Damai Lubis: Putusan Majelis Hakim Unlawful Killings 6 Mujahid KM .50 Mirip Sebuah Pleidooi

 




Ahad, 20 Maret 2022

Faktakini.info 

*Putusan Majelis Hakim unlawful killing 6 Mujahid KM .50 Mirip Sebuah Pleidooi*

Oleh Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212 

Briptu Fikri dan Ipda M. Yusmin dua anggota polisi perkara Unlawful Killing 6 Anggota eks Laskar FPI  oleh PN. Jaksel divonis bebas pada Jumat, Tanggal 18 Maret 2022

Dan didapat Informasi pertimbangan - pertimbangan hukum Majelis Hakim terkait bebasnya putusan kepada para terdakwa perkara unlawful killing 6 orang pengawal Habib Rizieq Shihab/ HRS, antara lain :

" Atas dakwaan itu, majelis hakim berpendapat seluruh unsur dalam dakwaan primer jaksa terbukti, tetapi perbuatan itu merupakan upaya membela diri. Dengan demikian, kedua polisi tersebut tidak dapat dihukum, sehingga dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Selanjutnya hakim juga menimbang perbuatan para terdakwa untuk membela diri..." 

Maka secara hukum Majelis Hakim dalam putusannya tersebut " seperti " bernarasi pleidooi seorang pengacara " sehingga nampak kesulitan dalam meramu pertimbangan hukum putusannya yang jika diamati dengan seksama menjadi dualisme atau ambivalen "  tidak berkwalitas, tidak teliti justru berkesan tidak objektif, imparsial karena jika diamati dari kacamata hukum sebuah keputusan yang aneh,  majelis hakim bak pengacara " dari para terdakwa karena isi daripada pertimbangan - pertimbangannya dirasa amat subjektif sehingga bunyi amar putusan yang dihasilkan tidak proposional, tidak kredibel, latar belakang pertimbangan hukumnya hanya berdasarkan kajian unsur - unsur yang tidak luas , bahkan nalar hukum majelis hakim amat sempit, tidak kredibel atau seperti disengaja mengkerdilkan tentang asas atau prinsip hukum *" setiap orang yang melakukan kejahatan patut dihukum " .*  Maka menghasilkan pola kerja yang tidak profesional, tentu hasil pertimbangan putusannya tidak objektif, dan tidak akuntabel, sehingga  jauh dari rasa keadilan atau gerechtigheid dan oleh sebab hukum, putusan jauh dari kepastian hukum ( rechtmatigheit ).

Adapun alasan dalil hukumnya daripada pendapat hukum yang menyatakan tidak memenuhi rasa keadilan serta tidak berkepastian hukum oleh karena ; Dalam amarnya terdapat pertimbangan hukum yang tumpang tindih ( overlapping ). Hal tumpang tindih ini dapat dicermati bahwa didalam amar putusannya Majelis Hakim menyatakan ; " unsur dakwan primer jaksa terbukti, tetapi perbuatan itu merupakan upaya membela diri. " 

Inilah yang tumpang. tindih,  ambivalen membuat putusan tidak profesional, malah membuat bingung masyarakat pemerhati dan para pencahari keadilan, sehingga  pandangan para pemerhati dari akademisi hukum sekelas Prof Suteki dan para ahli hukum lainnnya wajar bila mempertanyakan fungsi demi keadilan dari sudut pandang normatif hukum. Atau apakah ada kekuatan politis yang melatar belakangi putusan sehingga putusan " absurd ?"

Oleh sebab pertimbangan hukum yang majelis hakim buat ini tidak selayaknya menjadi sebuah karya dari Para Hakim yang mumpuni nalar hukumnya, maka amar putusan ini sangat tidak proposional, tidak akuntabel dan tidak kredibel

Apa dalil sumber dalil narasi hukum terkait Majelis tidak teliti, kurang nalar ( kajian ) hukumnya ? oleh sebab Majelis Hakim setelah dicermati lebih mendalam tentang vonis putusannya seolah melupakan atau meniadakan makna terkait asas hukum tentang delik culfa atau tindak pidana oleh sebab lalai. Karena culfa atau terkait lalai ini adalah sebuah perbuatan awal mula yang menimbulkan delik atau tindak pidana terjadi ? oleh sebab didalam putusan tertera pertimbangan berdasarkan keterangan para pelaku/ para terdakwa yang  menyatakan bahwa Para Terdakwa yang nota bene anggota polri tidak membawa perlengkapan  borgol ? Bukan kah hal sekalipun jika itu benar perbuatan lalai akan tetapi mengakibatkan kematian atau hilangnya nyawa orang lain dapat dihukum ?

Tentang alasan lain tidak luas kajian atau sempit nalar hukum ( tidak berkwalitas ) tidak kredibel, oleh sebab mengapa majelis tidak mempertimbangkan perihal yang amat penting tentang tugas para pelaku yang tidak bisa terlepas dari asas hukum notoire feiten derogat, dengan dimaknai oleh karena adanya hal - hal bukti yang sudah diketahui  sepengetahuan umum berdasarkan data empiris yang terpublis, sehingga dan tentunya dalam berkas perkara yang dapat dipastikan juga ada, bahwa kasus atau skandal pembunuhan a quo yang nyatanya telah menjadi pusat perhatian publik yang sebegitu besar dengan skala nasional bahkan internasional, tentang bahwa tugas pokok daripada para pelaku atau 2 ( orang ) terdakwa yang merupakan anggota polri memiliki tugas penguntitan, atau penjejakan fisik atau physical surveillance terhadap

diri pribadi HRS. Tokoh Ulama Islam kharismatik bangsa ini yang juga dikenal didunia internasional. Lalu  apakah majelis hakim tidak berpikir untuk mempertimbangkan notoire feiten penguntitan ini adalah dikarenakan bukti yang ada didalam BAP yang terdapat pada  pemberkasan perkara,  bahwa apa yang menyebabkan penguntitan sejak tanggal 6 Desember 2020 sampai dengan ( memasuki 12. 00 ) tanggal 7 Desember 2020 adalah karena berkaitan dengan pemanggilan HRS untuk esok harinya pada Tanggal 7 Desember, pukul 09.00 sekedar untuk kehadiran HRS di Polda Metro Jaya terkait pelanggaran prokes Covid 19 di Petamburan dan Mega Mendung serta pelanggaran sekedar berkata bohong ( Kasus RS. Ummi Bogor ) tentang status kesehatannya

Maka sungguh naif , kajian sempit tidak bernalar pantas disematkan jika Majelis Hakim yang sudah memiliki status profesional dengan strata ahli hukum level tinggi dengan bukti telah bertugas di Jakarta ibukota negara,  yang amat kompleks dengan segala rupa tindak kriminalitas, tidak mempertimbankan missi aneh yang ada, terlebih dalam ilmu hukum acara pidana/ KUHAP yang layak diketahui oleh majelis hakim bahwa setelah penyidik memberikan panggilan pertama dan jika panggilan pertama terpanggil terlapor tidak hadir, maka penyidik memanggil untuk kedua kalinya. Bahkan jika serius terhalang sekalipun sudah umum akan dipanggil untuk ke-3 kalinya.  Maka sesuai bunyi hukum acara pidana formil / KUHAP tersebut Penyidik atau para penyidik hanya tinggal menunggu terpanggil sebagai pihak terlapor diruang penyidikan penyidik di kantor markas kepolisian Polda Metro Jaya, mengapa harus diuntit tengah malam, termasuk di jalan raya juga hingga memasuki area jalan tol ?

Lalu para Terdakwa sampai membunuh ke 6 orang pengawal HRS, dimana rekomendasi Komnasham dan info pemberitaan dari banyak media soial, hasil otopsinya menunjukan temuan adanya penganiayaan disertai segala macam penyiksaan oleh kedua orang atau lebih penguntit yang anggota Polri ? lalu lacurnya kemudian pada kedua orang Terdakwa diputus bebas atau onslag yakni bahwa perbuatan terbukti, namun oleh sebab pembenaran karena terpaksa. Jika disimpulkan sesuai KUHP. adalah merupakan onslag atau perbuatan delik pembunuhan atau penganiayaan oleh para pelaku ada terbukti dilakukan, namun oleh sebab terpaksa atau over macht seperti yang disebut oleh unsur - unsur pasal 48 KUHP dan atau pasal 49 noodwer atau oleh sebab berat lawan

Pertanyaan semestinya dibenak para hakim  ampai batas apakah *tingkat keterpaksaanya* oleh keadaan para korban yang sudah dilumpuhkan dengan cara ditembak, *sampai seberat apakah perlawanan 6 orang korban* sehingga harus ditembak, jika pun dinyatakan melakukan perlawanan. Maka oleh karena lalainya para pelaku tidak membawa borgol serta tidak masuk akalnya para mujahid masih bisa membuat perlawanan setelah dilumpuhkan dengan berbagai bukti setelah banyak tanda tanda kekerasan pada tubuhnya menurut hasil visum et revertum. Hanya Allah yang Maha Tahu. Karena tidak bisa para mujahid menyatakan apa yang terjadi kepada mereka tentang kebenaran yang sebenar- benarnya atau materiele warheid 

Kembali kepada asas normatif dan masih sah keberlakuannya dalam sistem hukum apakah faktor lalai dan penguntitan yang dilakukan tengah malam sehingga berakibat matinya orang lainnya yang bukan tersangka pada peristiwa kriminalitas patut kehilangan nyawa ? terlebih subjek hukum yang dikawal meraka adalah seorang tokoh ulama besar sebagai guru yang mereka kagumi, sehingga mereka merasa berkewajiban mengawal keselamatannya

Kelak di Mahkamah akhirat mereka Almarhum 6 Orang Para Mujahid pasti dapat kesempatan membuktikan semua kebenaran peristiwa termasuk selain dader atau pelaku langsung dan delneming atau para penyertanya madelpleger, termasuk doenpleger yang menyuruh lakukan, atau intelektual dader  ( uitlokker ) atau tokoh utama yang menganjurkan sesuai pada pasal 55 dan 56 KUHP, semua mereka kelak tidak akan dapat menyangkal dan berdalih dengan dalil apapun