Khozinudin: PANCASILA, 404 : NOT FOUND?
Rabu, 2 Februari 2022
Faktakini.info
*PANCASILA, 404 : NOT FOUND ?*
Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*
Ketua Umum KPAU
Tulisan ini bukanlah resensi buku, meski memang dibuat sebagai pengantar pada acara bedah buku karya Prof Suteki, Guru Besar Hukum dan Masyarakat di Universitas Diponegoro Semarang. Sekira dua atau tiga hari yang lalu, Prof Suteki mengirimkan Buku dengan judul 'PANCASILA, 404 : NOT FOUND?' dan meminta saya untuk ikut dalam diskusi Zoom Online untuk membedah buku tersebut.
Entah apa yang melatarbelakangi Prof Suteki memberi judul buku 'PANCASILA, 404 : NOT FOUND?'. Kalau dirujuk peristiwa beberapa waktu yang lalu, redaksi '404 : NOT FOUND' menjadi berita viral saat ditemukannya gambar mural dengan penampakan seorang pria mirip Presiden Joko Widodo dan dibagian wajahnya terdapat tulisan '404 : NOT FOUND?'.
Dalam dunia internet, redaksi '404 : NOT FOUND?' biasanya muncul pada laman atau situs yang tautannya di klik tapi tidak muncul. Kode tersebut mengkonfirmasi bahwa laman tidak ada, atau telah dihapus, atau laman bodong.
Kritik Mural 'Jokowi 404 : Not Found' secara smiotik bisa dimaknai segala janji politik dari kampanye Pilpres Jokowi tidak ditemukan, atau tidak hadir dalam kebijakan nyata. Rakyat tidak menemukan realitas janji Buy Back Indosat, Kartu Kartuan, tidak akan import, tidak akan utang, Duit Rp 11.000 T, hingga soal mobil SMK.
Mungkin saja, refleksi terhadap Jokowi Not Found itu memberikan inspirasi kepada Prof Suteki menulis buku dengan judul 'PANCASILA, 404 : NOT FOUND?'. Pertanyaan selanjutnya, apakah Pancasila hanya jargon politik seperti janji-janji Jokowi saat kampanye Pilpres ? Apakah, norma Pancasila tidak ditemukan di kehidupan nyata ? apakah Pancasila benar-benar not found ?
Prof Suteki adalah pengajar mata kuliah Pancasila bahkan sudah seperempat abad (25 tahun). Sayangnya, pengajar Pancasila ini sempat dilucuti sejumlah jabatannya di Undip hanya dengan tuduhan radikalisme, Anti Pancasila. Sebuah tuduhan yang keji bagi seorang yang telah mendedikasikan dirinya mengajar Pancasila hingga 25 tahun.
Tanpa mengaitkan dengan konteks 'lakon' yang dialami oleh Prof Suteki, nampaknya Begawan Hukum Undip ini sepertinya ingin menguji kembali apakah teori yang dipelajari dan diajarkannya di kampus, telah hadir atau membumi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meski agak sedikit sentimentil, buku ini ditegaskan oleh penulisnya bukanlah sebuah pledoi.
Buku ini ingin mengupas dan menjawab sejumlah teori dan norma yang berkaitan dengan :
*Pertama,* Pancasila sebagai Pandangan Hidup (way of life) dalam bidang kehidupan bermasyarakat;
*Kedua,* Pancasila sebagai Ideologi Nasional dalam bidang kehidupan berbangsa;
*Ketiga,* Pancasila sebagai Dasar Negara dalam bidang kehidupan berpemerintahan negara;
dan
*Keempat,* Pancasila sebagai The Margin of Appreciation dalam bidang kehidupan mondial atau internasional.
Saya tidak akan menuliskan ikhtisar buku tersebut, karena tulisan ini bukanlah tulisan resensi. Namun, substansi 'PANCASILA, 404 : NOT FOUND' dapat kita tangkap dari uraian Prof Suteki yang tertulis di halaman 340 bukunya, sebagai berikut :
_"Pancasila akhirnya hanya berfungsi sebagai stempel kekuasaan yang cenderung ingin mengatakan bahwa Saya Pancasila yang identik dengan slogan Saya Adalah Negara atau Negara Adalah Saya (L’etat C’est Moi)."_
_"Dari slogan ini berakibat ketika ada orang berlawanan dengan Saya maka itu berarti berlawanan dengan negara dan Pancasila. Hukum sudah tidak dianggap lagi sebagai panglima meski negara ini mendeklarasikan dirinya sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945). *Lalu tampillah politik sebagai godam penguasa untuk mempertahankan status quo.*"_
_"Maka akhirnya
yang berlawanan itu akan dianggap sebagai musuh dan oleh karenanya mesti disingkirkan dengan cara yang seolah legitimate padahal yang sedang berlangsung adalah ritual otoritarianisme. *Di situlah kriminalisasi politik tengah berlangsung dengan tujuan utama “memenjarakan” lawan yang lantang berteriak perbedaan dalam klaim demokrasi.*"_
_"Lalu di mana Pancasila yang nilai-nilai luhurnya sudah dikaji keutamaannya untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa ini Nilai itu hanya sekedar menjadi macan kertas belaka. Akhir skenario ini dapat ditebak bahwa negara hukum Indonesia hendak dipaksa berubah arah menjadi negara kekuasaan dan ini berarti menjawab pertanyaan kritis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt: How Democracies Die."_
Rasanya, akan menjadi lebih menarik jika pembaca membaca sendiri bukunya. Saya tidak tahu, harus memesan atau membeli kemana buku keren karya Prof Suteki ini.
Namun, hari ini Rabu 2 Februari 2022, mulai Jam 09.00, insyaallah saya diundang menjadi salah satu penanggap buku beliau. Acaranya dalam bentuk diskusi zoom yang disiarkan secara live di kanal YouTube Profesor Suteki. [].