Jaya Suprana Gugat Presidential Threshold ke MK
Rabu, 9 Maret 2022
Faktakini.info, Jakarta - Banyaknya gugatan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (preshold) yang ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK) tak menyurutkan niat sejumlah kalangan masyarakat untuk terus mengajukan permohonan uji materiil aturan ini.
Pada Selasa kemarin (8/3), MK menggelar sidang perdana di Ruang Sidang Pleno MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, dengan agenda mendengar keterangan Pemohon uji materiil Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilu yang mengatur soal preshold.
Pemohon yang dimaksud ialah Pendiri Museum Rekor Dunia-Indonesia (MURI), Jaya Suprana, yang permohonan uji materiilnya tercatat sebagai perkara Nomor 16/PUU-XX/2022.
Norma Pasal 222 UU 7/2017 yang diuji Jaya Suprana berbunyi, "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya."
Dalam petitumnya, Pemohon meminta Mahkamah Kontitusi menyatakan Pasal 222 UU Pemilu tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Pasalnya, Jaya Suprana melihat aturan ambang batas pencalonan presiden justru membatasi hak warga negara untuk maju dalam pencalonan presiden dan atau wakil presiden.
"Dengan adanya peraturan presidential threshold ini hasrat tidak ingin melanjutkan karena tidak memiliki akses ke partai politik dan tidak memiliki dana,” ujar Jaya Suprana di hadapan pemimpin sidang Hakim Arief Hidayat yang didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Manahan MP Sitompul.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Manahan MP Sitompul menyarankan pemohon untuk menambahkan peraturan dan UU MK yang terbaru serta meminta Pemohon untuk menguraikan kerugian konstitusional yang dialami. Selain itu, ia meminta agar Pemohon membaca putusan-putusan MK terdahulu yang menguji Pasal 222 UU Pemilu.
Sementara Hakim Enny Nurbaningsih menyarankan pemohon untuk menjelaskan alasan yang kuat dalam mengajukan permohonan pengujian UU Pemilu untuk meyakinkan MK.
"Apa yang dimohonkan, itulah yang harus dia disampaikan, termasuk pokok-pokoknya di situ. Jadi sampaikan, saya memohonkan, disampaikan, sesuai dengan formatnya di situ, satu per satu. Jadi, bukan MK yang menebak‑nebak nanti apa yang dimohonkan di situ, tetapi berdasarkan apa yang memang menjadi kehendak dari Prinsipal, kebetulan di sini langsung yang maju adalah Prinsipalnya langsung," sarannya.
Sedangkan, Hakim Konstitusi Arief Hidayat meminta pemohon untuk menguraikan kedudukan hukum Pemohon. Menurutnya, Jaya Suprana harus bisa meyakinkan dirinya punya legal standing sebagai perorangan, bukan hanya partai politik yang sudah pernah ikut pemilu.
"Sebagaimana kayak Pak Jaya ini bisa punya legal standing. Nah, itu harus dibangun konstruksi hukumnya, narasinya, supaya Mahkamah bisa mengubah pendiriannya memberikan legal standing kepada perseorangan Warga Negara Indonesia," tambah Arief menutup.
Foto; Jaya Suprana
Sumber: rmol.id