AML Lampung Kembali Datangi Mabes Polri, Laporkan Yaqut Kasus Dugaan Penodaan Agama
Selasa, 15 Maret 2022
Faktakini.info, Jakarta - Aliansi Masyarakat Lampung (AML), kembali mendatangi Mabes Polri untuk melaporkan dugaan penodaan agama oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Kaumas,
Sebelumnya Ibu Merry yang mewakili AML telah melaporkan Yaqut Cholil Kaumas, ke Mabes Polri, Jum'at malam (11/3/2022). Dan kini datang kembali setelah melengkapi berkas yang kurang.
Merry, S.Ag, mewakili AML sebagai pelapor, kembali datang dengan didampingi Penasihat Hukum Gunawan Pharrikesit.
Merry sebelumnya mengatakan pelaporan didasari ucapan Yaqud yang memisalkan lafal Allah SWT, dengan gonggongan anjing.
"Seperti yang sudah kita ketahui bersama dan viral, bahwa Pak Yaqud dalam video yang disiarkan dimedia masaa, mendasari surat edaran tentang mengatur volume adzan dengan maksimal 100 desibel. Yaqud memisalkan suara adzan yang mengganggu dengan suara gonggongan anjing", ujarnya.
Semantara itu, Penasihat Hukum pelapor, Gunawan Pharrikesit, menyatakan Yaqut Cholil, yang juga seorang Mentri Agama Republik Indonesia patut diduga telah melakukan penodaan agama dan melanggar pasal 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
"Pada pasal 156a, menerangkan bahwa barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia", tuturnya.
Seperti yang sudah menjadi konsumsi publik dan sangat viral, lanjutnya, bahwa Yaqud telah mengeluarkan pernyataan dimuka umum yang melukai umat dengan memisalkan adzan dengan gonggongan anjing, saat diwawancari wartawan perihal surat edaran No.5 Tahun 2022, tentang pengaturan suara adzan.
"Yang kami persoalkan bukanlah surat edarannya, namun narasi yang dilontarkan Pak Yaqud Colil, tentang permisalan adzan dengan suara anjing yang jelas merupakan hewan paling najis menurut Agama Islam", lanjut Pharrikesit.
Gunawan Pharrikesit juga menyampaikan, bukti laporan yang diajukan berupa plasdist rekaman pernyataan Yaqud dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dari hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI ke-7, di Jakarta pada tanggal 9-11 November 2021.
"Pada Ijtima ketujuh yang dihadiri Pimpinan Dewan Pimpinan Pusat MUI, ketua dan Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Dewan Pimpinan MUI Provinsi di Indonesia, Ormas Islam, pondok pesantren, dan unsur lainnya, merumuskan 17 point diantaranya tentang kriteria penodaan agama," ungkap Gunawan.
Penodaan Agama yang dilakukan Yaqud Cholil, masuk dalam fatwa (ketentuan hukum) hasil Ijtimah Ulama Komisi Fatwa MUI ke-7 pada konsideran Ketentuan Hukum point 1 (satu), bahwa Kriteria dan batasan tindakan yang termasuk dalam kategori perbuatan penodaan dan penistaan agama Islam adalah perbuatan menghina, menghujat, melecehkan dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan.
"Pada point satu Ketentuan Hukum tersebut, pada huruf f jelas menyatakan yang dimaksud adalah: Simbol-simbol dan/atau syiar agama yang disakralkan seperti Ka’bah, Masjid, dan adzan".
Sedangkan point 2 (dua) huruf (c) berbunyi: Termasuk dalam tindakan Penodaan Agama sebagaimana disebut dalam angka (1) adalah perbuatan yang dilakukan namun tak terbatas dalam bentuk : c; Pernyataan dan ucapan di muka umum dan media
"Ada lagi pada angka empatnya berbunyi: Terhadap perbuatan menghina, menghujat, melecehkan dan bentuk-bentuk perbuatan lain yang merendahkan agama, keyakinan dan simbol dan/atau syiar agama yang disakralkan agama harus dilakukan penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,".
Perihal laporan tersebut, Gunawan Pharrikesit menginformasikan bahwa pihak Mabes Polri, meminta leges fatwa tersebut, serta meminta saksi ahli bahasa dalam pelaporan.
"Disini uniknya, belum pernah ada pelapor suatu tindak pidana harus menyertakan saksi ahli sebagai bahan pelaporan. Keterangan ahli itu sebagai sebuah alat bukti sebagaimana diatur dalam KUHAP, artinya bukan pada ranah pelaporan namun ranah beracara pidanya yaitu dipengadilan", katanya.
Selain itu, lanjutnya, Keterangan ahli dapat diberikan oleh ahli atas permintaan penyidik, atau permintaan Jaksa, atau atas permintaan terdakwa/kuasa hukumnya. Artinya, itu dilakukan bukan saat dilakukannya pelaporan.
"Maka jelas sekali keterangan ahli merupakah alat bukti yang dipergunakan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan proses persidangan di pengadilan. Bukan pelaporan. Ingat ya, bukan saat pelaporan. Jadi pihak Mebes Polri juga harus jeli."
Atau berikan dasar hukumnya, tegas Gunawan, dimana aturan yang menyatakan tahap pelaporan maka pelapor wajib menyertakan saksi ahli terhadap tindak pidana yang dilaporkan.
"Aneh, karena pihak Mabes Polri saat kami membuat laporan, tidak bisa menunjukan aturan tersebut. Karenanya jangan terjadi diskriminasi. Substansi keterangan ahli adalah menjadi kewenangan penyidik untuk menilainya pada tingkat penyidikan, dan pada tingkat penuntutan adalah kewenangan jaksa, sementara pada tingkat pengadilan hakimlah yang menilai kekuatan pembuktian keterangan ahli. Tidak ada yang menyatakan pada tingkat pelaporan", tutupnya.
Klik video: