Daftar Pasal Bermasalah UU Ibu Kota Baru Nusantara
Senin, 24 Januari 2022
Faktakini.info, Jakarta - Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur, Herdiansyah Hamzah menyoroti sejumlah pasal bermasalah dalam UU Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang telah disahkan DPR RI pada Selasa (18/1).
Herdiansyah menilai sejumlah pasal dalam UU IKN menyimpan sejumlah masalah, bukan saja secara secara materiil, namun juga secara formil. Ia misalnya menyoroti sejumlah pasal yang dinilai bertentangan dengan UU soal status kekhususan ibu kota negara (IKN) Nusantara.
Ada pula pasal soal kepala otorita IKN, yang setingkat menteri untuk bakal memimpin ibu kota. Begitu pula, soal mekanisme pembiayaan infrastruktur ibu kota baru yang hanya 10 persen dari APBN.
"Kalau kita klasifikasi kan itu banyak problem di sana. Tapi saya menyebutkan hal-hal relatif vital dan penting didiskusikan," kata dia kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/1/2022).
Pasal 4 Ayat 1 Soal Bentuk IKN
Herdiansyah mengkritik pasal 4 ayat 1 UU IKN terkait status kekhususan IKN Nusantara sebagai pemerintah daerah khusus. Menurut dia, status daerah khusus IKN Nusantara mestinya dibentuk melalui UU otonomi baru.
Ia terutama menyoroti frase "pemerintahan daerah khusus" dalam ayat tersebut yang berbunyi, "Otorita IKN Nusantara sebagai lembaga setingkat kementerian yang menyelenggarakan Pemerintahan Daerah Khusus IKN Nusantara".
"Yang namanya pemerintahan daerah khusus, artinya kan ini kemungkinan besar, mesti dieksekusi melalui daerah otonomi baru kan," katanya.
Menurut Herdiansyah, pembahasan soal daerah otonomi tak masuk akal jika melihat pembahasan UU IKN yang hanya dilakukan selama 43 hari.
Lagi pula, daerah otonomi khusus juga harus memenuhi sejumlah syarat seperti, kemampuan fiskal, jumlah daerah administrasi, maupun dari aspek budaya dan politik.
"Jadi kalau yang dibayangkan pembentuk UU bakal cepat itu akan memakan waktu cukup panjang. Itu problemnya yang lahir di ketentuan yang versi 18 Januari ini," katanya.
Pasal 5 Ayat 3 Soal Pemilu di IKN
Pasal 5 ayat 3 mengatur soal kekhususan pemilu di IKN Nusantara. Merujuk pasal tersebut, warga di IKN Nusantara hanya akan mengikuti pemilu tingkat nasional, yakni pemilihan presiden, DPR, dan DPD.
Menurut Herdiansyah, ketentuan tersebut bermasalah sebab menyunat hak warga dalam memilih maupun dipilih sesuatu amanat demokrasi. Dia pun menyebut pasal tersebut inkonstitusional.
"Jadi ketentuan pasal 5 ayat 3 itu juga menurut saya justru inkonstitusional, kalau bicara soal hak politik warga negara yang tiba-tiba dihilangkan begitu saja," katanya.
Pasal 9-10 Soal Status Kepala Otorita
Pasal 9 ayat 1 UU IKN mengatur soal status Kepala Otorita IKN yang diangkat langsung oleh Presiden dengan melalui konsultasi DPR.
Herdiansyah menganggap UU tersebut telah mengabaikan peran DPR dalam penujukkan pemimpin ibu kota baru. Sebab, frase "konsultasi" dalam pasal tersebut hanya bersifat masukan. Artinya, kata dia, presiden boleh mendengar atau pun tidak, hasil masukan dari DPR soal pemimpin ibu kota baru.
Pasal 9 ayat 1, kata Herdiansyah menunjukkan pemerintah semakin ingin membentuk pemerintahan sentralistik di IKN Nusantara.
"Itu yang kita anggap tetap bertumpu pada desain sentralistik dalam UU ini. Jadi fungsi kontrol setidaknya di DPR itu jadi dinihilkan," kata dia.
Begitupula di pasal berikutnya, pasal 10 soal pemberhentian Kepala Otorita IKN. Herdiansyah menilai pasal tersebut tak konsisten sebab presiden justru memiliki wewenang penuh dalam memberhentikan Kepala Otorita IKN tanpa konsultasi DPR.
Sementara, masih di pasal yang sama, UU IKN justru tak mengatur maksimal masa jabatan kepala Otorita IKN. Menurut Herdiansyah, tak ada ketentuan di UU IKN yang mengatur masa jabatan Kepala Otorita.
Ia khawatir ketentuan maksimal masa jabatan yang tidak diatur hanya akan membuka potensi lahirnya otoritarianisme. Menurut dia, pemerintah tidak belajar pada 32 tahun kepemimpinan orde baru yang pada akhirnya memicu kemarahan masyarakat lewat reformasi.
"Jadi kritik kami ketiadaan pembatasan masa kekuasaan untuk kepala otorita itu akan menjadi problem. Itu menandakan ada desain sentralistik yang sedang coba ditanamkan dalam RUU," kata dia.
Pasal 24 Ayat 1 Soal Pembiayaan
Pasal 24 ayat 1 mengatur soal mekanisme pembiayaan selama proses pemindahan dan pembangunan IKN Nusantara di Kalimantan Timur. Pasal itu menyebut dua sumber pembiayaan pembangunan IKN berasal dari APBN dan sumber lain yang sah.
Herdiansyah mengkritik pasal tersebut karena tak membatasi sumber pembiayaan dari luar APBN. Padahal mestinya, kata dia, di luar pembiayaan APBN, sumber dari swasta harus diatur dengan jelas.
Ia khawatir ketiadaan pembayaran hanya melahirkan praktik transaksaksional antara pemerintah dengan para pengusaha. Terlebih, pembiayaan IKN Nusantara akan melawan biaya tak sedikit hingga lebih dari Rp466 triliun.
"Jadi kalau kontribusi swasta sampai 90 persen tidak mungkin dia hanya investasi tanpa ada imbal balik," katanya.
Sumber: CNNIndonesia.com