Dr Abdul Chair: Surat Dakwaan Perkara Munarman Apakah Batal Demi Hukum? (2)

 



Rabu, 12 Januari 2022

Faktakini.info 

SURAT DAKWAAN PERKARA MUNARMAN APAKAH BATAL DEMI HUKUM? (BAGIAN 2)

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.

(Ahli Hukum Pidana)

Analisis Dakwaan Kedua: Pasal 15 Jo Pasal 7 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan sebagai berikut: 

“Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, persiapan, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A.”


Rumusan perbuatan pidana pada Pasal 15 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bersifat alternatif. Keberlakuan penerapannya harus sesuai dengan peristiwa konkrit yang terjadi apakah dalam bentuk “permufakatan jahat”, “persiapan”, “percobaan”, atau “pembantuan” yang dikaitkan dengan Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 10A, Pasal 12, Pasal 12A, Pasal 12B, Pasal 13 huruf b dan huruf c, dan Pasal 13A. Dengan demikian harus ditentukan peristiwa konkrit apa yang terjadi dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15. Apakah dalam bentuk “permufakatan jahat”, atau “persiapan”, atau “percobaan”, atau “pembantuan”. Masing-masing perbuatan tersebut memiliki kriteria tertentu dan tentunya berbeda antara satu dengan lainnya. Surat Dakwaan Penuntut Umum terhadap Munarman tidak ada uraian yang cermat, jelas dan lengkap menyangkut terjadinya “permufakatan jahat”, “persiapan”, “percobaan”, atau “pembantuan”. Dalam keterkaitannya dengan Pasal 7, maka semua unsur yang terkandung harus pula dikaitkan dengan perbuatan pidana yang terjadi sebagaimana dimaksudkan pada Pasal 15 yang bersifat alternatif. Pasal 7 menyatakan: 

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.”

Frasa “dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan” yang kemudian diikuti dengan frasa “bermaksud untuk menimbulkan” menunjukkan bahwa corak (gradasi) kesengajaan adalah dalam bentuk “dengan maksud” (als oogmerk). Penting untuk disampaikan, jika ketentuan delik dalam Pasal 7 dijuctokan dengan Pasal 15, maka kesemua unsur Pasal 7 harus nyata adanya perbuatan konkrit dan timbulnya akibat. Dalam kaitan ini tidak ada uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan terkait adanya suatu akibat konkrit berupa timbulnya “suasana teror” atau “rasa takut terhadap orang secara meluas” atau “menimbulkan korban yang bersifat massal” atau ”timbulnya kerusakan” atau “kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis”, atau “lingkungan hidup”, atau “fasilitas publik”, atau “fasilitas internasional”. Tidak ada disebutkan kejadian “kekerasan” atau “ancaman kekerasan” tersebut dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum. Dalam kaitan itu, dakwaan tidak pula menyebutkan “waktu” (tempus) dan “tempat” (locus) tindak pidana yang didakwakan terkait adanya perbuatan dan akibat konkrit sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 dan keterkaitannya dengan Pasal 15. Kapan dan dimana dilakukannya “permufakatan jahat”, “persiapan”, “percobaan”, atau “pembantuan” untuk melakukan tindak pidana terorisme? Demikian itu tidak terdapat dalam Surat Dakwaan. Kondisi demikian menyebabkan Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan.

Jakarta, 12 Januari 2022.