Dr Abdul Chair: Hukum Positivistik Alat Membidik dengan Delik
Ahad, 20 Maret 2022
Faktakini.info
*HUKUM POSITIVISTIK ALAT MEMBIDIK DENGAN DELIK*
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
Esensi dalam penegakan hukum adalah pemenuhan rasa keadilan. Pada hakekatnya keadilan adalah kata sifat yang mempuyai arti adil, tidak berat sebelah atau tidak pilih kasih (imparsial). Sejatinya, sifat ini merupakan salah satu sifat manusia. Keadilan merupakan suatu konsep yang mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam perlakuan (justice or fair treatment). Penegakan hukum yang tidak mengindahkan nilai-nilai keadilan, dapat dipastikan akan menimbulkan penyimpangan dan penyalahgunaan dan tentunya akan berimplikasi buruk bagi tatanan sosial di masyarakat.
Secara falsafati, ilmu hukum memandang keadilan menjadi tujuan hukum itu sendiri, dan itu tergantung dengan ideologi negara yang bersangkutan. Ada yang menjadikannya sebagai tujuan utama dalam berhukum, dan ada juga yang menomorduakannya, dengan alasan demi kepastian dan ketertiban hukum.
Dalam konteks penegakan hukum di Indonesia, ternyata lebih cenderung mengedepankan kepastian hukum (positivisme). Padahal ide kepastian hukum yang sering didengung-dengungkan oleh kaum positivisme, tidak selalu benar-benar kepastian hukum. Dikatakan demikian oleh sebab kemungkinannya ia hanyalah kepastian undang-undang (legisme). Kelemahan paham positivisme adalah menyingkirkan spekulasi tentang aspek metafisik dan hakikat hukum itu sendiri. Paradigma positivisme di Indonesia tentunya mempunyai pengaruh bagi keadilan penegakan hukum. Paradigma positivisme berpandangan, demi kepastian maka keadilan dapat dikorbankan.
Kondisi saat ini memperlihatkan, para pelaku penegak hukum mempunyai kecenderungan untuk berpikir secara positivisme dan bahkan legisme. Asas legalitas sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang mengutamakan kepastian hukum (legal certainty) dianggap sebagai satu-satunya titik tolak dalam menegakkan hukum dalam proses peradilan pidana Indonesia. Dengan demikian, keadilan yang diperoleh semata-mata hanya keadilan formal (prosedural) dan bukan keadilan materiil (substansial) yang mengandung nilai keadilan hakiki atau setidak-tidaknya mendekati hakikat keadilan.
Pengaruh positivisme telah menjadikan aparat penegak hukum hanya menegakkan bunyi undang-undang, bukan menegakan keadilan sebagai substansi dari hukum itu sendiri. Kondisi inilah yang membentuk terjadinya penyalahgunaan atas celah atau kelemahan dari bunyi pasal-pasal undang-undang. Hukum memang ada dalam undang-undang, tetapi juga harus ditemukan. Mencari dalam peraturan adalah menemukan makna atau nilai yang terkandung dalam peraturan dan tidak hanya membacanya secara datar begitu saja. Hukum adalah sesuatu yang sarat makna dan nilai.
Penegakan hukum dewasa ini menimbulkan ketimpangan dan melukai rasa keadilan masyarakat. Penerapan hukum berparadigma poitivistik dapat dilihat pada penalaran deduktif. Semua fakta ditampung dalam norma, padahal fakta itu belumlah tentu sebagai perbuatan melawan hukum. Interpretasi dalam silogisme bagaikan dalam sangkar besi (iron cage), karena jawaban (konklusi) secara diam-diam sebenarnya sudah tersedia dalam premis mayornya. Di sini terlihat pemenuhan fakta sebagi premis minor memang sudah diarahkan agar memenuhi premis mayor. Demikian itu menghasilkan konklusi yang sebenarnya sudah dipersiapkan.
Mengutip Barda Nawawi Arief, ia mengatakan bahwa dalam kontek Pancasila perlu dikembangkan keadilan bercirikan Indonesia, yaitu “keadilan Pancasila”, yang mengandung makna “keadilan berketuhanan”, “keadilan berkemanusiaan (humanistik)”, “keadilan yang demokratik, nasionalistik”, dan “berkeadilan sosial”. Ini berarti, keadilan yang ditegakkan juga bukan sekedar keadilan formal, tetapi keadilan substansial.
Dalam penegakan keadilan substantif dibutuhkan “kecerdasan spiritual” para aparat penegak hukum dalam menegakan keadilan, tidak serta merta menerapkan pasal tanpa menemukan makna yuridis dari peraturan yang bersangkutan. Dalam penerapan hukum yang responsif sebagaimana diajukan Nonet dan Selznick, bahwa hukum yang baik seharusnya memberikan sesuatu yang lebih daripada sekedar prosedur hukum. Hukum selain harus kompeten dan adil, harus pula mampu mengenali keinginan publik dan punya komitmen terhadap tercapainya keadilan substantif.
Menurut paradigma hukum responsif, adanya tekanan-tekanan sosial di masyarakat seyogyanya dimaknai sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk mengoreksi diri, bukan sebaliknya dijadikan sebagai lawan yang harus dibidik dengan delik. Demikian.
Jakarta, 20 Maret 2022.
๐๐๐