Setelah Deislamisasi, Kini Dehabibisasi
Senin, 3 Januari 2022
Faktakini.info
Pakar politik dari Australia ini kecewa. Ia yang dulu mengharap Jokowi akan membawa Indonesia menjadi demokratis, kini berubah. Greg Fealy, profesor dari Australian National University (ANU) ini dengan terang-terangan menuding Presiden Jokowi anti Islam. Ia mengevaluasi pemerintahan Presiden Jokowi dalam empat tahun ke belakang. Greg dikenal sebagai pengamat politik Indonesia yang mumpuni.
Tulisan kritis Greg ini dimuat di situs East Asia Forum pada 27 September 2020. Artikel ini diambil dari makalah terbarunya berjudul, “Jokowi in the COVID-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and Over-Bearing State“.
“Selama empat tahun terakhir, pemerintah Presiden Indonesia Joko ‘Jokowi’ Widodo telah melakukan kampanye penindasan terpadu dan sistematis terhadap kaum Islamis. Ini mungkin kabar baik bagi mitra barat Indonesia, terutama Australia, di mana survei-survei berulang kali menunjukkan bahwa banyak orang takut akan meningkatnya konservatisme dan militansi Islam Indonesia,” tulis Greg dalam makalahnya.
Greg menyatakan Australia dan negara lain harusnya prihatin terhadap kebijakan anti-Islamis ini.
“Karena hal itu mengikis hak asasi manusia, merusak nilai-nilai demokrasi, dan dapat menyebabkan reaksi radikal terhadap apa yang dilihat sebagai antipati negara berkembang terhadap Islam,” tulisnya.
Kebijakan anti Islamis yang diambil Jokowi ini terlihat kentara sekali, dengan ‘perintahnya’ untuk membubarkan HTI, FPI, penangkapan ulama dan aktivis-aktivis Islam serta program antiradikalismenya yang menyasar kemana-mana.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo menerjemahkannya dengan melakukan deradikalisasi terhadap pejabat ASN eselon 1 dan 2. Mereka (istri atau suami) yang terlibat dalam medsos pro terhadap orang atau organisasi yang dianggap radikal oleh pemerintah, maka tidak akan naik menjadi pejabat eselon 1 dan 2.
Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas menerjemahkannya dengan memasang pohon natal di depan kantor Kemenag pusat. Sebuah aksi sebagai simbol moderatisme. Menteri Agama sebelumnya telah mengganti penceramah-penceramah di masjid-masjid BUMN atau pemerintah, dengan dai-dai yang pro pemerintah.
Yaqut mengatakan, “Ini waktunya kita membuktikan bahwa Kementerian Agama ini bukan hanya Kementerian Agama. Tapi Kementerian semua agama. Sehingga yang disebut oleh Gus Dur ya ini, pasar agama-agama ini ada di Kementerian Agama. Tidak ada perbedaan, tidak ada diskriminasi semua agama ada di Kementerian ini.”
Agama, kata Yaqut, merupakan inspirasi bukan aspirasi. “Kita tunjukkan kepada publik, Saya katakan kemarin di Istana Negara dan tadi juga Saya sampaikan kepada bapak Presiden, saya hanya ingin menjadikan melalui Kementerian Agama ini, saya ingin menjadikan agama ini sebagai inspirasi, bukan aspirasi. Itu kalau di breakdown akan luar biasa, agama sebagai inspirasi bukan aspirasi,” kata Yaqut (23/12/2020).
Program moderatisme (antiradikalisme) Jokowi juga terlihat dengan pengangkatan Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset Teknologi. Pernikahan Nadiem dengan istrinya yang Katolik, diharap bisa dijadikan teladan dalam pendidikan di Indonesia. Atau setidak-tidaknya masyarakat Islam Indonesia tidak fobia terhadap pernikahan antar agama. Jokowi dan timnya nampak tidak peduli dengan kebiasaan presiden-presiden sebelumnya yang mengangkat menteri pendidikan dari organisasi Muhammadiyah.
Program moderatisme Jokowi ini juga dilakukan di kepolisian, TNI, dan kementerian-kementerian lainnya.
Dalam bidang ekonomi seolah-olah istana pro ekonomi syariah. Tetapi bila diteliti lebih dalam, program ekonomi syariah ini juga banyak dinikmati kelompok oligarki.
Dehabibisasi
Yang melontarkan adanya dehabibisasi ini pertama kali adalah anggota DPR dari PKS, yaitu Mulyanto. Ia menyatakan dua tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf di bidang riset dan inovasi ditandai dengan maraknya pembubaran kelembagaan Iptek Nasional. Beberapa lembaga Iptek strategis seperti Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek), Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT), Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) dan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) dibubarkan.
Ia menyatakan bahwa selama berkuasa Jokowi sedang melakukan proyek dehabibienisasi (dehabibisasi) yakni menghapus jejak, karya dan kelembagaan teknologi yang hasilkan begawan Iptek Prof. Dr. BJ Habibie.
Mulyanto kecewa dengan sikap Jokowi. Ia menilai seharusnya pemerintah menjaga dan meneruskan hal baik yang sudah dibangun oleh Habibie bukan malah menghapus dan membongkar bangunan Iptek Nasional yang susah payah didirikan selama ini.
“Pemerintah harusnya mengakui bahwa jasa Prof. Dr. BJ Habibie dalam pengembangan Iptek Nasional sangat besar. Habibie secara massif berhasil membangun struktur teknologi (techno-structure) Iptek nasional, baik berupa pengembangan sumber daya manusia (human ware), peralatan (technoware), kelembagaan (orgaware) maupun jaringan (infoware). Semua itu berujung pada beroperasinya BUMN Industri Strategis (BUMNIS) sebagai wahana kekuatan anak bangsa untuk memproduksi peralatan hankam dan sipil canggih mulai dari pesawat, kapal, tank, senjata, peledak, baja, industri berat sampai elektronik,” kata Mulyanto.
Kini semua lembaga riset itu diganti dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), yang Ketua Dewan Pengarahnya Megawati. “Yang merupakan ketua umum parpol dan tidak memiliki reputasi di dunia Iptek,”jelas Mulyanto.
Selain itu Mulyanto mempermasalahkan Pemerintah yang membubarkan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), yang dilebur ke dalam BRIN.
Kini Lembaga Biologi Molekuler Eijkman pun dilebur ke BRIN. Akibatnya 90 ahli-ahli riset non-PNS itu menjadi tidak jelas statusnya. Hanya 30 orang yang jelas statusnya karena PNS. Perubahan besar di Eijkman ini ramai diperbincangkan di media sosial.
Melihat fenomena ini, aktivis medsos Muhammad Said Didu menulis, ”Bapak Menko Perekonomian RI yth, puluhan trilyun dana bapak alokasikan untuk “menggaji pengangguran” lewat kartu pra kerja. Tapi pada saat yang sama terjadi “PHK” ribuan tenaga kerja yang sudah mengabdi puluhan tahun di lembaga yang dikoordinasikan oleh BRIN. Adilkah?”
Walhasil, memang pemerintahan saat ini tidak memihak kepada umat Islam yang merupakan mayoritas di negeri ini. Dan nampaknya umat Islam harus sabar sampai 2024. Wallahu azizun hakim.
Nuim Hidayat, Anggota MUI Depok.
Sumber: suaraislam.id