Nuim Hidayat: Apa Ideologi Tjahjo Kumolo?

 



Rabu, 29 Desember 2021

Faktakini.info, Jakarta- Menteri  Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo membuat ulah kembali. Ia mengungkap lebih dari 16 ASN gagal menjadi eselon I. Hal ini karena rekam jejak digital suami maupun istri para ASN tersebut, kerap memantau tokoh radikal melalui media sosial.

“Masalah radikalisme, terorisme. Ini saya bikin stres, dua tahun Menteri PANRB dalam sidang TPA, hampir di atas 16 calon eselon I yang sudah hebat, profesor, doktor, mulai dari bawah naik, ikut TPA, gagal jadi eselon I, gara-gara kelakuan istrinya atau suaminya,” kata Tjahjo (1/12/2021).

Ia melanjutkan,“Istrinya kalau malam, kerjanya buka medsos tokoh-tokoh radikal, tokoh-tokoh teroris. Gagal. Pokoknya yang berbau terorisme, radikalisme, itu ancaman bangsa.”

Menurut Tjahjo, hampir tiap bulan Kementerian PANRB selalu menerbitkan surat keputusan (SK) pemberhentian terhadap ASN, khususnya yang terpapar radikalisme. Sebab, ada bukti rekam jejak digital para ASN yang dipecat tersebut.

“Prinsipnya adalah ASN tidak boleh berkaitan dengan radikalisme dan terorisme. Terlebih untuk calon pejabat pimpinan tinggi (PPT) madya. Walaupun sudah memenuhi kriteria, jika memiliki indikasi terpapar radikalisme dan terorisme, mohon maaf tidak bisa,” tegas Menteri Tjahjo (6/12).


Tjahjo mengaku selalu menerima laporan dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) terkait ASN yang terpapar paham radikal. Bahkan, dirinya telah menandatangani sanksi tegas kepada puluhan ASN setiap bulan. “Jadi jujur, saya menjabat Menpan RB itu ngeri-ngeri sedap. Setiap bulan harus teken dengan Badan Kepegawaian Negara lantaran sebanyak 70-an ASN kena sanksi akibat terpapar terorisme,” terangnya.

Kebijakan Tjahjo ini sebenarnya melawan keadilan. Pengamat terorisme dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones, khawatir pemecatan terhadap ASN bisa memicu dendam terhadap negara. Menurut Sidney, ASN justru bisa kian termotivasi menyebarkan ideologinya secara lebih agresif.

.

Karena itu ia menilai pemerintah harus bersikap adil dalam menjatuhkan sanksi. Sebab organisasi yang belakangan ditetapkan terlarang oleh pemerintah seperti Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tak sepenuhnya berideologi radikal. Itu sebabnya penting, kata Sidney, ada proses banding ketika ASN tersebut dijatuhi hukuman. “Karena kalau hanya ada keputusan saja untuk memecat dan tidak ada banding kadang-kadang tidak adil,”jelasnya.

Kebijakan Menteri Tjahjo itu adalah pelaksanaan dari SKB 11 Menteri tentang penanganan radikalisme ASN. Anggota DPR Fadli Zon, menyebut SKB 11 Menteri itu adalah bukti nyata kemunduran demokrasi di era Jokowi. Bukan hanya itu, Fadli tegas menyebut SKB tersebut berbau Islamofobia.


“Menurut saya SKB 11 Menteri adalah bukti nyata kian mundurnya demokrasi di era Presiden Joko Widodo. Bahkan SKB ini berbau “Islamophobia” dan diskriminatif karena yang jelas disasar adalah mereka yang muslim,” tegas Fadli.

Bila ditelaah kebijakan Tjahjo ini memang kontroversial. Pegawai negeri (ASN) kini tidak lagi dievaluasi serius kinerjanya, tapi dievaluasi ideologinya. Mestinya agar aparat negara ini profesional, yang ditelaah adalah kinerjanya, prestasinya, inovasinya dan semacamnya. Bukan arah ideologinya. Bila yang ditelaah adalah pegangan ideologinya, maka negara ini kembali mengikuti kebijakan Orde Lama atau Orde Baru.


Orde Lama dulu menetapkan kebijakan, mereka yang tidak setuju ide Nasakom presiden, maka akan dijebloskan penjara. Maka saat itu puluhan tokoh Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dipenjara. Organisasi yang menentang kebijakan pemerintah yang progresif revolusioner, juga dibubarkan. Partai Masyumi dan PSI saat itu kena getahnya.

Orde Baru yang merupakan antitesa Orde Lama juga tidak jauh beda. Mereka yang dianggap berbau komunis, maka akan dijebloskan penjara. Buku-buku yang dikarang tokoh komunis juga dilarang beredar.


Kini setelah 23 tahun reformasi, masyarakat kembali menghadapi teror yang serupa, teror radikalisme. Mereka yang terpapar radikalisme, bisa sewaktu-waktu ditangkap dan dipecat dari tempat kerjanya. Dan yang sangat menyedihkan teror radikalisme ini hanya ditujukan kepada umat Islam. Masyarakat ‘tidak pernah’ mendengar adanya paparan radikalisme dari kelompok non Islam.


Tjahjo Kumolo, lelaki kelahiran Solo 1 Desember 1957 ini beragama Islam. Ia mengawali karir politiknya sebagai Ketua Umum KNPI periode 1990-1993. Ia lama aktif di Partai Golkar dan kemudian pindah ke PDIP. Ketika Jokowi menjadi presiden, ia diangkat Menteri Dalam Negeri. Kini ia menjabat sebagai Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Tjahjo mengaku ibunya pernah aktif di Muhammadiyah. Di samping itu ia juga pernah haji tiga kali.

Melihat latar belakang Tjahjo, ia sebenanya tidak telalu sekuler. Ia masih menjalankan rukun agama Islam. Namun yang aneh, kenapa ia begitu getol memusuhi ASN yang terpapar radikal? Bukankah ASN itu menjalankan agamanya dengan baik dan selama mereka tidak membuat teror, mengebom atau membuat kerusuhan, sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan.


Seharusnya ASN yang dipecat atau tidak bisa naik pangkat adalah mereka yang terpapar terorisme. Bila terpapar radikalisme yang dijadikan panduan, maka menjadi bermasalah. Karena definisi radikalisme tidak jelas dan lebih bersifar subyektif. Misalnya mereka yang setuju khilafah, setuju hukum Islam diterapkan di negeri ini, setuju negara Islami, dan setuju Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dianggap radikal, maka banyak ASN yang beragama Islam menjadi ‘tersangka’.


Padahal persetujuan ASN terhadap hal-hal itu adalah wajar. MUI sendiri telah menetapkan bahwa khilafah dan jihad adalah ajaran Islam. Yang terpenting ASN tetap mengakui negara Pancasila atau NKRI, meski mereka setuju dengan negara khilafah (sebagai bukti sejarah). Dan ASN yang setuju dengan negara Islami atau negara yang menerapkan hukum Islam, seharusnya juga dimaklumi, asal perjuangannya dilakukan dengan cara konstitusional. Apalagi ASN yang suka mendengarkan penceramah yang kritis kepada pemerintah, seharusnya juga tidak perlu dipermasalahkan karena negeri ini adalah negeri demokrasi.


Sebagai umat Islam, tentu kita sedih pejabat-pejabat yang bagus Islam dan nasionalismenya harus tersingkir dari jabatannya atau tidak bisa menduduki eselon satu atau dua. Padahal mereka ini menjalankan agamanya dengan baik dan secara tidak langsung menjalankan sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bila yang diangkat jadi pejabat tinggi pemerintah adalah mereka yang sekuler atau tidak bagus Islamnya, jangan berharap Indonesia akan menjadi negara besar. Mereka yang jauh dari agama alias tidak takut kepada Tuhannya, kemungkinan besar akan terbiasa korupsi, main suap, bermaksiat, atau berhedonis ria dalam hidupnya. Apakah pejabat yang seperti itu yang diharapkan

Tjahjo? Tentu tidak. Wallahu azizun hakim.

Nuim Hidayat, Anggota MUI Depok.