Kasus Munarman: Pojok Gelap Pengadilan Terorisme
Selasa, 14 Desember 2021
Faktakini.info
Pojok Gelap Pengadilan Terorisme
Persidangan Munarman dalam kasus terorisme berlangsung secara tertutup namun majelis hakim membuka jalannya persidangan dengan pernyataan sidang terbuka untuk umum. Awak media tidak diijinkan masuk keruang persidangan, wartawan hanya diperbolehkan didepan pintu pengadilan dan sudah disediakan speaker untuk mendengarkan jalannya persidangan.
Keadaan ini terjadi karena ada penafsiran ambigu (PP) Nomor 77 Tahun 2019 yang berisi perlindungan penyidik, JPU, Hakim dan petugas lapas. Pihak PN Jakarta-Timur melakukan perlindungan dengan cara memberlakukan sidang tertutup, padahal nomenklatur tidak tertulis tentang sidang tertutup melainkan hanya memberikan pelindungan jaminan rasa aman yang kepada penegak hukum yang terkait.
Sidang tertutup Pengadilan Negeri Jakarta Timur ini bertentangan dengan prinsip peradilan adalah terbuka untuk umum – sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 13 UU Kekuasaan Kehakiman, kecuali perkara mengenai kesusilaan atau anak. Bahkan implikasi ketika hal ini tidak terpenuhi maka putusan pengadilan tersebut bisa batal demi hukum.
Tidak ada urgensi yang untuk dilakukan sidang tertutup juga belum ditemukan yurisprudensi dimana hakim, JPU terancam terintimidasi karena menanggani pelaku terorisme. Dimana identitas hakim terbuka.
Dalam pelaku bom Bali, Amrozi CS justru disiarkan secara internasional tidak ada berita setelahnya penegak hukum diserang atau diancam kelompok teroris anggotanya.
Agar otak tidak terbentur pada peraturan kita perlu berfikir secara anarkhi dalam artian mengesampingkan produk hukum yang sudah ada, lalu menelisik kejadian-kejadian terjadi, segala penanggulangan terorisme ini. Berkembang opini dimasyarakat peraturan hukum tentang terorisme disinyalir digunakan untuk membasmi kelompok islam dan ada kecurigaan tersendiri untuk mereduksi keinginan untuk mempelajari mendalami islam, tidak sampai situ bahkan hingga memberikan stigma buruk tentang ajaran islam, pengadilan yang tertutup justu membuat proses keadilan terisolasi.
Jika yang dimaksudkan agar tidak tersebarnya ideologi terorisme, tentu itu adalah perdebatan definisi, apa yang di definisikan sebagai terorisme itu sendiri? apakah suatu lintasan pemikiran ataukah suatu tindakan. jikalau suatu tindakan maka pencegahannya tentu pada eksesnya, sebagai penegak hukum harus bisa membatasi tindakan-tindakan kriminal.
Jika yang dinilai adalah perbuatan, maka pasti tidak terkait dengan ajaran agama manapun termasuk ajaran islam yang biasa di kambing hitamkan oleh aparat negara atas peristiwa terorisme.
Aksi teror bisa dilakukan atas nama apa saja contohnya teror atas nama wilayah teritorial, yang dilakukan organisasi Papua merdeka (OPM) yang masih berlangsung hingga kini yang banyak membantai rakyat Papua dan aparat TNI dan kepolisian
Publikasi berlangsungnya pengadilan dimana terdakwa dibawa kemeja hijau persidangan, tentu akan memberikan edukasi dan memberi pemahaman pada masyarakat, terlebih lagi negara juga memiliki program deradikalisasi untuk mengurai paham-paham ekstrimis, jadi tidak ada alasan untuk tidak mempublikasikan persidangan terorisme karena sesuatu yang sembunyikan akan menimbulkan kecurigaan.
Bagaimana proses hukum, apa saja yang terjadi didalam tahanan, apa pembelaan terdakwa, semua detail persidangkan masyarakat berhak tahu, terutama para pewarta berita.
Kebijakan yang dilakukan PN Jak-Tim menjadi absurd, sehingga timbul opini seolah-olah hukum tentang penangganan terorisme menjadi remang-remang gelap dan tak terawang ditambah lagi proses penangkapan para terduga teroris dilakukan tidak dengan sistematis prosedur, tidak transparan, tidak manusiawi, brutal, bar-bar dan melanggar HAM. Hal itu mengingatkan kembali pada kasus Siyono yang tewas setelah di culik oleh detasemen 88 lalu dikembalikan dengan jenazah yang mengalami patah tulang.
Tidak ada kejelasan definitif frasa teroris ini, menjadikan keliaran Densus 88 tak terkendali, bebas memilih dan menuduh rakyat sebagai teroris, termasuk semua penangganan kasus terorisme dari penangkapan hingga persidangan dilakukan di sudut-sudut gelap hukum.
Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat, skeptisisme menjalar di fikiran publik.
Benarkah terorisme itu ada ? Atau setidaknya apakah para terduga teroris itu benar terorisme?
Mari kita tunggu mereka keluar dari sudut-sudut ruang gelap
(Mi)