tidak 

jarang Komnas HAM RI menerima aduan atas pelanggaran demi pelanggaran 

dalam proses penegakkan hukum dalam perkara terorisme. Sehingga jangan 

kaget ketika banyak pihak kemudian menduga bila ada kesan Islamophobia

dalam wacana “Pemberantasan Terorisme” yang ironisnya terjadi di negara 

yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Tentunya kita semua sepakat 

bahwa terorisme adalah kejahatan yang wajib ditegakkan hukum kepadanya, 

akan tetapi jangan sampai kemudian penegakkan hukum atas tindakan 

terorisme menjadi sarana bagi tujuan selain dari penegakkan hukum belaka.

Kasus yang mendera klien kami, yakni H. Munarman S.H., seseorang yang 

sudah lama malang melintang di dunia Advokasi hukum dan Hak Asasi 

Manusia, dengan tuduhan melakukan tindak pidana Terorisme, menurut 

hemat kami adalah mengada-ada dan sangat dipaksakan. Sifat mengada-ada 

dan dipaksakannya kasus yang dialami klien kami dapat terlihat dari awal 

mula proses ini bergulir semenjak proses penyidikan sampai kepada 

penuntutan dan itu semua tercermin dari surat dakwaan JPU yang terlihat 

sangat tidak cermat, tidak lengkap dan tidak jelas. 

Karena itu dengan segala hormat dalam EKSEPSI atau NOTA KEBERATAN 

akan kami paparkan secara hukum kelemahan surat dakwaan tersebut.


BAB II

EKSEPSI KEWENANGAN MENGADILI

Majelis Hakim yang Kami Muliakan,

Penuntut Umum yang Kami Hormati, dan

Segenap Pecinta Keadilan yang Kami Cintai,

A. EKSEPSI PENGADILAN NEGERI JAKARTA TIMUR TIDAK 

BERWENANG MENGADILI PERKARA NOMOR: 925/PID.SUS/2021/ 

PN.JKT.TIM

1. Bahwa Eksepsi Penasihat Hukum Terdakwa in litis tentang Pengadilan 

Negeri Jakarta Timur Tidak Berwenang Mengadili Perkara Nomor: 

925/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Tim, didasarkan pada ketentuan Pasal 156 

ayat (1) KUHAP yang selengkapnya berbunyi: 

“Dalam hal terdakwa atau penasihat hukum mengajukan 

keberatan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili 

perkaranya atau dakwaan tidak dapat diterima atau surat 

dakwaan harus dibatalkan, maka setelah diberi kesempatan 

kepada penuntut umum untuk menyatakan pendapatnya, hakim 

mempertimbangkan keberatan tersebut untuk selanjutnya 

mengambil keputusan”.

2. Bahwa eksepsi kewenangan mengadili atau eksepsi tak berwenang 

mengadili menurut M. Yahya Harahap, S.H. dalam bukunya 

Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang 

Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedua 

halaman 124-125, diklasifikasikan dalam 2 (dua) bentuk yaitu eksepsi 

kewenangan mengadili secara absolut atau kompetensi absolut dan 

eksepsi kewenangan mengadili secara relatif atau kompetensi relatif;

3. Bahwa eksepsi yang diajukan oleh Penasihat Hukum Terdakwa in litis 

adalah tentang kompetensi relatif, dimana Pengadilan Negeri Jakarta 

Timur yang dilimpahi perkara oleh Penuntut Umum atas nama Terdakwa 

tidak berwenang mengadili, yang mana seharusnya yang berwenang 

mengadili adalah pengadilan negeri lain;

4. Bahwa landasan hukum kewenangan relatif Pengadilan Negeri untuk 

menentukan kewenangan relatif Pengadilan Negeri dalam mengadili 

suatu perkara pidana adalah ketentuan Pasal 84-86 Kitab Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yang secara lengkap 

menyebutkan:


Pasal 84 KUHAP:

(1) Pengadilan negeri berwenang mengadili segala perkara 

mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah 

hukumnya. 

(2) Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa 

bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia 

diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili 

perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman 

sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat 

pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan 

negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. 

(3) Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana 

dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap 

pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili 

perkara pidana itu. 

(4) Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada 

sangkut pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah 

hukum pelbagai pengadilan negeri, diadili oleh masing-

masing pengadilan negeri dengan ketentuan dibuka 

kemungkinan penggabungan perkara tersebut. 

Pasal 85 KUHAP:

Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan 

negeri untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua 

pengadilan negeri atau kepala kejaksaan negeri yang 

bersangkutan, Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri 

Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk pengadilan negeri 

lain dari pada yang tersebut pada Pasal 84 untuk mengadili 

perkara yang dimaksud. 

Pasal 86 KUHAP:

Apabila seorang melakukan tindak pidana di luar negeri yang 

dapat diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.

5. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 84-86 KUHAP tersebut di atas, 

maka untuk menentukan kewenangan relatif pengadilan negeri dalam 

mengadili suatu perkara pidana didasarkan pada:


5.1. Locus Delicti atau tempat tindak pidana dilakukan, 

sebagaimana ketentuan Pasal 84 ayat (1) KUHAP yang secara 

tegas menyebutkan “Pengadilan negeri berwenang mengadili 

segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam 

daerah hukumnya”;

5.2. Tempat tinggal terdakwa, berdiam terakhir, atau di tempat 

ia diketemukan atau ditahan hanya apabila tempat kediaman 

sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat dengan 

pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan 

negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan (Pasal 

84 ayat 2);

5.3. Apabila seorang terdakwa melakukan beberapa tindak pidana 

dalam daerah hukum pelbagai pengadilan negeri, maka tiap 

pengadilan negeri itu masing-masing berwenang mengadili 

perkara pidana itu (Pasal 84 ayat 3);

5.4. Dimungkinkan untuk penggabungan perkara terhadap beberapa 

perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut pautnya dan 

dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum pelbagai pengadilan 

negeri (Pasal 84 ayat 4);

5.5. Dengan syarat adanya keadaan daerah tidak mengizinkan

suatu pengadilan negeri untuk mengadili suatu perkara, maka 

Mahkamah Agung mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk 

menunjuk pengadilan negeri lain (Pasal 85);

5.6. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengadili tindak pidana yang 

dilakukan oleh seorang di luar negeri yang dapat diadili menurut 

hukum Republik Indonesia (Pasal 86).

6. Bahwa di dalam Surat Penuntut Umum No. Reg. Perkara: PDM-

228/JKT.TIM/Etl/11/2021 dibacakan dalam persidangan hari Rabu 

tanggal 8 Desember 2021 Terdakwa didakwa telah melakukan tindak 

pidana dengan surat dakwaan alternatif yaitu:

6.1. Dakwaan Pertama Pasal 14 Jo. Pasal 7 Peraturan Pengganti 

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan 

Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi Undang-

undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan 

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi 

Undang-undang Jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang 

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 

Terorisme;

6.2. Dakwaan Pertama Pasal 15 Jo. Pasal 7 Peraturan Pengganti 

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan 

Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi Undang-

undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan 

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi 

Undang-undang Jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang

Perubahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang 

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 

Terorisme;

6.3. Dakwaan Pertama Pasal 13 huruf c Jo. Pasal 7 Peraturan 

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang 

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan 

menjadi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang 

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 

Terorisme Menjadi Undang-undang Jo. Undang-undang Nomor 5 

Tahun 2018 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 15 Tahun 

2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti 

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan 

Tindak Pidana Terorisme.

7. Bahwa di dalam surat dakwaan a quo Penuntut Umum telah 

menguraikan locus delicti atau tempat dugaan tindak pidana dilakukan 

yaitu:

7.1. Pada Dakwaan Pertama: 

1) Sekretariat FPI (Front Pembela Islam) Kota Makassar – Markas 

Daerah LPI (Laskar Pembela Islam), Jalan Sungai Limboto 

No.15 RT.02 RW.03 Kel. Lajangiru, Kec. Ujung Pandang, Kota 

Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan;

2) Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Sudiang Makassar, Provinsi 

Sulawesi Selatan;

3) Aula PUSBINSA Kampus Universitas Islam Negeri Sumatera 

Utara Jl. William Iskandar Ps. V, Medan Estate, Kec. Purcut Sei 

Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara;

4) Aula Syahid Inn Kampus Universitas Islam Negeri Syarif 

Hidayatullah Ciputat, Tangerang Selatan, Provinsi Banten;

7.2. Pada Dakwaan Kedua: 

1) Sekretariat FPI (Front Pembela Islam) Kota Makassar – Markas 

Daerah LPI (Laskar Pembela Islam), Jalan Sungai Limboto 

No.15 RT.02 RW.03 Kel. Lajangiru, Kec. Ujung Pandang, Kota 

Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan;

2) Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Sudiang Makassar, Provinsi 

Sulawesi Selatan;

3) Aula PUSBINSA Kampus Universitas Islam Negeri Sumatera 

Utara Jl. William Iskandar Ps. V, Medan Estate, Kec. Purcut Sei 

Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara;

4) Aula Syahid Inn Kampus Universitas Islam Negeri Syarif 

Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Provinsi Banten.

7.3. Pada Dakwaan Ketiga: 

1) Sekretariat FPI (Front Pembela Islam) Kota Makassar – Markas 

Daerah LPI (Laskar Pembela Islam), Jalan Sungai Limboto 

No.15 RT.02 RW.03 Kel. Lajangiru, Kec. Ujung Pandang, Kota 

Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan;

2) Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Sudiang Makassar, Provinsi 

Sulawesi Selatan;

3) Aula PUSBINSA Kampus Universitas Islam Negeri Sumatera 

Utara Jl. William Iskandar Ps. V, Medan Estate, Kec. Purcut Sei 

Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara;

4) Aula Syahid Inn Kampus Universitas Islam Negeri Syarif 

Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Provinsi Banten.

8. Bahwa berdasarkan uraian 4 (tiga) locus delicti di atas yaitu di 

Sekretariat FPI – Markas Daerah LPI Kota Makassar, di Pondok 

Pesantren Tahfizhul Qur’an Sudiang Kota Makassar, dan Aula PUSBINSA 

Kampus Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Kabupaten Deli 

Serdang, Aula Syahid Inn Kampus Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Provinsi Banten dan dengan 

merujuk pada landasan hukum Pasal 84-86 KUHAP seharusnya 

Pengadilan Negeri Jakarta Timur berdasarkan asas kompentensi relatif 

menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara Nomor: 

925/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Tim atas nama Terdakwa H. Munarman, S.H;

9. Bahwa Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia 

Nomor 134/KMA/SK/VI/2021 tanggal 29 Juni 2021 tentang 

Penunjukkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk memeriksa dan 

memutus Perkara Pidana atas nama Terdakwa H. Munarman, S.H. 

menurut Penasihat Hukum Terdakwa tidak tepat, karena penunjukkan 

pengadilan negeri lain di luar dari pengadilan negeri tempat tindak

pidana dilakukan adalah dalam hal ada alasan adanya keadaan 

daerah tidak mengizinkan suatu pengadilan negeri untuk mengadili 

suatu perkara sebagaimana ketentuan Pasal 85 KUHAP. Faktanya, 

alasan tersebut tidak terbukti atau setidak-tidaknya tidak dapat 

dibuktikan;

10.Bahwa menurut Penasihat Hukum Terdakwa penunjukkan suatu 

pengadilan negeri oleh Mahkamah Agung untuk mengadili perkara 

pidana seharusnya dalam keadaan apabila ada sengketa kewenangan 

mengadili antar pengadilan negeri. Dengan demikian, surat 

penunjukkan Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk mengadili perkara 

Terdakwa tanpa adanya alasan keadaan daerah tidak mengizinkan atau 

alasan adanya sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan negeri 

adalah tidak tepat dan karenanya patut dan beralasan hukum eksepsi 

Penasihat Hukum Terdakwa tentang Pengadilan Negeri Jakarta Timur 

Tidak Berwenang Mengadili Perkara Nomor: 

925/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Tim atas nama Terdakwa H. Munarman, S.H. 

untuk dikabulkan;

11.Bahwa dengan demikian, Penasihat Hukum terdakwa mohon kepada 

Majelis Hakim yang Mulia memberikan putusan sela dan selanjutnya 

menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Tidak Berwenang 

Mengadili Perkara Nomor: 925/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Tim atas nama 

Terdakwa H. Munarman, S.H.


BAB III

SURAT DAKWAAN TIDAK CERMAT, TIDAK JELAS DAN TIDAK 

LENGKAP SEHINGGA TIDAK MEMENUHI SYARAT MATERIIL 

SEBAGAIMANA DIMAKSUD DALAM PASAL 143 AYAT (2) HURUF B 

KUHAP

Majelis Hakim yang Kami Muliakan,

Penuntut Umum yang Kami Hormati, dan

Segenap Pecinta Keadilan yang Kami Cintai,

Surat dakwaan sebagaimana diprasyaratkan Pasal 143 ayat (2) 

huruf b Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) haruslah dibuat dengan

“uraian cermat, jelas, dan lengkap” mengenai tindak pidana yang 

dilakukan, sebagai berikut:

“Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan 

ditandatangani serta berisi:

b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak 

pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan 

tempat tindak pidana itu dilakukan.”

Konsekuensi Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut BATAL DEMI 

HUKUM. Maka pada kesempatan ini, kami Penasihat Hukum 

Terdakwa akan menyampaikan EKSEPSI/KEBERATAN-KEBERATAN

terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum tersebut sebagaimana yang 

diatur dalam ketentuan Pasal 156 ayat (1) junto Pasal 143 ayat (2) 

huruf (b) KUHAP. Sebagaimana diketahui dalam perkara ini, Terdakwa 

telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan Dakwaan yakni:

DAKWAAN PERTAMA: 

“Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam 

pidana menurut Pasal 14 jo Pasal 7 Peraturan Pemerintah 

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang 

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan 

Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan 

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 

2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi 

Undang-Undang jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang 

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang 

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 

Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 

Terorisme”;

ATAU 

DAKWAAN KEDUA: 

Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam 

pidana menurut Pasal 15 jo Pasal 7 Peraturan Pemerintah 

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang 

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan 

Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan 

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 

2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi 

Undang-Undang jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang 

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang 

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 

Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 

Terorisme”;

ATAU

DAKWAAN KETIGA: 

“Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam 

pidana menurut Pasal 13 huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti 

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan 

Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan Menjadi Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan 

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-

Undang jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang 

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang 

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 

Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 

Terorisme”.

Majelis Hakim yang Kami Muliakan,

Penuntut Umum yang Kami Hormati, dan

Segenap Pecinta Keadilan yang Kami Cintai,

Surat dakwaan merupakan landasan pemeriksaan perkara dalam sebuah 

pengadilan yang mensyaratkan surat dakwaan harus cermat, jelas, dan 

lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. Surat dakwaan yang tidak 

memuat secara jelas dan lengkap unsur-unsur tindak pidana yang 

didakwakan, dengan sendirinya mengakibatkan tindak pidana yang didakwakan kepada Terdawa bukan tindak pidana (M Yahya Harahap S.H., 

2018. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan 

Penuntutan, hlm 392). Dalam Perkara a quo Penuntut Umum dalam surat 

dakwaannya tidak menjelaskan dan mengkonstruksikan secara cermat, jelas, 

dan lengkap kesalahan perbuatan Terdakwa, hal tersebut mengakibatkan 

surat dakwaan Penuntut Umum menjadi tidak terang.

Surat dakwaan dalam perkara a quo yang tidak menguraikan kesalahan serta 

mengkonstruksikan kesalahan Terdakwa berimplikasi pada surat dakwaan 

tidak terang sehingga batal demi hukum. Padahal, kesalahan dalam sebuah 

surat dakwaan haruslah diuraikan secara cermat, jelas, dan lengkap oleh 

karena unsur kesalahan merupakan asas fundamental dalam hukum pidana 

yang harus ada “Geen straf zonder schuld” yang berarti tiada pidana tanpa 

kesalahan dan “actus non facit reum nisi mens sit rea” yang berarti suatu 

perbuatan tak dapat menjadikan seseorang bersalah bilamana maksudnya tak 

bersalah. Kesalahan sebagai syarat dasar untuk mempidanakan seseorang 

haruslah diuraikan secara jelas dalam surat dakwaan sebagai syarat yang 

diatur dalam Undang-undang. Dengan surat dakwaan yang disusun oleh 

Penuntut Umum yang tidak menguraikan secara jelas kesalahan Terdakwa 

sehingga jelas dan teranglah bahwa Penuntut Umum hanya memaksakan 

pengadilan ini untuk menzalimi Terdakwa dan secara nyata tidak memahami 

konsepsi surat dakwaan sebagaimana diprasyaratkan dalam Pasal 143 ayat 

(2) huruf b KUHAP. 

Maka patutlah kiranya majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara 

ini menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum batal demi hukum.

Dengan ini Tim Penasihat Hukum menyampaikan keberatan-keberatan 

terhadap surat dakwaan Penuntut Umum:

1. Dakwaan Pertama Tidak Menjelaskan Secara Cermat, Jelas, dan 

Lengkap Unsur Menggerakkan

1.1. Bahwa dakwaan pertama terhadap Terdakwa Pasal 14 jo Pasal 7 

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 

2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah 

ditetapkan Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak 

Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang jo Undang-undang 

Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-undang 

Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang 

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagai berikut:

“Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan

orang lain untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 

11, dan Pasal 12, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara 

seumur hidup”;

1.2. Bahwa penjelasan ketentuan Pasal 14 jo Pasal 7 Peraturan 

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah 

ditetapkan Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak 

Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang jo Undang-undang 

Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-undang 

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah 

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang 

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagaimana dakwaan 

pertama menyebutkan bahwa “ketentuan ditujukkan terhadap 

aktor intelektual, dan yang dimaksud dengan 

“menggerakkan” antara lain melakukan hasutan dan 

provokasi, memberikan hadiah, uang, atau janji”;

1.3. Bahwa Orang yang menggerakkan orang lain yang dimaksudkan 

disini adalah seseorang yang terkualifikasi sebagai “aktor 

intelektual” (intellectual dader). Penjelasan Pasal 14 dengan jelas 

menyebutkan: "Ketentuan ini ditujukan terhadap aktor intelektual. 

Adapun yang dimaksud dengan “menggerakkan” antara lain 

melakukan hasutan dan provokasi, memberikan hadiah, uang, atau 

janji.” Sebagai aktor intelektual yang menggerakkan orang lain, 

perbuatannya telah ditentukan secara alternatif yakni melakukan 

“hasutan” dan “provokasi”, memberikan “hadiah”, “uang”, atau 

“janji”. Dengan demikian aktor intelektual yang dimaksudkan dalam 

undang-undang mencakup dua bentuk subjek delik yakni, pertama 

“penghasut” dan “provokasi” (aanstichter/provocateur) dan kedua 

sebagai “penganjur” (uitlokker). Permasalahan dalam surat 

dakwaan Penuntut Umum tidak ada uraian secara cermat, jelas dan 

lengkap terkait dengan “penghasutan” dan “provokasi” guna “menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana 

terorisme”. Begitupun dalam tindakan “penganjuran”, tidak ada 

uraian secara cermat, jelas dan lengkap terkait dengan “pemberian 

hadiah”, “uang”, atau “janji” dalam kaitannya dengan unsur 

“menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana 

terorisme”. Begitupun menyangkut tentang “waktu” (tempus) dan 

“tempat” (locus) tindak pidana yang didakwakan;

1.4. Bahwa Perihal hasutan dan provokasi mengharuskan adanya dua 

pihak, yakni “penghasut” dan “terhasut”. Penghasutan dianggap ada 

jika ada dua pihak tersebut. Perbuatan si terhasut harus terhubung 

dengan maksud si penghasut dan harus ada akibat yang memang 

dikehendaki penghasut. Pada delik penghasutan/provokasi harus 

demikian nyata ujaran penghasutannya. Ujaran penghasutan yang 

konkrit tersebut terhubung pada kelakuan seorang terhasut untuk 

mewujudkan perbuatan. Dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum 

tidak ada uraian secara cermat, jelas dan lengkap terkait 

dengan dua pihak tersebut;

1.5. Bahwa dalam uraiannya pada surat dakwaan pertama Penuntut 

Umum tidak menjelaskan unsur “menggerakkan” yang dilakukan 

oleh Terdakwa, oleh karena Penuntut Umum hanya menguraikan 

bahwa terdapat tiga acara yang dihadiri oleh Terdakwa sebagai 

pembicara yakni Seminar di Markas FPI Jl. Sungai Limboto No.15, 

Kel. Lajangiru, Kec. Ujung Pandang, Kota Makasar tanggal 24 

Januari 2015, Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Sudiang 

Makasar tanggal 25 Januari 2015, dan Seminar Nasional di UIN 

Sumatera Utara yang kemudian secara imajinatif oleh Penuntut 

Umum dikaitkan bahwa dengan adanya Terdakwa sebagai 

pembicara dalam tiga kegiatan tersebut menjadikan orang yang 

menghadiri dan mendengarkan apa yang disampaikan Terdakwa 

menjadi melakukan tindak pidana terorisme;

1.6. Bahwa dalam surat dakwaan Penuntut Umum menjelaskan dalam 

ketiga acara yang dihadiri oleh Terdakwa sebagai pembicara 

terdapat pembicara lain. Sementara itu, materi yang disampaikan 

oleh Terdakwa dalam tiga kesempatan acara yang dihadiri oleh 

Terdakwa adalah materi umum yang terbuka yang sama sekali 

tidak memiliki materi untuk “menggerakkan orang lain untuk 

melakukan tindak pidana terorisme”. Dalam acara Seminar Markas FPI Jl. Sungai Limboto No.15, Kel. Lajangiru, Kec. Ujung 

Pandang, Kota Makasar tanggal 24 Januari 2015, sebagaimana 

diuraikan dalam transkrip dakwaan Penuntut Umum halaman 6 

s/d 10 Terdakwa sebagai pembicara menyampaikan dan 

menjelaskan sebuah dokumen dari RAND Corporation, sebuah 

lembaga think thank kebijakan global Amerika Serikat untuk 

membantu Angkatan Bersenjata Amerika Serikat di bidang 

penelitian dan analisis, dan dari NIC (National Intelligence 

Council), lembaga yang menjembatani Amerika Serikat 

Intelligence Community (IC) dengan Para Pembuat Kebijakan di 

Amerika Serikat, yang pada intinya Terdakwa memberikan 

peringatan kepada para peserta yang hadir agar untuk berhati-

hati terhadap adu domba antar sesama, selanjutnya dalam acara 

kedua di Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Sudiang Makasar 

tanggal 25 Januari 2015, Terdakwa sebagai pembicara 

menyampaikan materi tentang strategi dakwah agar ummat 

secara umum memiliki pemahaman Islam yang baik, selanjutnya 

ketiga Terdakwa menyampaikan materi sebagaimana kapasitas 

Terdakwa sebagai Sarjana Hukum atau Advokat melihat “Bahaya 

ISIS di Indonesia” sebagai tema seminar;

1.7. Bahwa uraian materi yang disampaikan oleh Terdakwa 

sebagaimana diuraikan oleh Penuntut Umum dalam 

dakwaannya sama sekali tidak menjelaskan peran 

Terdakwa sebagai Aktor intelektual, atau melakukan 

hasutan, provokasi, memberikan hadiah, uang, atau janji 

sebagai penjelasan unsur “menggerakkan orang lain untuk 

melakukan tindak pidana terorisme”, sehingga dengan 

tidak dimuatnya secara cermat, jelas, dan lengkap unsur-

unsur tindak pidana yang didakwakan maka dakwaan 

pertama haruslah dinyatakan batal demi hukum.

2. Surat Dakwaan Tindak Menjelaskan Secara Lengkap Peristiwa 

Hukum

Bahwa dalam dakwaan pertama halaman 16 s/d halaman 21 Penuntut 

Umum menguraikan terdapat sesi tanya jawab dalam acara Seminar di 

Markas FPI Jl. Sungai Limboto No.15, Kel. Lajangiru, Kec. Ujung 

Pandang, Kota Makasar tanggal 24 Januari 2015 dan sesi tanya jawab 

pada Tabligh Akbar di Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Sudiang Makassar tanggal 25 Januari 2015 yang dihadiri Terdakwa pada 

halaman 32 s/d halaman 36. Akan tetapi Penuntut Umum sama sekali 

tidak menjelaskan secara cermat, jelas, dan lengkap pertanyaan apa 

yang diajukan oleh peserta acara sehingga terdapat jawaban yang 

diungkapkan oleh Terdakwa dan pembicara lain. Hal demikian 

menjadikan uraian peristiwa dalam surat dakwaan Penuntut Umum 

menjadi tidak terang, kabur, tidak cermat, jelas, dan lengkap 

sebagaimana disyaratkan oleh Undang-undang. Dengan tidak 

terpenuhinya syarat surat dakwaan yang cermat, jelas, dan lengkap 

maka sangat beralasan bagi Majelis Hakim yang mulia menyatakan 

bahwa surat dakwaan Penuntut Umum batal demi hukum.

3. Dakwaan Kedua Tidak Menjelaskan Secara Cermat, Jelas, dan 

Lengkap Unsur Permufakatan Jahat, Percobaan, dan Pembantuan

3.1. Bahwa dalam dakwaan kedua Terdakwa didakwa dengan Pasal 15 

jo. Pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 

Terorisme yang telah ditetapkan Menjadi Undang-undang Nomor 

15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah 

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang 

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-

Undang jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang 

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang 

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang 

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 

Terorisme, sebagai berikut:

“Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, 

persiapan, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan 

tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud Pasal 6, Pasal 7, 

Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, dipidana dengan 

pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.”

3.2 Rumusan perbuatan pidana pada Pasal 15 Undang-Undang 

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bersifat alternatif. 

Keberlakuan penerapannya harus sesuai dengan peristiwa konkrit 

yang terjadi apakah dalam bentuk “permufakatan jahat”, 

“persiapan”, “percobaan”, atau “pembantuan” yang dikaitkan 

dengan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12. Penuntut Umum dalam dakwaannya tidak menentukan 

peristiwa konkrit apa yang terjadi dalam kaitannya dengan 

perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15. Apakah 

dalam bentuk “permufakatan jahat”, “persiapan”, “percobaan”, atau 

“pembantuan”. Masing-masing perbuatan tersebut memiliki kriteria 

tertentu dan tentunya berbeda antara satu dengan lainnya. Tidak 

pula ada uraian yang cermat, jelas dan lengkap dalam Surat 

Dakwaan Penuntut Umum menyangkut terjadinya “permufakatan 

jahat”, “persiapan”, “percobaan”, atau “pembantuan.”

3.3 Bahwa dalam keterkaitannya dengan Pasal 7, maka semua unsur 

yang terkandung harus pula dikaitkan dengan perbuatan pidana 

yang terjadi sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 15 yang bersifat 

alternatif. Pasal 7 menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau 

ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror 

atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan 

korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan 

atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk 

menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek 

vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau 

fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama 

seumur hidup.”

Frasa “dengan sengaja menggunakan kekerasan atau 

ancaman kekerasan” yang kemudian diikuti dengan frasa 

“bermaksud untuk menimbulkan” menunjukkan bahwa corak 

(gradasi) kesengajaan adalah dalam bentuk “dengan maksud” (als 

oogmerk). Penting untuk disampaikan, jika ketentuan delik dalam 

Pasal 7 dijuncto-kan dengan Pasal 15, maka kesemua unsur Pasal 7 

harus nyata perbuatan konkrit dan timbulnya akibat. Dalam kaitan 

ini tidak ada uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai 

tindak pidana yang didakwakan terkait adanya suatu akibat 

konkrit berupa timbulnya “suasana terror” atau “rasa takut terhadap 

orang secara meluas” atau “menimbulkan korban yang bersifat 

massal” atau ”timbulnya kerusakan” atau “kehancuran terhadap 

obyek-obyek vital yang strategis”, atau “lingkungan hidup”, atau 

“fasilitas publik”, atau “fasilitas internasional”. Tidak ada disebutkan 

kejadian kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut dalam surat dakwaan Penuntut Umum. Dakwaan tidak pula menyebutkan 

“waktu” (tempus) dan “tempat” (locus) tindak pidana yang 

didakwakan.

Dikaitkan dengan Pasal 15, maka keberlakuan Pasal 7 harus 

ditentukan apa yang terjadi apakah “permufakatan jahat”, atau

“persiapan”, atau “percobaan”, atau “pembantuan”. Disini tidak ada 

kejelasan dalam surat dakwaan Penuntut Umum menyangkut 

perbuatan apa yang didakwakan. Kondisi demikian menyebabkan 

surat dakwaan Penuntut Umum tidak cermat, tidak jelas dan 

tidak lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan.

3.3. Bahwa dalam uraian surat dakwaan Penuntut Umum, Penuntut 

Umum tidak menguraikan secara cermat, jelas, dan lengkap 

unsur “permufakatan jahat”, oleh karena Penuntut Umum 

tidak menjelaskan permufakatan apa yang dilakukan oleh 

Terdakwa, dan dengan siapa yang dilakukan oleh Terdakwa, serta 

bagaimana cara Terdakwa melakukan permufakatan jahat;

3.4. Bahwa uraian surat dakwaan, Penuntut Umum tidak menguraikan 

secara cermat, jelas, dan lengkap unsur “persiapan”.

Berdasarkan Undang-undang penjelasan unsur “persiapan” 

dalam dakwaan kedua adalah “jika pembuat berusaha untuk 

mendapatkan atau menyiapkan sarana berupa alat, 

mengumpulkan informasi, atau menyusun perencanaan tindakan, 

atau melakukan tindakan serupa yang dimaksudkan untuk 

menciptakan kondisi dilakukannya perbuatan yang secara 

langsung ditujukan bagi penyelesaian Tindak Pidana Terorisme”.

3.5. Bahwa bila dihubungkan dengan uraian peristiwa dalam 

dakwaan, Penuntut Umum sama sekali tidak menjelaskan 

tindakan Terdakwa yang dilakukan untuk mendapatkan atau 

menyiapkan sarana berupa alat, mengumpulkan informasi, atau 

menyusun perencanaan tindakan, atau melakukan tindakan 

serupa sehingga dengan demikian unsur “persiapan” dalam 

dakwaan kedua tidak diuraikan secara cermat, jelas, dan cermat 

sehingga dakwaan kedua tidak memenuhi syarat materil surat 

dakwaan, maka sangat beralasan bagi Majelis Hakim untuk 

menyatakan dakwaan kedua batal demi hukum; 

3.6. Bahwa dalam uraian surat dakwaan Penuntut Umum sama sekali 

tidak menjelaskan tindakan Terdakwa yang dikualifikasikan 

tindakan percobaan, atau pembantuan yang dilakukan oleh 

Terdakwa, oleh karena tindakan yang dilakukan oleh Terdakwa 

dalam uraian surat dakwaan Penuntut Umum hanya terbatas 

pada kehadiran Terdakwa sebagai pembicara dalam rangkaian 

acara Seminar di Markas FPI Jl. Sungai Limboto No.15, Kel. 

Lajangiru, Kec. Ujung Pandang, Kota Makasar tanggal 24 Januari 

2015, Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Sudiang Makasar 

tanggal 25 Januari 2015, dan Seminar Nasional di UIN Sumatera 

Utara, dengan demikian dakwaan kedua dalam surat dakwaan 

Penuntut Umum tidak memenuhi syarat materiil surat dakwaan 

yang mensyaratkan surat dakwaan harus cermat, jelas, dan 

lengkap, maka sangat beralasan bagi Majelis Hakim yang 

memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menyatakan surat 

dakwaan batal demi hukum.

4. Dakwaan Pertama dan Dakwaan Kedua Tidak Menjelaskan Secara 

Cermat, Jelas, dan Lengkap Keterhubungan Tindakan Terdakwa 

Dengan Tindak Pidana Utama 

4.1. Bahwa dalam Dakwaan Pertama dan Dakwaan Kedua, Terdakwa 

di dakwa dengan Pasal 14 dan Pasal 15 yang di junto-kan dengan

Pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 

1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 

yang telah ditetapkan Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 

2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti 

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan 

Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang jo Undang-

undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-

undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan 

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

4.2 Bahwa dengan dikaitkannya Dakwaan Pertama dan Dakwaan Kedua 

dengan Pasal 7 sebagai tindak pidana utama, maka semua unsur 

yang terkandung harus pula dikaitkan dengan perbuatan pidana 

yang terjadi sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 14 dan Pasal 15 

yang bersifat alternatif. Pasal 7 menyatakan bahwa:

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau 

ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror 

atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan 

korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan 

atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk 

menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek 

vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau 

fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama 

seumur hidup.”

4.3. Bahwa Frasa “dengan sengaja menggunakan kekerasan atau 

ancaman kekerasan” yang kemudian diikuti dengan frasa 

“bermaksud untuk menimbulkan” menunjukkan bahwa corak 

(gradasi) kesengajaan adalah dalam bentuk “dengan maksud” (als 

oogmerk). Penting untuk disampaikan, jika ketentuan delik dalam 

Pasal 7 dijuncto-kan dengan Pasal 14 dan Pasal 15 sebagaimana 

dakwaan pertama dan dakwaan kedua, maka kesemua unsur Pasal 

7 harus nyata perbuatan konkrit dan timbulnya akibat. Dalam kaitan 

ini tidak ada uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai 

tindak pidana yang didakwakan terkait adanya suatu akibat 

konkrit berupa timbulnya “suasana terror” atau “rasa takut terhadap 

orang secara meluas” atau “menimbulkan korban yang bersifat 

massal” atau ”timbulnya kerusakan” atau “kehancuran terhadap 

obyek-obyek vital yang strategis”, atau “lingkungan hidup”, atau 

“fasilitas publik”, atau “fasilitas internasional”. Tidak ada disebutkan 

kejadian kekerasan atau ancaman kekerasan tersebut dalam surat 

dakwaan Penuntut Umum. Dakwaan tidak pula menyebutkan 

“waktu” (tempus) dan “tempat” (locus) tindak pidana yang 

didakwakan;

4.4. Bahwa dalam uraian dakwaannya, Penuntut Umum sama sekali tidak 

menjelaskan secara cermat, jelas, dan lengkap keterhubungan 

tindakan menggerakkan sebagaimana dimaksud dalam dakwaan 

pertama, dan tindakan Permufakatan Jahat, Percobaan, dan 

Pembantuan sebagaimana dimaksud dalam dakwaan kedua dengan 

perbuatan kekerasan, atau ancaman kekerasan yang menimbulkan 

suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau 

menimbulkan korban yang bersifat masal dengan cara merampas 

kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, 

atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap 

obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional sebagaimana disebutkan 

dalam norma tindak pidana utama (in casu Pasal 7). Padahal kedua 

dakwaan tersebut mengaitkan dengan ketentuan Pasal 7, dengan 

demikian sangat beralasan bagi majelis hakim untuk menyatakan 

surat dakwaan batal demi hukum.

5. Dakwaan Ketiga Tidak Menjelaskan Secara Cermat, Jelas, dan 

Lengkap Unsur Menyembunyikan Informasi

5.1. Bahwa dalam dakwaan ketiga Penuntut Umum mendakwa Terdakwa 

dengan Pasal 13 huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak 

Pidana Terorisme yang telah ditetapkan Menjadi Undang-Undang 

Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah 

Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang 

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-

Undang jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang 

Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang 

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang 

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 

Terorisme, menjadi Undang-undang, sebagai berikut:

“Setiap orang dengan sengaja memberikan bantuan atau 

kemudahan terhadap pelaku tindak pidana dengan 

menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme 

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan 

paling lama 15 (lima belas) tahun.”

5.2. Bahwa Perihal bantuan atau kemudahan dalam surat dakwaan 

Penuntut Umum tidak pula secara cermat, jelas dan lengkap.

Perbuatan yang dimaksudkan apakah dalam “bantuan” atau 

“kemudahan”. Perihal bantuan atau kemudahan berkorespondensi 

dengan pelaku tindak pidana terorisme. Dalam kaitan ini dakwaan 

tidak menguraikan keterhubungan antara bantuan atau kemudahan 

dengan pelaku tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksudkan 

dalam Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak 

Pidana Terorisme;

5.3. Patut dicatat, Pasal 13 huruf c merupakan bentuk khusus (lex 

specialis) dari Pasal 15. Pasal 15 juga mengatur tentang perihal 

pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme dengan menyebut Pasal 13 huruf b dan huruf c. Pasal 13 huruf c 

menyebutkan terlebih dahulu adanya “pelaku tindak pidana 

terorisme” dan kemudian disebut “pihak yang memberikan bantuan” 

atau “kemudahan kepada pelaku tindak pidana terorisme” dengan 

“menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme.”. 

Terkait dengan perkara a quo, maka dipertanyakan, apa tindak 

pidana terorisme yang secara konkrit terjadi? Dengan demikian 

harus pula ada terjadinya perbuatan tindak pidana terorisme yang 

terjadi terlebih dahulu. Penuntut Umum tidak menjelaskan secara 

cermat, jelas dan lengkap bentuk tindak pidana terorisme yang 

terjadi tersebut, dan siapa yang melakukannya? Termasuk pula 

menyangkut “waktu” (tempus) dan “tempat” (locus) tindak 

pidananya;

5.4. Bahwa kemudian apa hubungannya dengan seseorang yang 

dianggap telah menyembunyikan informasi tentang tindak pidana 

terorisme. Oleh karena itu, Pasal 13 huruf c sudah demikian jelas 

menyebutkan dengan frasa “bantuan” atau “kemudahan” terhadap 

pelaku tindak pidana terorisme dan oleh karenanya keterhubungan 

bantuan atau kemudahan harus juga didahului dengan perbuatan 

konkrit yang terjadi. Demikian itu tidak tampak dalam Surat 

Dakwaan Penuntut Umum;

5.5. Bahwa Ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak 

Pidana Terorisme menegaskan adanya perbuatan dengan unsur 

memberikan “bantuan” atau “kemudahan” terhadap pelaku tindak 

pidana terorisme dengan cara menyembunyikan informasi tentang 

tindak pidana terorisme. Dalam Penjelasan Pasal 13 yang dimaksud 

dengan “bantuan” adalah “tindakan memberikan bantuan baik 

sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan”. Adapun yang 

dimaksud dengan “kemudahan” adalah tindakan memberikan 

bantuan setelah tindak pidana dilakukan. Oleh karena terdapat 

adanya perbedaan apa yang dimaksud dengan “bantuan” dan 

“kemudahan” dalam Pasal 13. Mengacu pada Penjelasan tersebut, 

maka mengikat Penuntut Umum dalam menyusun Surat 

Dakwaannya. Disini Penuntut Umum tidak menjelaskan perbuatan 

apa yang sebenanrnya terjadi dan menjadi dalil dalam dakwaannya, 

baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan. Termasuk 

dalam hal memberikan memberikan bantuan setelah tindak pidana 

dilakukan;

5.6. Bahwa dalam uraian surat dakwaannya Penuntut Umum menuduh 

Terdakwa karena menyembunyikan informasi tentang tindak 

pidana, akan tetapi hal tersebut justru bertentangan dengan uraian 

surat dakwaan Penuntut Umum sendiri, yakni pada halaman 37 

paragraf terakhir Penuntut Umum menjelaskan bahwa rangkaian 

peristiwa atau kegiatan acara yang diikuti oleh Terdakwa di Pondok 

Pesantren Tahfizul Qur’an Sudiang tersebar luas di media, yang 

kemudian menjadikan ada kegiatan lanjutan serupa yang 

dilaksanakan di UIN Sumatera Utara yang bukan hanya dihadiri oleh 

Terdakwa sebagai pembicara, melainkan juga dihadiri oleh Dr. H 

Hery Subiansauri S.H., M.H., M.Si (Humas Polda Sumatera Utara) 

yang notabene merupakan penegak hukum;

5.7. Bahwa dengan demikian uraian peristiwa yang dipaparkan oleh 

Penuntut Umum menjadikan dakwaan ketiga Penuntut Umum dalam 

surat dakwaannya menjadi tidak cermat, jelas, dan lengkap. Oleh 

karena rangkaian peristiwa yang dipaparkan oleh Penuntut Umum 

adalah acara yang diketahui umum, serta bukan hal yang 

dirahasiakan sebagaimana yang didakwakan Penuntut Umum 

terhadap Terdakwa, bahkan dalam acara yang diselenggarakan di 

UIN Sumatera Utara juga dihadiri oleh Dr. H Hery Subiansauri S.H., 

M.H., M.Si (Humas Polda Sumatera Utara) sebagai Pemateri yang 

notabene merupakan penegak hukum;

5.8. Bahwa oleh karena dakwaan Penuntut Umum pada dakwaan Ketiga 

tidak memenuhi syarat surat dakwaan yang cermat, jelas, dan 

lengkap maka sangat beralasan bagi Majelis Hakim yang mulia untuk 

menyatakan surat dakwaan Penuntut Umum dalam perkara a quo

dinyatakan batal demi hukum.

6. Surat Dakwaan Penuntut Umum Tidak Menjelaskan Kausalitas 

Tindakan Terdakwa Dengan Tindak Pidana Terorisme 

6.1. Bahwa dalam uraian surat dakwaannya, Penuntut Umum tidak 

menguraikan secara cermat, jelas dan lengkap keterhubungan 

(kausalitas) tindakan Terdakwa dalam acara yang dihadiri Terdakwa 

dengan Tindak Pidana Terorisme;

6.2. Bahwa dalam surat dakwaannya, Penuntut Umum menyebutkan 

bahwa Terdakwa mengikuti beberapa acara yakni bai’at di UIN Syarif 

Hidayatullah Ciputat Tangerang Selatan, Markas FPI Jl. Sungai 

Limboto No.15, Kel. Lajangiru, Kec. Ujung Pandang, Kota 

Makasar tanggal 24 Januari 2015, Pondok Pesantren Tahfizhul 

Qur’an Sudiang Makasar tanggal 25 Januari 2015, dan Seminar 

Nasional di IAIN Sumatera Utara UIN Sumatera Utara, akan tetapi 

Penuntut Umum tidak menjelaskan secara cermat, jelas, dan 

lengkap kausalitas antara perbuatan terdakwa dengan tindak 

pidana terorisme;

6.3. Bahwa keterhubungan antara satu peristiwa dengan peristiwa 

lain haruslah tergambar dalam suatu surat dakwaan sehingga 

surat dakwaan dapat menjelaskan suatu perbuatan merupakan 

sebuah kesalahan, oleh karena hal tersebut merupakan asas 

fundamental dalam hukum pidana yakni “Geen straf zonder 

schuld” yang berarti tiada pidana tanpa kesalahan dan “actus non 

facit reum nisi mens sit rea” yang berarti suatu perbuatan tak dapat 

menjadikan seseorang bersalah bilamana tak maksudnya bersalah;

6.4. Bahwa dalam surat dakwaan halaman 2 paragraf 2 s/d paragraf 

4 Penuntut Umum menyebutkan Terdakwa menghadiri acara 

bai’at terhadap pimpinan ISIS di UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, 

Tangerang Selatan pada tanggal 6 Juli 2014, sedangkan 

Penuntut Umum sendiri menguraikan dalam surat dakwaan 

halaman 56 paragraf ke 3 pelarangan ISIS didasarkan pada 

Resolusi Dewan Keamanan PBB No.2170 tanggal 15 Agustus 

2014, Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 

11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014

tentang Penetapan Perpanjangan Pencantuman Individu dan 

Organisasi sebagai Terduga Teroris, dan berdasarkan Daftar 

Terduga Teroris dan Organisasi Teroris Domestik No. 

DTTOT/2723/XI/2014 tanggal 20 November 2014;

6.5. Bahwa dasar pelarangan yang diuraikan Penuntut Umum tersebut 

terbit setelah acara di UIN Syarif Hidayatullah Ciputat Tangerang 

Selatan, sehingga andaipun benar Terdakwa menghadiri acara 

tersebut maka tidak ada kausalitas antara perbuatan Terdakwa 

dengan tindak pidana Terorisme sebagaimana dituduhkan 

Penuntut Umum;

6.6. Bahwa terhadap 3 acara seminar dan Tabligh Akbar di Markas FPI 

Jl. Sungai Limboto No.15, Kel. Lajangiru, Kec. Ujung Pandang, 

Kota Makasar tanggal 24 Januari 2015, Pondok Pesantren 

Tahfizhul Qur’an Sudiang Makasar tanggal 25 Januari 2015, dan 

Seminar Nasional di IAIN Sumatera Utara UIN Sumatera Utara, 

Penuntut Umum menyebutkan peran Terdakwa sebagai 

Pembicara yang tidak hanya sendiri atau pemateri tunggal;

6.7. Bahwa dengan adanya pembicara lain dalam acara yang dihadiri 

Terdakwa, sehingga tindakan Terdakwa tidak serta merta dapat 

dikualifikasikan memiliki keterhubungan/kausalitas dengan 

tindak pidana terorisme, oleh karena sebagaimana diuraikan 

dalam transkrip dakwaan Penuntut Umum halaman 6 s/d 10 

Terdakwa sebagai pembicara menyampaikan dan menjelaskan 

sebuah dokumen dari Lembaga RAND Corporation dan NIC 

(National Intelligence Council) yang pada intinya Terdakwa 

memberikan peringatan kepada para peserta yang hadir agar 

untuk berhati-hati terhadap adu domba antar sesama, 

selanjutnya dalam acara kedua di Pondok Pesantren Tahfizhul 

Qur’an Sudiang Makasar tanggal 25 Januari 2015, Terdakwa 

sebagai pembicara menyampaikan materi tentang strategi 

dakwah agar ummat secara umum memiliki pemahaman Islam 

yang baik, selanjutnya ketiga Terdakwa menyampaikan materi 

sebagaimana kapasitas Terdakwa sebagai Sarjana Hukum atau 

Advokat melihat “Bahaya ISIS di Indonesia” sebagai tema 

seminar;

6.8. Bahwa uraian materi yang disampaikan oleh Terdakwa 

sebagaimana diuraikan oleh Penuntut Umum dalam dakwaannya 

sama sekali tidak menjelaskan keterhubungan/kausalitas antara 

perbuatan Terdakwa dengan Tindak Pidana Terorisme;

6.9. Bahwa oleh karena surat dakwaan tidak cermat, jelas, dan lengkap 

dengan tidak adanya keterhubungan/kausalitas dalam surat 

dakwaan Penuntut Umum antara satu peristiwa dengan peristiwa 

lain yang menjelaskan kesalahan Terdakwa, maka sangat beralasan 

bagi Majelis Hakim untuk menyatakan surat dakwaan Penuntut 

Umum batal demi hukum.


BAB IV

EKSEPSI ERROR IN PERSONA

Majelis Hakim yang Kami Muliakan,

Penuntut Umum yang Kami Hormati, dan

Segenap Pecinta Keadilan yang Kami Cintai,

Bahwa Ketiga Dakwaan Penuntut Umum adalah dakwaan error in persona, 

artinya Penuntut Umum telah salah mendakwa Terdakwa dalam perkara a 

quo. Adapun dalil tersebut didasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

1. Bahwa untuk menetapkan seseorang menjadi Tersangka haruslah 

didapati bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis

alat bukti, dan ditentukan melalui gelar perkara. Sehingga harus ada

proses terlebih dahulu dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka;

2. Eror in Persona Dalam Dakwaan Pertama

2.1. Bahwa telah diuraikan dalam bab sebelumnya tentang tidak cermat 

dan lengkapnya dakwaan Penuntut Umum terhadap Terdakwa dalam 

perkara a quo. Lebih lanjut, telah terjadi error in persona dalam 

dakwaan Penuntut Umum terhadap Terdakwa;

2.2. Bahwa error in persona terjadi dikarenakan Penuntut Umum telah 

gagal menguraikan peran Terdakwa dalam perbuatan pidana yang 

didakwakan yang dalam Dakwaan Pertama didakwa menggerakkan 

para saksi-saksi yang diduga melakukan tindak pidana terorisme. 

Kegagalan tersebut karena memang tidak ada peristiwa yang

menghubungkan perbuatan Terdakwa dengan saksi-saksi yang 

terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan tindak pidana 

terorisme yang didakwakan. Mampu diuraikan dalam dakwaan yang 

menunjukkan bahwa Terdakwalah yang menggerakkan saksi untuk 

melakukan tindak pidana terorisme;

2.3. Bahwa upaya Penuntut Umum menghubung-hubungkan kehadiran 

Terdakwa dalam kegiatan seminar yang dianggap Penuntut Umum

telah menginspirasi orang-orang yang dijadikan saksi yang 

kemudian melakukan tindak pidana terorisme, perbuatan tersebut 

tidak pernah diketahui secara langsung oleh Terdakwa. Terlebih 

kesaksian tersebut merupakan kesaksian sepihak dengan tidak 

didukung alat bukti yang sah lainnya yang berhubungan langsung 

dengan adanya dugaan tidak pidana;

2.4. Bahwa Terdakwa tidak pernah memerintahkan, menyuruh 

melakukan, memprovokasi, hasutan apalagi bersama-sama dengan 

orang-orang yang dijadikan saksi bermufakat melakukan tindak 

pidana terorisme. Tidak adanya perintah, ajakan atau hal tersebut 

di atas justru “tergambar” lewat ketidakjelasan dakwaan Penuntut 

Umum. Dakwaan a quo hanya bersandar kepada keterangan orang-

orang yang dijadikan saksi, yang merasa terinspirasi hadirnya 

Terdakwa dalam acara seminar.

3. Error in Persona Dalam Dakwaan Kedua

3.1. Bahwa Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan Pasal 15 jo 

Pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 

1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 

yang telah ditetapkan Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 

2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti 

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan 

Tindak Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang jo Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan 

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

3.2. Bahwa dalam dakwaan kedua, Penuntut Umum kembali 

memaksakan peristiwa seminar sebagai dasar dakwaan terhadap 

Terdakwa, bahwa seolah-olah telah terjadi permufakatan jahat, 

perencanaan tindak pidana terorisme dalam acara Seminar di 

Markas FPI Jl. Sungai Limboto No.15, Kel. Lajangiru, Kec. Ujung 

Pandang, Kota Makasar tanggal 24 Januari 2015, Pondok 

Pesantren Tahfizhul Qur’an Sudiang Makasar tanggal 25 Januari 

2015, dan Seminar Nasional di IAIN Sumatera Utara UIN 

Sumatera Utara;

3.3. Bahwa hal tersebut justru menunjukkan telah terjadi error in 

persona dalam dakwaan Penuntut Umum, karena tidak ada peristiwa 

yang dapat dikualifikasikan sebagai permufakatan jahat, persiapan, 

percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana 

terorisme, karena tidak satu pun peristiwa yang terjadi di seminar 

yang diuraikan dalam dakwaan dirinci oleh Penuntut Umum untuk 

kemudian dirumuskan sebagaimana unsur-unsur dalam Pasal 15;

3.4. Bahwa hal ini karena tidak pernah ada permufakatan jahat, 

persiapan, percobaan atau pembantuan untuk melakukan tindak 

pidana terorisme, yang dilakukan oleh Terdakwa dalam acara 

seminar yang ceritanya disusun dan diurai secara “lengkap” oleh 

Penuntut Umum;

3.5. Bahwa Terdawa tidak pernah terlibat dalam persiapan acara 

seminar, Terdakwa hadir sebagai pembicara, dan dalam 

memberikan materi tidak terdapat ajakan, anjuran maupun perintah 

untuk melakukan tindak pidana terorisme;

3.6. Bahwa andaipun ada hal-hal yang terjadi selama acara tersebut, 

bukan dibawah kendali Terdakwa, yang pada saat itu kapasitasnya 

adalah sebagai pembicara yang diundang oleh panitia;

3.7. Bahwa dengan demikian jelaslah bahwa dakwaan disusun dengan 

prasangka tanpa melihat fakta hukum.

4. Error in Persona Dalam Dakwaan Ketiga

4.1. Bahwa dalam dakwaan ketiga Penuntut Umum mendakwa Terdakwa 

telah menyembunyikan informasi tentang adanya peristiwa tindak 

pidana terorisme;

4.2. Bahwa dalam kapasitasnya sebagai Pembicara, Terdakwa tidak 

mengetahui detail acara selain pada saat Terdakwa menyampaikan 

materinya di hadapan peserta seminar;

4.3. Bahwa Terdakwa tidak pernah diberitahu tentang kegiatan diluar 

acara seminar, terlebih hal tersebut bukan tanggung jawab dan 

kewenangan Terdakwa jika memang ada kegiatan lain.

5. Bahwa melihat konstruksi dakwaan Penuntut Umum, jelas bahwa ketiga 

dakwaan perkara a quo tidak lebih dari upaya Penuntut Umum 

menghubung-hubungkan peristiwa yang tidak diketahui oleh Terdakwa, 

dan menarik Terdakwa untuk bertanggung-jawab atas perbuatan yang 

tidak dilakukan oleh Terdakwa yang didakwakan oleh Penuntut Umum 

dalam dakwaannya;

6. Bahwa dengan demikian telah terjadi error in persona dalam dakwaan 

perkara a quo dan sudah sepatutnya dakwaan Penuntut Umum 

dinyatakan tidak berdasar hukum.


BAB V

DAKWAAN MELANGGAR ASAS NON-RETROAKTIF 

(TIDAK BERLAKU SURUT)

Majelis Hakim yang Kami Muliakan,

Penuntut Umum yang Kami Hormati, dan

Segenap Pecinta Keadilan yang Kami Cintai,

Setelah membaca dan mencermati Surat Dakwaan Penuntut Umum yang 

menuduh Terdakwa telah melakukan tindak pidana terorisme yang terjadi 

pada tahun 2015, yaitu Pasal 14 Jo. Pasal 7 dan/ Pasal 15 Jo. Pasal 7 dan/ 

Pasal 13 huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang RI Nomor 

1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah 

ditetapkan menjadi Undang-undang dengan Undang-undang RI Nomor 15 

Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 

Terorisme menjadi Undang-undang Jo. Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 

2018 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang 

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 

2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-

undang, dengan ini Tim Penasihat Hukum Terdakwa mengajukan keberatan 

atas surat dakwaan tersebut, adapun alasan tersebut berdasarkan hal-hal 

sebagai berikut:

1. Bahwa setelah 6 Tahun sejak acara seminar pada tahun 2015, kemudian 

pada tahun 2021 Penuntut Umum menuduh Terdakwa melakukan tindak 

pidana yang terjadi pada Tahun 2015, dan pada Tahun 2018 Undang-

Undang Terorisme telah diubah yang diantaranya mengubah norma Pasal 

14 dan Pasal 15. Jika di cermati penulisan Undang-Undang dalam 

dakwaan Penuntut Umum dituliskan “… Jo. Undang-undang RI Nomor 5 

Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 

2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana 

Terorisme menjadi Undang-undang”;

2. Bahwa dengan penulisan seperti itu, maka Penuntut Umum 

menggunakan norma Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 

Tahun 2018, artinya Penuntut Umum memberlakukan Undang-Undang 

Nomor 5 Tahun 2018 terhadap peristiwa yang didakwakan terjadi pada 

Tahun 2015;

3. Bahwa Dakwaan Penuntut Umum tersebut sangatlah jelas telah 

melanggar asas non-retroaktif, dikatakan demikian karena berdasarkan 

ketentuan pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan “Suatu perbuatan tidak 

dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”. Pasal tersebut 

mengadung azas-azas penting dalam Hukum Pidana yang dirumuskan 

dengan maxim “Nullum Crimen Sine Lege” (Tiada Kejahatan Tanpa 

Undang-Undang) Nulla Poena Sine Crimine (Tiada pidana tanpa 

kejahatan), Nullum Crimen Sine Lege Praevia (Tiada Kejahatan tanpa 

Undang-undang sebelumnya). Dengan kata lain, dilarang menerapkan 

secara Ex Post Facto Criminal Law. Tujuannya adalah demi kepastian 

hukum dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memperkokoh 

penerapan Rule of Law;

4. Bahwa salah satu adagium menyatakan bahwa hukum pidana tidak dapat 

diberlakukan surut (lex praevia). Pada perkara a quo, dakwaan Penuntut 

Umum telah melanggar asas non-retroaktif. Perbuatan yang didakwakan 

menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2018 tentang 

Terorisme, sedangkan kejadian Seminar di Markas FPI Jl. Sungai 

Limboto No.15, Kel. Lajangiru, Kec. Ujung Pandang, Kota Makasar 

tanggal 24 Januari 2015, Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Sudiang 

Makasar tanggal 25 Januari 2015, dan Seminar Nasional di IAIN 

Sumatera Utara UIN Sumatera Utara. Kesemuanya itu jelas terjadi 

sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 tahun 2018 tentang 

Terorisme;

5. Dalam kaitannya dengan substansi dakwaan Penuntut Umum yang 

bersentuhan dengan pelanggaran terhadap asas non-retroaktif menunjuk 

pada uraian dakwaan baik unsur subjektif maupun unsur objektif. Pada 

prinsipnya larangan non-retroaktif dimaksudkan agar tidak terjadi 

pemenuhan unsur yang datang kemudian dengan menggunakan 

Undang-undang yang sebelumnya tidak ada pada saat perbuatan 

dilakukan. Selain merugikan kepentingan hukum Terdakwa, pelanggaran 

tersebut juga merusak sistem peradilan pidana. Kondisi demikian bahkan 

bertentangan dengan asas “kepastian hukum yang adil” sebagaimana 

diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik 

Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 

Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa 

“Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, 

kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah 

ada sebelum tindak pidana ini dilakukannya.”

6. Bahwa Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas 

Hukum Pidana di Indonesia” menyatakan bahwa pengulangan 

pencantuman asas ini dalam KUHP menunjukkan bahwa larangan 

keberlakuan surut ini oleh pembentuk Undang-undang ditekankan bagi ketentuan pidana. Larangan keberlakuan surut ini untuk menegakkan 

kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu 

perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau tidak;

7. Bahwa selain itu, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku 

surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam 

keadaan apa pun sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28I ayat (1) 

Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang menyatakan:

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, 

hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk 

tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan 

hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang 

berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat 

dikurangi dalam keadaan apapun.”

8. Bahwa lebih lanjut Pasal 4 dan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 

39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menegaskan 

pelarangan seseorang untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku 

surut sebagai berikut:

Pasal 4 UU HAM

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran 

dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk 

diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk 

tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak

asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun 

dan oleh siapapun.”

Pasal 18 ayat (2) UU HAM

“Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi 

pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-

undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana ini 

dilakukannya.”

9. Bahwa berdasarkan alasan tersebut diatas, maka kami Penasihat Hukum 

Terdakwa memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan 

mengadili perkara ini untuk menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum 

telah melanggar asas non-retroaktif dan Surat Dakwaan Penuntut 

Umum bertentangan Pasal 143 ayat (2) huruf b Undang-Undang 

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara 

Pidana. Dari uraian di atas dan berdasarkan ketentuan Pasal 143 

ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab 

Undang-Undang Hukum Acara Pidana, surat dakwaan yang tidak 

memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) b batal demi hukum.


BAB VI

EKSEPSI LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM 

(ONSLAG VAN RECHTSVELVOLGING)

Majelis Hakim yang Kami Muliakan,

Penuntut Umum yang Kami Hormati, dan

Segenap Pecinta Keadilan yang Kami Cintai,

1. Bahwa dalam dakwaan Penuntut Umum sebagaimana dakwaan pertama, 

dakwaan kedua dan dakwaan ketiga yang menguraikan peristiwa berikut 

ini:

1.1. Ciputat, Tangerang Selatan

Terdakwa menghadiri diskusi publik di Gedung Syahidah UIN Syarif 

Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan tanggal 6 Juli 2014 (secara 

tidak sengaja); 

1.2.Kota Makassar 

1)Menjadi Narasumber tanggal 24 Januari 2015: Sekretariat FPI Jl. 

Sungai Limboto No.15, RT/RW. 02/03, Kel. Lajangiru, Kec. Ujung 

Pandang, Kota Makasar, Sulawesi Selatan (berdasarkan 

Undangan dari panitia DPD-FPI Sulawesi Selatan); 

2)Menjadi Narasumber tanggal 25 Januari 2015: Pondok Pesantren 

Tahfizul Qur’an Sudiang Makasar Sulawesi Selatan (berdasarkan 

permintaan secara spontan/mendadak dari pihak pondok 

pesantren Tahfizul Quran). 

1.3. Kota Medan

Menjadi Narasumber tanggal 5 April 2015: Aula Pusbinsa Kampus 

UIN Sumatera Utara (berdasarkan undangan dari panitia).

2. Bahwa Terdakwa pada tanggal 24 dan 25 Januari 2015 di Kota Makassar 

murni hadir khusus sebagai pemateri, dimana Terdakwa tidak 

mengetahui siapa PENGGAGAS atau PERENCANA seminar tersebut ?, 

SIAPA SAJA PESERTANYA (audiencenya)?, SIAPA SAJA PEMATERI 

LAINNYA ?? yang hadir dalam seminar tersebut selain diri Terdakwa; 

3. Bahwa pemaparan materi yang disampaikan kepada audience tidak ada 

satupun yang substansinya masuk dalam apa yang dituduhkan atau 

didakwakan oleh Penuntut Umum, sebagaimana Dakwaan Pertama, 

Dakwaan Kedua ataupun Dakwaan Ketiga. Sebagaimana materi yang 

disampaikan dalam Seminar di Pondok Pesantren Tahfizul Qur’an Sudiang 

Makasar Sulawesi Selatan pada tanggal 25 Januari 2015 materil substansi yang disampaikan oleh Terdakwa yang pada pokoknya terkait 

dengan:

3.1. Bahwa Indonesia adalah medan dakwah. Sebagaimana dituliskan

dalam surat dakwan Penuntut Umum halaman 16 baris ke 3 dari 

bawah. Dengan demikian jelas apa yang disampaikan oleh Terdakwa 

justru untuk mengedepankan dakwah di Indonesia;

3.2. Peta kondisi umat Islam yang masih belum paham syariat;

3.3. Kewajiban dakwah hanya pada sedikit orang yaitu orang yang 

menguasai ilmu;

3.4. Level atau jenis syariat, yang berlaku pada kewajiban individu dan 

ada syariat yang hanya bisa dijalankan oleh negara, seperti fungsi 

hukum dan hisbah. Dengan maksud dan tujuan agar peserta 

seminar tidak memiliki persepsi untuk menjalankan secara individual 

syariat yang bebannya ada pada sistem ketatanegaraan, agar tidak 

terjadi main hakim sendiri yang justru menimbulkan masalah baru.

4. Bahwa Dakwaan Pertama Penuntut Umum sebagaimana diatur dan 

diancam pidana menurut Pasal 14 Jo. Pasal 7 Peraturan Pemerintah 

Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan 

Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang 

No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti 

Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak 

Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang Jo. Undang-Undang Nomor 5 

Tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 

1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang 

berbunyi: 

"Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang 

lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana 

dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 

11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara 

seumur hidup.” 

5. Bahwa Dakwaan Kedua Penuntut Umum sebagaimana diatur dan 

diancam pidana menurut Pasal 15 Jo. Pasal 7 Peraturan Pemerintah 

Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang 

No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti 

Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 

2018 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 

1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang 

berbunyi:

“Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, 

atau pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme 

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, 

Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama 

sebagai pelaku tindak pidananya.”

6. Bahwa Dakwaan Ketiga Penuntut Umum sebagaimana diatur dan 

diancam pidana menurut Pasal 13 huruf C Peraturan Pemerintah 

Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan 

Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang 

No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti 

Undang-Undang No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak 

Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang Jo. Undang-Undang Nomor 5 

Tahun 2018 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 

tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 

1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang 

berbunyi:

"Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau 

kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan: 

c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, di 

pidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan 

paling lama 15 (lima belas) tahun."

7. Bahwa dari substansi pemaparan yang disampaikan Terdakwa dalam 

Seminar di Kota Makassar dan Kota Medan pada faktanya TIDAK ADA 

satupun yang masuk kedalam unsur yang didakwakan oleh Penuntut 

Umum, bahkan dari ketiga seminar yang dihadiri oleh Terdakwa, salah 

satu seminar, yakni di UIN Medan terdapat NARASUMBER dari KEPALA 

BIDANG PEMBINAAN MASYARAKAT KEPOLISIAN DAERAH 

SUMATERA UTARA (Kabid Binmas Polda Sumut) dan juga peserta seminarnya adalah dari kalangan MAHASISWA, MASYARAKAT UMUM, 

dan anggota FPI. Apabila perbuatan yang dilakukan Terdakwa 

merupakan suatu tindak pidana, maka sudah sejak saat Terdakwa selesai 

menyampaikan materi seminar langsung di proses hukum. Faktanya 

sampai dengan sebelum adanya tragedi KM-50 perbuatan tersebut tidak 

masuk sebagai suatu tindak pidana. Oleh karenanya perbuatan Terdakwa 

yang menghadiri dan juga sebagai pemateri BUKANLAH SUATU 

PERBUATAN TINDAK PIDANA. Perbuatan Terdakwa MURNI sebagai 

bentuk dakwah dan syiar sebagai seorang muslim khususnya sebagai 

praktisi hukum yang berprofesi sebagai ADVOKAT;

8. Bahwa berdasarkan FAKTA HUKUM dalam surat dakwaan yang dibangun 

oleh Penuntut Umum sangat terlihat terlalu DIPAKSAKAN dan tergesa-

gesa, dengan maksud untuk menjerat Terdakwa dengan menggunakan 

pihak lain yang jelas-jelas TIDAK ADA KONEKSITAS antara perbuatan 

para pelaku yang dituduhkan sebagai teroris dengan pemaparan materi 

yang disampaikan oleh Terdakwa;

9. Bahwa eksepsi lepas dari segala tuntutan hukum menurut M. Yahya 

Hararap, S.H. dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan 

KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan 

Peninjauan Kembali, Edisi Kedua halaman 126 menyatakan: 

"Selanjutnya apa yang disebut dalam Pasal 67 tentang eksepsi ini, 

dipertegas lagi dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yang memberi patokan 

tentang arti putusan "lepas dari segala tuntutan hukum", yakni: "Jika 

perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan 

itu tidak merupakan suatu tindak pidana”;

10. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP, berbunyi: 

“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada 

terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak 

pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.”

11. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (2) KUHAP di atas, jelas 

dan nyata terkait kegiatan SEMINAR yang dihadiri oleh Terdakwa 

BUKANLAH suatu perbuatan yang masuk dalam tindak pidana (delict)

sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum. Oleh karenanya, 

Penasihat Hukum Terdakwa mohon kepada Majelis Hakim yang Mulia 

memberikan putusan sela menyatakan TERDAKWA LEPAS DARI SEGALA 

TUNTUTAN HUKUM (ONSLAG VAN RECHTSVELVOLGING).


BAB VII

SURAT DAKWAAN DIDASARKAN PADA PROSES PENYIDIKAN YANG 

TIDAK SAH DAN MELANGGAR HAM SERTA MELANGGAR PROKES

Majelis Hakim yang Kami Muliakan,

Penuntut Umum yang Kami Hormati, dan

Segenap Pecinta Keadilan yang Kami Cintai,

1. Bahwa Terdakwa H. Munarman, S.H., sebelum ditangkap dan ditetapkan 

sebagai tersangka, tidak pernah satu kali pun dipanggil maupun 

diperiksa sebelumnya sebagai saksi;

2. Bahwa Terdakwa H. Munarman, S.H., sangat jelas keberadaannya, 

maupun aktivitasnya sebagai advokat dan public defender, maupun 

pembela hak asasi manusia, sehingga penyidik perkara a quo tidak akan 

kesulitan untuk mengirimkan surat panggilan kepada Terdakwa;

3. Bahwa panggilan kepada saksi harus memperhatikan tenggang waktu 

yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari seorang itu diharuskan 

memenuhi panggilan tersebut yakni disampaikan selambat-lambatnya 3 

(tiga) hari sebelum tanggal hadir yang ditentukan:

Pasal 112 ayat (1) KUHAP:

“Penyidik yang melakukan pemeriksaan, dengan menyebutkan 

alasan pemanggilan secara jelas, berwenang memanggil 

tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dengan 

surat pemanggilan yang sah dengan memperhatikan 

tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan 

dan hari seorang itu diharuskan memenuhi panggilan 

tersebut.”

Pasal 227 ayat (1) KUHAP: 

“Semua jenis pemberitahuan atau panggilan oleh pihak yang 

berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan kepada terdakwa, 

saksi, atau ahli disampaikan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari 

sebelum tanggal hadir yang ditentukan, di tempat tinggal 

mereka atau di tempat kediaman mereka terakhir.”

4. Bahwa selain itu petugas yang melaksanakan panggilan tersebut 

haruslah bertemu sendiri dan berbicara langsung dengan Terdakwa H. 

Munarman, S.H., sebagai pihak yang dipanggil dan membuat catatan 

bahwa panggilan telah diterima oleh yang bersangkutan sebagaimana 

diatur dalam Pasal 227 ayat (2) KUHAP;

5. Bahwa pemanggilan sebagai saksi sebagaimana terdapat dalam point 3 

dan point 4, sama sekali tidak pernah dilakukan terhadap Terdakwa H. 

Munarman, S.H., seharusnya pihak penyidik perkara a quo harus terlebih 

dahulu memanggil Terdakwa secara patut dan sah, untuk dimintai 

keterangannya, bukan malah langsung menangkap dan menetapkannya 

sebagai Tersangka;

6. Bahwa penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang 

merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia. Proses penyidikan 

dan penetapan status Tersangka merupakan satu kesatuan yang utuh. 

Dengan lain perkataan, hasil akhir penyidikan adalah penetapan status 

Tersangka. Sesuai dengan Pasal 1 angka 14 KUHAP, yang menyatakan: 

“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, 

berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak 

pidana.”

7. Bahwa penetapan status Tersangka menunjuk pada hasil penyidikan, 

sehingga frasa “karena perbuatannya atau keadaannya” serta frasa 

“berdasarkan bukti permulaan” terkait dengan kekuatan minimal dua alat 

bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP dan dengan dua 

alat bukti itu telah membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi. 

Terangnya tindak pidana yang terjadi ini kemudian diwujudkan dalam 

pemenuhan unsur-unsur tidak pidana yang disangkakan kepada 

Tersangka;

8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, dalam 

pertimbangannya menyatakan bahwa, Pasal 1 ayat (2) KUHAP termasuk 

dalam Bab I Pasal 1 tentang Ketentuan Umum yang mengatur tentang 

pengertian Penyidikan yang menyatakan, “Penyidikan adalah 

serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur 

dalam Undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang 

dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna 

menemukan tersangkanya”;

9. Adapun frasa “dan guna menemukan tersangkanya” harus ditafsirkan 

bersyarat seperti yang didalilkan oleh Pemohon, menurut Mahkamah 

Konstitusi, sebenarnya sudah dipenuhi oleh pasal tersebut, yaitu penyidik 

dalam rangkaian tindakan penyidikan melakukan suatu proses 

pengumpulan bukti yang dengan bukti tersebut kemudian penyidik menemukan tersangka dalam satu tindak pidana sehingga tidak serta 

merta penyidik menemukan tersangka sebelum melakukan pengumpulan 

bukti sebagaimana ditentukan dalam pasal a quo. Pasal 1 angka 2 KUHAP 

mengatur bagaimana penyidik menemukan tersangka sehingga pasal 

tersebut sudah jelas dan tidak perlu ditafsirkan. Menurut Mahkamah 

Konstitusi, norma tersebut sudah tepat karena memberikan kepastian 

hukum yang adil kepada warga negara Indonesia ketika akan ditetapkan 

menjadi tersangka oleh penyidik, yaitu, harus melalui proses atau 

rangkaian tindakan penyidikan dengan cara mengumpulkan bukti yang 

dengan bukti tersebut penyidik menemukan tersangkanya, bukan secara 

subjektif penyidik menemukan tersangka tanpa mengumpulkan bukti. 

Dengan demikian, penyidikan harus terlebih dahulu mencari dan 

mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang 

terjadi, dari bukti-bukti tersebut kemudian baru dapat ditetapkan 

tersangkanya;

10. Disebutkan dalam ratio decidenci Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 

21/PUU-XII/2014 bahwa frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang 

cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 

angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan 

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP 

dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya. Dengan 

demikian, tidak dapat ditafsirkan lain bahwa terhadap H. Munarman, 

S.H., (yang memang sudah ditarget untuk ditersangkakan) harus 

dilakukan pemeriksaan sebagai calon Tersangka. Fakta yang terjadi 

bahwa Terdakwa belum pernah dimintakan keterangan sebagai calon 

tersangka;

11. Bahwa dengan tidak ditempuhnya terlebih dahulu pemanggilan serta 

pemeriksaan H. Munarman, S.H., dalam proses penyidikan sebagai Saksi 

sebagaimana telah ditentukan oleh KUHAP, selain itu yang bersangkutan 

juga tidak pernah diperiksa sebagai calon tersangka, menyebabkan 

penyidikan menjadi cacat hukum dan tidak sah, sehingga harus 

dikatakan segala penetapan yang dilahirkan dari penyidikan yang cacat 

hukum dan tidak sah, yakni penangkapan, penetapan tersangka, dan 

sebagainya sampai dengan surat dakwaan yang dikenakan kepada H. 

Munarman, S.H., menjadi cacat hukum dan tidak sah pula menurut 

hukum, sehingga harus dibatalkan;

12. Bahwa penangkapan yang dilakukan oleh pihak Densus 88 Antiteror Polri 

terhadap H. Munarman, S.H., telah melanggar hak asasi manusia dan 

sewenang-wenang, H. Munarman, S.H. dibawa dengan kasar, tidak 

diperbolehkan memakai alas kaki, serta menutup matanya 

dengan kain hitam;

13. Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid mengatakan, 

polisi terkesan melakukan penangkapan yang sewenang-wenang dan 

mempertontonkan secara gamblang tindakan aparat yang tidak

menghargai nilai-nilai HAM ketika menjemputnya dengan paksa. Dia 

menyebut tuduhan terorisme yang ditujukan kepada H. Munarman, S.H.

tidak menjadi pembenaran bagi polisi untuk melanggar hak asasi 

manusia. “Munarman terlihat tidak membahayakan petugas dan tidak 

terlihat adanya urgensi aparat untuk melakukan tindakan paksa tersebut. 

Hak-hak Munarman harus dihormati apa pun tuduhan kejahatannya”. 

Usman Hamid juga menjelaskan, dalam Pasal 28 ayat (3) UU No. 15 

Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme jelas 

menyatakan bahwa pelaksanaan penangkapan orang yang diduga 

melakukan Tindak Pidana Terorisme harus dilakukan dengan menjunjung 

tinggi prinsip HAM. “Ini berpotensi membawa erosi lebih jauh atas 

perlakuan negara yang kurang menghormati hukum dalam 

memperlakukan warganya secara adil,” ucap Usman;

Sehingga jelas penyidikan perkara a quo yang dikemudian hari 

melahirkan surat dakwaan, merupakan proses yang melanggar 

HAM, dan oleh karenanya surat dakwaan Penuntut Umum harus 

dinyatakan cacat hukum, tidak sah, dan oleh karenanya harus 

dibatalkan;

14. Bahwa proses penangkapan Densus 88 terhadap Terdakwa H. 

Munarman, S.H., juga telah melanggar protokol kesehatan, dan tidak 

mengindahkan situasi kedaruratan pandemi Covid-19. Terdakwa tidak 

diberikan kesempatan untuk memakai masker, atau dipakaikan masker 

oleh petugas Densus 88, padahal mereka sempat menutup mata 

Terdakwa dengan kain hitam, mengapa Terdakwa tidak dipakaikan 

masker? Padahal ketika proses penangkapan sempat mengakibatkan 

adanya kumpulan orang, baik dari pihak petugas kepolisian, maupun 

masyarakat sekitar 

15. Bahwa menutup wajah tersangka atau terduga teroris adalah merupakan 

standar internasional, dalam rangka mengamankan jiwa petugas 

lapangan. Namun bukankah memakai masker dalam situasi Pandemi 

Covid-19 juga dalam rangka mengamankan jiwa setiap individu maupun 

masyarakat? Termasuk di dalamnya petugas yang melakukan 

penangkapan, Terdakwa sendiri, maupun masyarakat;

16. Bahwa pemerintah dalam menanggapi situasi Pandemi Covid 19 telah 

menerbitkan sejumlah aturan turunan dari Undang-undang Nomor 6 

Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang menetapkan 

adanya kedaruratan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan 

Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19, yang menetapkan Covid 

19 sebagai jenis penyakit yang menimbulkan kedaruratan kesehatan 

masyarakat, Keppres tersebut juga menetapkan kedaruratan tersebut 

wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai dengan peraturan 

perundang-undangan;

17. Bahwa Kementerian Kesehatan RI telah mengeluarkan KEPMEN No. 

HK.01.07/MENKES/382/2020 tentang PROTOKOL KESEHATAN BAGI 

MASYARAKAT DI TEMPAT DAN FASILITAS UMUM DALAM RANGKA 

PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN CORONA VIRUS DISEASE 2019 

(COVID-19), diantara protokol kesehatan yang harus diterapkan dalam 

rangka Perlindungan Kesehatan Individu adalah penggunaan alat 

pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung dan mulut hingga 

dagu, jika harus keluar rumah dan berinteraksi dengan orang lain yang 

tidak diketahui status kesehatannya (yang mungkin dapat menularkan 

COVID-19);

Bahwa menjadi fakta yang tidak dapat dibantah, penangkapan yang 

merupakan bagian dari penyidikan perkara a quo, telah nyata-nyata 

melanggar PROTOKOL KESEHATAN, sehingga penyidikan menjadi 

cacat hukum, bahkan sempat berpotensi membahayakan kesehatan 

masyarakat, dan oleh karenanya surat dakwaan Penuntut Umum yang 

dihasilkan dari proses penyidikan tersebut harus dinyatakan cacat 

hukum, tidak sah, dan oleh karenanya harus dibatalkan.



BAB VIII

PENUTUP

Majelis Hakim yang Kami Muliakan,

Penuntut Umum yang Kami Hormati, dan

Segenap Pecinta Keadilan yang Kami Cintai,

Berdasarkan uraian di atas, maka kami memohon agar Majelis Hakim 

Pemeriksa Perkara berkenan memeriksa, mengadili dan menjatuhkan putusan 

sela dengan amar putusan sebagai berikut:

1. Menerima dan mengabulkan Nota Keberatan atau Eksepsi Penasihat 

Hukum Terdakwa untuk seluruhnya;

2. Menyatakan penangkapan dan penahanan atas diri Terdakwa adalah tidak 

sah;

3. Memerintahkan Penuntut Umum melepaskan Terdakwa dari tahanan;

4. Menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak berwenang mengadili 

perkara ini;

5. Menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum No. Reg. Perkara: PDM-

228/JKT.TIM/Etl/11/2021 Batal Demi Hukum;

6. Membebaskan Terdakwa dari segala dakwaan Penuntut Umum;

7. Memulihkan harkat dan martabat serta nama baik Terdakwa 

kedudukannya di masyarakat;

8. Membebankan biaya perkara kepada negara.

ATAU

Apabila Majelis Hakim berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya 

(ex aequo et bono).

Jakarta, 15 Desember 2021

Hormat Kami,

An. Tim Advokasi Munarman

NAZORI DO'AK AHMAD, S.H. A. WIRAWAN ADNAN, S.H., M.H.

SUGITO ATMOPAWIRO, S.H., M.H. ACHMAD MICHDAN, S.H.

SYAMSUL BAHRI RADJAM, S.H. AHMAD KHOLID, S.H.

DR. PETRUS P. ELL., S.H., M.H. ERMAN UMAR, S.H.

AZIZ YANUAR P., S.H., M.H., M.M.