Dr Abdul Chair: Surat Dakwaan Perkara Munarman Apakah Batal Demi Hukum? (3-End)

 




Rabu, 12 Januari 2022

Faktakini.info 

SURAT DAKWAAN PERKARA MUNARMAN APAKAH BATAL DEMI HUKUM? (BAGIAN 3)

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.

(Ahli Hukum Pidana)

Analisis Dakwaan Ketiga: Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyatakan sebagai berikut:

“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan: 

c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.”

Perihal “bantuan” atau “kemudahan” dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak pula mengandung kecermatan, kejelasan dan kelengkapan. Perbuatan yang dimaksudkan apakah dalam bentuk bantuan atau kemudahan. Perihal bantuan atau kemudahan berkorespondensi dengan pelaku tindak pidana terorisme. Dalam kaitan ini Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak menguraikan keterhubungan antara bantuan atau kemudahan dengan pelaku tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Patut dicatat, Pasal 13 huruf c merupakan bentuk khusus (lex specialis) dari Pasal 15. Pasal 15 juga mengatur tentang perihal pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme dengan menyebut Pasal 13 huruf b dan huruf c. Pasal 13 huruf c menyebutkan terlebih dahulu adanya “seseorang yang dengan sengaja” dan kemudian disebut sebagai “pihak yang memberikan bantuan” atau “kemudahan” kepada pelaku tindak pidana terorisme dengan “menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme.” Disini harus ada perbuatan tindak pidana terorisme. 

Terkait dengan perkara a quo, maka dipertanyakan, apa tindak pidana terorisme yang secara konkrit terjadi? Penuntut Umum tidak menjelaskan secara cermat, jelas dan lengkap tentang bentuk tindak pidana terorisme yang terjadi tersebut, dan siapa yang melakukannya? Termasuk pula menyangkut “waktu” (tempus) dan “tempat” (locus) tindak pidananya.

Penting untuk disampaikan, ketika Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme digunakan sebagai salah satu dakwaan alternatif, maka konsekuensinya – dalam perkara a quo – rumusan Pasal 13 huruf c harus bersintuhan dengan dakwaan lainnya yakni Pasal 7. Dengan demikian unsur “menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme” menunjuk pada adanya perbuatan “penggunaan kekerasan” atau “ancaman kekerasan” yang dibuktikan dengan adanya akibat berupa “timbulnya suasana teror” atau “rasa takut terhadap orang secara meluas” atau “timbulnya korban yang bersifat massal” dengan cara “merampas kemerdekaan” atau “hilangnya nyawa” atau “harta benda orang lain”, atau “timbulnya kerusakan” atau “kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis”, atau “lingkungan hidup”, atau “fasilitas publik”, atau “fasilitas internasional”. Perbuatan dan akibat yang bersifat alternatif itu harus diuraikan dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum. Ternyata Penuntut Umum tidak pula menguraikannya dalam Surat Dakwaan. 

Kemudian apa hubungannya dengan seseorang yang dianggap telah menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme. Oleh karena itu, Pasal 13 huruf c sudah demikian jelas menyebutkan perbuatan dalam bentuk “bantuan” atau “kemudahan” terhadap pelaku tindak pidana terorisme. Dengan demikian harus tergambar keterhubungan antara bantuan atau kemudahan dengan perbuatan konkrit yang terjadi. Demikian itu tidak pula tampak dalam Surat Dakwaan Penuntut Umum. 

Ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menegaskan adanya perbuatan dengan unsur memberikan “bantuan” atau “kemudahan” terhadap pelaku tindak pidana terorisme dengan cara menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme. Dalam Penjelasan Pasal 13 disebutkan yang dimaksud dengan “bantuan” adalah “tindakan memberikan bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan”. Adapun yang dimaksud dengan “kemudahan” adalah tindakan memberikan bantuan setelah tindak pidana dilakukan. 

Oleh karena terdapat adanya perbedaan apa yang dimaksud dengan “bantuan” dan “kemudahan” dalam Pasal 13, maka harus ditentukan secara objektif apakah “bantuan” atau “kemudahan” secara spesifik dan konkrit. Hal tersebut mengikat Penuntut Umum dalam uraian fakta Surat Dakwaannya. Disini Penuntut Umum tidak menjelaskan perbuatan apa yang sebenarnya terjadi dan menjadi dalil dalam dakwaannya, baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan. Termasuk dalam hal setelah tindak pidana dilakukan. 

Epilog

Sejatinya penerapan dakwaan alternatif memiliki karakteristik dan persyaratan tertentu. Karakteristik dakwaan alternatif adalah memang saling mengecualikan dan memberi pilihan kepada Hakim untuk menentukan dakwaan manakah yang paling tepat untuk dipertanggungjawabkan. Namun demikian, terdapat syarat bahwa dalam dakwaan alternatif, beberapa pasal yang didakwakan berada dalam “persintuhan” dua atau beberapa pasal tindak pidana yang saling berdekatan corak dan ciri kejahatannya.

 Namun peristiwa pidana itu tidak sampai menimbulkan titik sintuh ‘perbarengan’ (concurcus). Surat Dakwaan pada perkara Munarman telah menimbulkan ketidakjelasan. Dikatakan demikian oleh karena tidak memperlihatkan adanya persintuhan sebagaimana dimaksudkan. Terlebih lagi masuknya Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, padahal Pasal 14 tersebut telah diubah melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. 

Dakwaan juga tidak menjelaskan adanya keterhubungan antara perbuatan (actus reus) dengan kesalahan (mens rea). Demikian pula aspek kausalitasnya tidak terjabarkan dalam uraian fakta Surat Dakwaan.  Kesemuanya itu menunjukkan Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak memenuhi syarat materiil. 

Tegasnya tidak cermat, tidak jelas dan tidak lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dan itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 143 Ayat 2 huruf b KUHAP.  Dengan demikian seyogyanya Pengadilan menyatakan bahwa Surat Dakwaan Penuntut Umum dalam perkara Munarman “batal demi hukum”.

Jakarta, 12 Januari 2022.