Dr Abdul Chair: Surat Dakwaan Perkara Munarman Apakah Batal Demi Hukum? (1)
Rabu, 12 Januari 2022
Faktakini.info
SURAT DAKWAAN PERKARA MUNARMAN APAKAH BATAL DEMI HUKUM? (BAGIAN 1)
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Ahli Hukum Pidana)
Prolog
Surat Dakwaan menempati posisi sentral dan strategis dalam pemeriksaan perkara pidana di Pengadilan. Surat Dakwaan merupakan penataan konstruksi yuridis yang memuat fakta-fakta perbuatan dengan pemenuhan unsur-unsur tindak pidananya secara objektif. Sejalan dengan itu, Pasal 143 Ayat 2 huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mensyaratkan bahwa Surat Dakwaan harus berisikan uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu (tempus delicti) dan tempat tindak pidana (locus delicti) itu dilakukan. Pada Ayat 3 disebutkan bahwa Surat Dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat 2 huruf b adalah “batal demi hukum” (nietigheid van rechtswege).
Sebagaimana diketahui Munarman didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun secara alternatif. Pertama: Pasal 14 Jo Pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang Jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (untuk selanjutnya disebut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme), atau Kedua: Pasal 15 Jo Pasal 7 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, atau Ketiga: Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Perlu disampaikan bahwa dengan telah dilakukannya perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, maka seharusnya Penuntut Umum tidak lagi menggunakan ketentuan yang telah mengalami perubahan (in casu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003). Disini berlaku asas “lex posterior derogat legi priori”, hukum yang terbaru (lex posterior) mengesampingkan hukum yang lama (lex prior). Dalam kaitan itu, menurut Pasal 1 Ayat 2 KUHP apabila ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap Terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya. Dilihat dari unsur-unsur delik dan ancaman hukumannya, maka yang lebih menguntungkan adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Berikut di bawah ini disajikan hasil kajian terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum yang diterapkan terhadap Munarman, tentunya dengan argumentasi yuridis. Analisis terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum menyangkut persyaratan materiil, penulis menggunakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang.
Analisis Dakwaan Pertama: Pasal 14 Jo Pasal 7 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Rumusan Pasal 14 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menunjuk pada orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme. Selengkapnya Pasal 14 berbunyi:
“Setiap Orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A.”
Orang yang menggerakkan orang lain yang dimaksudkan disini adalah seseorang yang terkualifikasi sebagai “aktor intelektual” (intellectual dader) sebagaimana dimaksudkan dalam Penjelasan Pasal 14. Adapun yang dimaksud dengan “menggerakkan” antara lain melakukan “hasutan dan provokasi, memberikan hadiah, uang, atau janji.”
Sebagai aktor intelektual yang menggerakkan orang lain, perbuatannya telah ditentukan secara alternatif yakni melakukan “hasutan” dan “provokasi”, memberikan “hadiah”, “uang”, atau “janji”. Dengan demikian aktor intelektual mencakup dua bentuk subjek delik yakni, pertama “penghasut” dan “provokasi” (aanstichter/provocateur) dan kedua sebagai “penganjur” (uitlokker). Permasalahan dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak ada uraian secara cermat, jelas dan lengkap terkait dengan “penghasutan” dan “provokasi” guna “menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme”. Hal yang sama dalam tindakan “penganjuran”, tidak ada uraian secara cermat, jelas dan lengkap terkait dengan “pemberian hadiah”, “uang”, atau “janji” dalam kaitannya dengan unsur “menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme”. Begitupun menyangkut tentang “waktu” (tempus) dan “tempat” (locus) tindak pidana yang didakwakan, kapan dan dimana yang bersangkutan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme? Apakah perbuatan yang dilakukan oleh orang lain sebagaimana disebut dalam Surat Dakwaan ada hubungan sebab akibat (kausalitas) dengan materi ceramah yang disampaikan Munarman? kesemuanya itu tidak didapatkan dalam Surat Dakwaan.
Dalam kaitannya dengan Pasal 7, maka semua unsur yang terkandung harus pula dikaitkan dengan perbuatan pidana yang terjadi sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 14. Pasal 7 menyatakan:
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.”
Frasa “dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan” yang kemudian diikuti dengan frasa “bermaksud untuk menimbulkan” menunjukkan bahwa corak (gradasi) kesengajaan adalah dalam bentuk “dengan maksud” (als oogmerk). Penting untuk disampaikan, jika ketentuan delik dalam Pasal 7 dijuctokan dengan Pasal 14, maka kesemua unsur Pasal 7 harus nyata adanya perbuatan konkrit dan timbulnya akibat. Disini menjadi pertanyaan dimana letak keterhubungan perbuatan orang yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 7 dengan dakwaan menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 14. Tidak ada dijumpai uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan terkait adanya suatu akibat konkrit berupa timbulnya “suasana teror” atau “rasa takut terhadap orang secara meluas” atau “menimbulkan korban yang bersifat massal” atau ”timbulnya kerusakan” atau “kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis”, atau “lingkungan hidup”, atau “fasilitas publik”, atau “fasilitas internasional”. Tidak pula ada disebutkan uraian tentang upaya “menggerakkan orang lain” untuk melakukan “kekerasan” atau “ancaman kekerasan”. Dalam kaitan itu, dakwaan tidak pula menyebutkan “waktu” (tempus) dan “tempat” (locus) tindak pidana yang didakwakan terkait adanya perbuatan dan akibat konkrit sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7.
Perihal hasutan dan provokasi mengharuskan adanya dua pihak, yakni “penghasut” dan “terhasut”. Penghasutan dianggap ada jika ada dua pihak tersebut. Perbuatan si terhasut harus terhubung dengan maksud si penghasut dan harus ada akibat yang memang dikehendaki oleh penghasut. Pada delik penghasutan/provokasi harus demikian nyata ujaran penghasutannya. Ujaran penghasutan yang konkrit tersebut terhubung pada kelakuan seorang terhasut untuk mewujudkan perbuatannya. Dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak ada uraian uraian secara cermat, jelas dan lengkap terkait dengan dua pihak tersebut, termasuk kausalitasnya.
Jakarta, 12 Januari 2022.