(Lengkap) Nota Pembelaan TA Munarman di PN Jaktim (Bab II)

 





Senin, 21 Maret 2022


Faktakini.info 


BAB II 

TENTANG H. MUNARMAN, S.H.  

DAN 

SURAT DAKWAAN 

 

TENTANG TERDAKWA MUNARMAN, S.H. SEBAGAI AKTIVIS SOSIAL, HUKUM & HAK ASASI MANUSIA, DAN AKTIVIS GERAKAN ISLAM YANG MENEMPUH JALUR LEGAL KONSTITUSIONAL  

 

Majelis Hakim yang Kami Muliakan, 

Penuntut Umum yang Kami Hormati, dan 

Segenap Pecinta Keadilan yang Kami Cintai, 

 

Bahwa dalam proses pemeriksaan perkara yang dilakukan terhadap diri Terdakwa H. Munarman, S.H.  dapat kita lihat rekam jejak Terdakwa H. Munarman, S.H. merupakan alumnus Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya tahun 1994 ini, bagi kalangan dunia sosial, hukum dan HAM di Indonesia nama Terdakwa sudah tak asing lagi. Berbagai komentar dan artikel di berbagai media cetak dan elektronik banyak mewarnai public discourse mengenai HUKUM, HAM dan DEMOKRASI di Indonesia, baik pada saat memimpin Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KONTRAS) periode tahun 2000 – 2001, maupun pada saat Terdakwa sebagai Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 2002-2006, yang merupakan salah satu organisasi tertua di bidang Hukum, HAM dan Demokrasi; 

 

Bahwa selain itu Terdakwa H. Munarman, S.H. aktif juga sebagai Ketua Bidang IV di Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) tahun 2005 dan juga ditunjuk sebagai Tenaga Ahli Jaksa Agung dan sebagai Anggota Panitia Seleksi Komisi Kejaksaan Republik Indonesia, sebagaimana 2 (dua) surat dibawah ini: 

Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-024/A/JA/01/2005 tentang Pengangkatan Tenaga Ahli Jaksa Agung Republik Indonesia; 

Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : KEP-101/A/J.A/03/2005 tentang Pengangkatan Anggota Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Kejaksaan Republik Indonesia. 

 

Bahwa pengalaman akademik dan praktis di bidang hukum dan HAM didapat dan dilakukan Terdakwa H. Munarman, S.H. dengan memperdalam wawasan hukum khususnya dibidang HAM di University of Chulalungkorn, Bangkok, Thailand pada tahun 1999. Terdakwa H. Munarman, S.H. juga menjadi KOMISIONER pada Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP Komnas HAM Republik Indonesia pada tahun 2001) dan juga menjadi Anggota Tim Pencari Fakta kasus pembunuhan Munir (alm) yang dibentuk melalui KEPPRES NOMOR: 111 TAHUN 2004. Selain itu juga Terdakwa H. Munarman, S.H.  aktif di forum Internasional mewakili delegasi LSM Indonesia di Manila, Filipina pada tahun 2000, Geneva, Swiss (tahun 2001 dan tahun 2004), Amsterdam, Belanda (tahun 2003), Stockholm, Swedia (tahun 2003) dan Oslo, Norwegia (tahun 2003); 

Bahwa Terdakwa H. Munarman, S.H. memulai karir di dunia hukum dari LBH Palembang pada tahun 1995 sebagai volunteer, setahun kemudian 1996 menempati posisi sebagai kepala divisi Pertanahan LBH Palembang dan pada tahun 1997 sebagai Kepala Operasional LBH Palembang, lalu pada tahun 1999 Terdakwa H. Munarman, S.H. menjabat sebagai Direktur LBH Banda Aceh sekaligus koordinator Kontras Aceh. Selain aktif di lembaga dalam naungan YLBHI, yang bersangkutan aktif juga di organisasi Lingkungan Hidup (WALHI) periode tahun 1996 – 1998 sebagai Dewan Daerah WALHI Sumatera Selatan dan lembaga yang bekerja untuk pemantauan pemilu, KIPP daerah Sumatera Selatan periode tahun 1997–1999; 

Bahwa pada level kebijakan publik, Terdakwa H. Munarman, S.H. juga berkontribusi yakni melalui aktivitas sebagai tim perumus Rancangan UndangUndang (“RUU”) Komponen Cadangan pada tahun 2003 dan juga RUU Hukum Pidana Militer yang di bentuk oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departemen Kehakiman dan Hak Azasi Manusia. Terdakwa H. Munarman, S.H. juga aktif dalam advokasi RUU Rahasia Negara dan RUU Peradilan Militer; 

Bahwa aktivitas rekam profil Terdakwa H. Munarman, S.H. yang hampir semasa hidupnya Terdakwa abdikan untuk kepentingan Sosial, Hukum dan HAM dalam kiprahnya sebagai warga negara Indonesia yang baik dan banyak yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat umum; 

Bahwa perlu Penasihat Hukum sampaikan, pada saat tuduhan keji dan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat Densus 88 saat mengambil paksa Terdakwa H. Munarman, S.H., di kediamanannya dan memisahkannya dengan keluarganya, FAKTANYA Terdakwa H. Munarman, S.H., adalah seorang pengacara yang sedang memperjuangkan Hak Hukum Kliennya, yakni sedang mendampingi yang kita hormati bersama, Habib Muhammad Rizieq bin Hussein Shihab, Lc., M.A., Ph.D., DPMSS., serta sedang melakukan gugatan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi sebagai Pemohon terhadap uji materiil UU Covid 19 dengan Nomor Perkara 43/PUU-XVIII/2020 yang menciderai hak bagi masyarakat Indonesia sebagai bentuk ketaatan Terdakwa dalam bernegara dengan menggunakan jalur KONSTITUSIONAL; 

Bahwa sebagai salah seorang anggota masyarakat yang taat terhadap hukum dan peraturan yang berlaku, bersama-sama masyarakat lainnya, pada Desember 2016, Terdakwa H. Munarman, S.H., menjadi koordinator lapangan Aksi 212, sebuah gerakan konstitusional dalam bentuk aksi super damai untuk menuntut keadilan terhadap perbuatan salah satu pejabat negara yang melecehkan Agama Islam. Aksi 212 bertujuan mengetuk hati dan mengingatkan penegak hukum agar melakukan tugasnya secara profesional dan proporsional serta bersungguhsungguh untuk melakukan proses hukum terhadap pelaku tindak pidana penistaan agama yang dirasa masyarakat pada saat itu “jalan ditempat”. Dalam kegiatan 212 tersebut, hadir hampir seluruh pejabat tinggi negara ini, mulai dari Presiden, Wakil Presiden, Menkopolhukam, Panglima TNI, Kapolri, Pangdam, Kapolda dan beberapa menteri lainnya, bahkan kepala BNPT yang saat ini menjabat juga hadir. Kegiatan aksi super damai tersebut berjalan dengan AMAN, DAMAI, TERTIB, dan BERSIH sejak mulai acara sampai dengan selesai, tanpa melukai siapapun bahkan tidak merusak rumput-rumput yang berada di halaman Monas. 

Bahwa Terdakwa H. Munarman, S.H., dalam organisasi Front Pembela Islam berperan penting dalam perubahan visi dan misi organisasi FPI yakni dengan merubah arah perjuangan FPI menjadi perjuangan legal konstitusional melalui saluran-saluran hukum yang tersedia di antaranya melalui uji materiil perundangundangan, mengusulkan rancangan undang-undangan, mengirimkan potion paper terhadap perubahan undang-undang, koordinasi dengan aparat kemananan, dan jalur-jalur konstitusional lainnya tanpa adanya lagi sweeping minuman keras yang sebelumnya pernah dilakukan. Terdakwa H. Munarman, S.H., juga turut memberikan kontribusi dalam perubahan anggaran dasar FPI yang mana semakin menegaskan visi dan misi penerapan syariat Islam yang dilakukan oleh FPI adalah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 6 Anggaran Dasar Organisasi Front Pembela Islam, sehingga organisasi Front Pembela Islam selalu berjalan dalam rel atau jalur legal konstitusional dalam konstribusinya pada pelaksanaan bernegara. 

TENTANG DAKWAAN 

Majelis Hakim yang Kami Muliakan, 

Penuntut Umum yang Kami Hormati, dan 

Segenap Pecinta Keadilan yang Kami Cintai, 

 

Bahwa Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan dakwaan sebagai berikut: 

 

Dakwaan Pertama    

“Pasal 14 jo Pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, sebagai berikut: 

 

Pasal 14 

“Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup”;  

 

Pasal 7 

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup”. 

 

ATAU  

 

Dakwaan Kedua    

“Pasal 15 jo Pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagai berikut: 

 

Pasal 15 

“Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, persiapan, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya” 

 

Pasal 7 

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkupan hidup, atau fasilitas public atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara palaing lama seumur hidup.” 

 

ATAU 

 

Dakwaan Ketiga     

“Pasal 13 huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagai berikut: “Setiap orang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana dengan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.” 

 

 

Analisis Umum Terhadap Dakwaan Penuntut Umum 

Resolusi Dewan Keamanan PBB, Penetapan Ketua Pengadilan, Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris Domestik, dan Surat Pemerintah Suriah, Bukan Peraturan dan Bukan Produk Perundangundangan Yang Bersifat Mengikat. 

Bahwa Penuntut Umum dalam surat dakwaannya telah mendakwa Terdakwa mengetahui kelompok ISIS pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi sebagai organisasi terlarang sebagaimana disebut dalam: 

Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2170 tanggal 15 Agustus 2014; 

Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014; 

Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris Domestik No. DTTOT/2723/XI/2014 tanggal 20 November 2014; 

Surat Pemerintah Arab Suriah, Kementrian Luar Negeri Dan Imigrasi Kedutaan – Jakarta tertanggal 3 September 2014. 

Bahwa untuk dijadikan sebuah peraturan yang mengikat, sebuah perjanjian internasional atau peraturan internasional dalam hal ini Resolusi Dewan Keamanan PBB harus dilakukan RATIFIKASI atau pengesahan terlebih dahulu dengan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang menyebutkan: 

“Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: a. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. perintah suatu UndangUndang untuk diatur dengan Undang-Undang; c. pengesahan perjanjian internasional tertentu; d. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau e. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat”; 

 

Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut maka sebuah perjanjian internasional atau ketentuan internasional in casu Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2170 tanggal 15 Agustus 2014 yang tidak diratifikasi menjadikan Resolusi tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, terlebih tidak dapat dijadikan dasar untuk menghukum atau mengkualifikasikan tindakan seseorang sebagai perbuatan melawan hukum; 

Bahwa Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014 diajukan oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sehingga produk penetapan ketua pengadilan dimaksud tidaklah dapat dijadikan sebagai sebuah norma hukum yang mengikat bagi semua individu atau publik sebagaimana layaknya undang-undang, sebagaimana keterangan Ahli Pidana DR. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. di depan persidangan; 

Bahwa Surat Pemerintah Arab Suriah, Kementerian Luar Negeri Dan Imigrasi Kedutaan – Jakarta tertanggal 3 September 2014, adalah surat administrasi korespondensi biasa yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat di wilayah hukum negara Republik Indonesia, sehingga TIDAK BISA dipergunakan sebagai sebuah norma untuk menyatakan unsur melawan hukum; 

Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengatur hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagai berikut: 

“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:  

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; 

Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang; 

Peraturan Pemerintah; 

Peraturan Presiden;  

Peraturan Daerah Provinsi; dan  

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.” 

 

Bahwa berdasarkan ketentuan di atas terlihat jelas bahwa Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2170 tanggal 15 Agustus 2014, Penetapan 

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014, Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris Domestik No. DTTOT/2723/XI/2014 tanggal 20 November 2014, dan Surat Pemerintah Arab Suriah, Kementrian Luar Negeri Dan Imigrasi Kedutaan – Jakarta tertanggal 3 September 2014, bukanlah merupakan produk perundang-undangan, sehingga dakwaan Penuntut Umum yang menyatakan ke-empat nomenklatur tersebut di atas yang menyatakan ISIS pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi merupakan organisasi teroris hanyalah asumsi semata yang tidak terbukti dan tidak dapat dibuktikan oleh Penuntut Umum di depan persidangan, serta tidak dapat dijadikan pijakan atau dasar untuk mengkualisifikasikan perbuatan Terdakwa sebagai sebuah perbuatan yang melawan hukum; 

Bahwa selain itu, Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris Domestik No. DTTOT/2723/XI/2014 tanggal 20 November 2014 (DTTOT) berisi tentang daftar orang/organisasi yang MASIH DIDUGA terlibat dalam tindak pidana pendanaan terorisme, dan terhadap orang atau organisasi tersebut pada saat itu (ketika dikeluarkan tahun 2014) belum dilakukan proses hukum, dan belum ada putusan yang menyatakan orang atau organisasi tersebut dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana pendanaan terorisme sehingga berdasarkan asas praduga tak bersalah dan asas kepastian hukum, Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris a quo tidak dapat dijadikan alat bukti maupun alas hukum untuk menghukum Terdakwa. 

Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014 tentang Penetapan Perpanjangan Pencantuman Individu dan Organisasi Sebagai Organisasi Teroris Mengandung Cacat Formil  

Bahwa Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014 yang berdasarkan Surat Dakwaan berisi tentang Penetapan Perpanjangan Pencantuman Individu dan Organisasi sebagai Terduga Teroris yang mana penetapan a quo mencantumkan ISIS pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi sebagai organisasi teroris adalah cacat formil, oleh karena dalam penetapan dimaksud menyebutkan “Undang-Undang Nomor 9 

Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme” sebagai bahan pertimbangannya. Padahal Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 merupakan undang-undang yang mengatur tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme; 

Bahwa Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris Domestik No. DTTOT/2723/XI/2014 tanggal 20 November 2014 (DTTOT) merupakan daftar yang dibuat SECARA SPESIFIK untuk mengatur pemblokiran rekening dan larangan melakukan hubungan bisnis atau transaksi keuangan atau larangan yang terkait PENDANAAN TERORISME dengan nama orang/organisasi yang tercantum dalam DTTOT bukan untuk diberlakukan sebagai unsur perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana yang diatur dalam Perppu No. 1 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Hal tersebut dapat dilihat dalam pertimbangan atau dasar dikeluarkannya DTTOT tersebut berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme; 

Bahwa Surat Dakwaan Penuntut Umum tidak cermat dimana menyebutkan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014 adalah tentang “Penetapan Perpanjangan Pencantuman Individu dan Organisasi sebagai Terduga Teroris”, padahal berdasarkan fakta persidangan dan senyatanya diketahui oleh Penuntut Umum, Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014 adalah BUKAN “Penetapan Perpanjangan Pencantuman Individu 

dan Organisasi sebagai Terduga Teroris”, melainkan “Pencantuman 

201 Individu Berkewarganegaraan Asing, 3 Orang 

Berkewarganegaraan Indonesia, 64 Entitas dari Luar Negeri, dan 1 Entitas Dari dalam Negeri untuk dicantumkan ke dalam 

Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris”; 

Bahwa dengan adanya kesalahan penggunaan undang-undang sebagai bahan pertimbangan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014, maka Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dimaksud menjadi cacat formil, oleh karena bagaimana mungkin suatu penetapan yang mengkualifikasikan seseorang atau organisasi sebagai terduga teroris sedangkan bahan pertimbangannya dan landasan hukum yang digunakan adalah salah dan keliru. Atau dapat dikatakan, bagaimana mungkin satu kesimpulan yang benar dapat diambil dari premis yang salah; 

Bahwa dengan demikian, dicantumkannya Penetapan Ketua 

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor

11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014 dalam dakwaan mengakibatkan dakwaan Penuntut Umum menjadi tidak cermat sehingga haruslah dinyatakan batal demi hukum; 

Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2170 tanggal 15 Agustus 2014 dan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST Tanggal 11 Oktober 2014, dan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris Domestik No. DTTOT/2723/XI/2014 Tanggal 20 November 2014 Tidak Menyebutkan ISIS dan Abu Bakar Al Baghdadi Sebagai Organisasi atau Individu Teroris. 

Bahwa Penuntut Umum dalam dakwaannya mendakwa Terdakwa telah mengetahui kelompok ISIS pimpinan Abu Bakar Al Baghdadi sebagai organisasi terlarang, sebagaimana disebut dalam: 

Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2170 tanggal 15 Agustus 2014; 

Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014; 

Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris Domestik No. DTTOT/2723/XI/2014 tanggal 20 November 2014; 

 

Bahwa di dalam surat dakwaannya, Penuntut Umum menyebutkan bahwa Abu Bakar nama invididu Abubakar Al Baghdadi dan/atau ISIS telah dilarang berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2170 tanggal 15 Agustus 2014 dan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014 tentang Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris Domestik, padahal di dalam Resolusi dan 

Penetapan a quo tidak ada daftar nama baik individu Abu Bakar Al Baghdadi maupun daftar organisasi ISIS; 

Bahwa Penuntut Umum telah keliru menyamakan ISIS sama dengan ISIL, padahal keduanya adalah organisasi yang berbeda dengan pimpinan yang berbeda serta tujuan dan cara yang berbeda. Berdasarkan keterangan Ahli Agama KH. Muhyidin bahwa ISIL adalah sebuah gerakan ultra extrimis yang dikembangkan oleh AIMAN AL ZAWAHIRI yang berkewarganegaraan Mesir. Lalu baru 1 tahun kemudian muncul organisasi bernama ISIS yang dipimpin Abu Bakar Al Baghdadi. Bahwa perbedaan lainnya antara ISIS dengan ISIL yaitu AIMAN AL ZAWAHIRI lebih cenderung kepada Ikhwanul Muslimin, sementara ISIS dalam gerakannya melakukan pembunuhan terhadap ulama, penghancuran terhadap makam-makam ulama juga; 

Bahwa tuduhan Penuntut Umum terhadap Terdakwa dalam surat dakwaanya yang menyatakan “Terdakwa mengetahui kelompok ISIS merupakan Organisasi Terlarang Sebagaimana disebutkan dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2170 tanggal 15 Agustus 2014, Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014, Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris Domestik No. DTTOT/2723/XI/2014 tanggal 20 November 2014, dan Surat Pemerintah Arab Suriah, Kementrian Luar Negeri Dan Imigrasi Kedutaan – Jakarta tertanggal 3 September 2014” hanyalah asumsi semata yang tidak terbukti dan tidak dapat dibuktikan Penuntut Umum, sebaliknya di dalam persidangan terbukti Terdakwa baru mengetahui Resolusi dan Penetapan a quo saat ditunjukkan oleh penyidik. Selain itu Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 11204/Pen.Pid/2014/PN.JKT.PST tanggal 11 Oktober 2014 pada saat itu bukanlah informasi yang tersedia secara umum dan dapat diakses oleh publik, sehingga keberadaan dan isi dari penetapan tersebut hanya diketahui oleh segelintir pihak-pihak yang berkepentingan (aparat kepolisian). Hal ini terbukti saat tim Penasihat Hukum hendak mendapatkan penetapan ternyata tidak tersedia dan tidak dapat di akses melalui jaringan internet, baik melalui website resmi Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Mahkamah Agung, maupun website-website lainnya yang biasa menyediakan aturan-aturan perundang-undangan. Penetapan tersebut baru dapat diakses setelah diajukan permohonan tertulis kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 1.4. Tentang Asas Legalitas 

1.4.1. Bahwa dalam surat dakwaannya Penuntut Umum mendakwa Terdakwa dengan 2 (dua) buah norma aturan, yaitu: 

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang; dan 

Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. 

Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP memuat ketentuan sebagai berikut:  

“bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”; 

 

Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP tersebut berarti memuat asas hukum yaitu: 

Apabila terjadi perubahan undang-undang setelah perbuatan dilakukan tetapi belum diadili, maka diberlakukan ketentuan yang paling meringankan atau yang paling menguntungkan bagi Terdakwa; 

Asas “yang paling menguntungkan Terdakwa” dikedepankan apabila ketentuan undang-undang yang baru tersebut memuat ketentuan yang paling menguntungkan bagi Terdakwa sebagai pengecualian dari asas tidak berlaku surut (non retroactive). 

Bahwa apabila dihubungkan dengan kejadian yang didakwakan Penuntut Umum kepada Terdakwa yaitu acara seminar pada tahun 2014 atau 2015 sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaannya, kemudian pada tahun 2021 Penuntut Umum menuduh Terdakwa melakukan tindak pidana yang terjadi pada Tahun 2014 atau 2015 maka penggunaan norma aturan Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang menjadikan norma yang paling menguntungkan bagi Terdakwa, oleh karena apabila kejadian sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum pada tahun 2014 atau 2015 digunakan ketentuan Undang-undang terbaru yaitu Undangundang Nomor 5 Tahun 2018 maka penerapan Undang tersebut melanggar asas legalitas sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyebutkan, “suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”; 

Bahwa Dakwaan Penuntut Umum tersebut sangatlah jelas telah melanggar asas legalitas berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut di atas. Pasal tersebut mengandung azas-azas penting dalam Hukum Pidana yang dirumuskan dengan maxim “Nullum Crimen 

Sine Lege” (Tiada Kejahatan Tanpa Undang-Undang) Nulla Poena Sine Crimine (Tiada pidana tanpa kejahatan), Nullum Crimen Sine Lege Praevia (Tiada Kejahatan tanpa Undang-undang sebelumnya). 

Dengan kata lain, dilarang menerapkan secara Ex Post Facto Criminal Law. Tujuannya adalah demi kepastian hukum dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memperkokoh penerapan Rule of Law; 

Bahwa keberlakuan Pasal 14 dan Pasal 15 sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum kepada Terdakwa dalam surat dakwaanya telah diubah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 sehingga pemberlakuan Pasal a quo yang dihubungkan dengan kejadian tahun 2014 atau 2015 mengakibatkan pelanggaran terhadap asas legalitas dan asas kepastian hukum terhadap Terdakwa, dengan demikian dakwaan Penuntut Umum haruslah dinyatakan batal demi hukum. 

1.5. Tentang Dakwaan Melanggar Asas Non Retroaktif 

Bahwa Penuntut Umum dalam dakwaannya menuduh Terdakwa melakukan tindak pidana yang terjadi pada tahun 2015 akan tetapi baru pada tahun 2021 Terdakwa ditangkap dan kemudian diadili atau setelah 6 (enam) tahun peristiwa yang didakwakan terjadi, dan pada Tahun 2018 Undang-Undang Terorisme telah diubah yang diantaranya mengubah norma Pasal 14 dan Pasal 15. Jika di cermati penulisan Undang-Undang dalam dakwaan Penuntut Umum dituliskan “… Jo. Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-undang”; 

Bahwa dengan penulisan seperti itu, maka Penuntut Umum menggunakan norma Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, artinya Penuntut Umum memberlakukan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2018 terhadap peristiwa yang didakwakan terjadi pada Tahun 2015; 

Bahwa salah satu adagium menyatakan bahwa hukum pidana tidak dapat diberlakukan surut (lex praevia). Pada perkara a quo, dakwaan Penuntut Umum telah melanggar asas non-retroaktif. Perbuatan yang didakwakan menggunakan ketentuan Undang-Undang Nomor 15 

tahun 2018 tentang Terorisme, sedangkan kejadian Seminar di Markas FPI Jl. Sungai Limboto No.15, Kel. Lajangiru, Kec. Ujung Pandang, Kota Makasar tanggal 24 Januari 2015, Pondok Pesantren Tahfizhul Qur’an Sudiang Makasar tanggal 25 Januari 2015, dan Seminar Nasional di IAIN Sumatera Utara UIN Sumatera Utara. Kesemuanya itu jelas terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 tahun 2018 tentang Terorisme; 

Dalam kaitannya dengan substansi dakwaan Penuntut Umum yang bersentuhan dengan pelanggaran terhadap asas non-retroaktif menunjuk pada uraian dakwaan baik unsur subjektif maupun unsur objektif. Pada prinsipnya larangan non-retroaktif dimaksudkan agar tidak terjadi pemenuhan unsur yang datang kemudian dengan menggunakan Undang-undang yang sebelumnya tidak ada pada saat perbuatan dilakukan. Selain merugikan kepentingan hukum Terdakwa, pelanggaran tersebut juga merusak sistem peradilan pidana. Kondisi demikian bahkan bertentangan dengan asas “kepastian hukum yang 

adil” sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang menyebutkan bahwa “Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana ini dilakukannya”. 

Bahwa Prof Dr. Wirjono Prodjodikoro S.H. dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia” menyatakan bahwa pengulangan pencantuman asas ini dalam KUHP menunjukkan bahwa larangan keberlakuan surut ini oleh pembentuk Undang-undang ditekankan bagi ketentuan pidana. Larangan keberlakuan surut ini untuk menegakkan kepastian hukum bagi penduduk, yang selayaknya ia harus tahu perbuatan apa yang merupakan tindak pidana atau tidak; 

Bahwa selain itu, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 28I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang menyatakan: 

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.” 

 

Bahwa lebih lanjut Pasal 4 dan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) menegaskan pelarangan seseorang untuk dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut sebagai berikut: 

Pasal 4 UU HAM 

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” 

 

Pasal 18 ayat (2) UU HAM 

“Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana ini dilakukannya.” 

 

1.5.8. Bahwa berdasarkan alasan tersebut di atas, maka kami Penasihat Hukum Terdakwa memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk menyatakan Surat Dakwaan Penuntut Umum telah melanggar asas non-retroaktif dan Surat Dakwaan 

Penuntut Umum bertentangan Pasal 143 ayat (2) huruf b UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dari uraian di atas dan berdasarkan ketentuan Pasal 143 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana, surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum. 

1.6. Tentang Kebebasan Mengolah dan Menyampaikan Informasi. 

1.6.1. Bahwa Penuntut Umum dalam dakwaannya menyebutkan Terdakwa merupakan pemateri dalam acara tabligh akbar seminar yang dilakukan pada acara di Makassar pada tahun 2014; 

1.6.2. Bahwa dalam transkrip materi yang disampaikan Terdakwa pada acara di Makassar tahun 2014 dalam dakwaan Penuntut Umum, Terdakwa menyampaikan dan menjelaskan dokumen National Intelejen Council (NIC) dan Rand Corporation yang merupakan lembaga kajian intelejen Amerika; 

1.6.3. Bahwa kemudian Penuntut Umum menyebutkan Terdakwa menghadiri acara seminar di IAIN Sumatera Utara pada tahun 2015 sebagai pemateri yang juga dihadiri oleh Humas Polda Sumatera Utara yang mengangkat tema “Mengukur Bahaya ISIS di Indonesia”, Terdakwa menyampaikan materinya yang membahas tema berdasarkan perspektif hukum; 

1.6.4. Bahwa perlu kami jelaskan ketentuan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menyatakan, yaitu: 

“setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, seta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala saluran yang tersedia”,  

 

1.6.5. Bahwa bila dihubungkan dengan dakwaan Penuntut Umum yang mendakwa Terdakwa dengan perkara Terorisme oleh karena hadir sebagai pemateri dalam acara tabligh akbar dan seminar yang membahas dokumen NIC dan Rand Corporation dan membahas bahaya ISIS di Indonesia dalam perspektif hukum yang berlaku di Indonesia bukanlah sebuah perbuatan pidana melainkan sebuah perampasan hak konstitusional dan pembangkangan terhadap konstitusi; 

1.6.6. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut dakwaan Penuntut Umum yang mengkualisifikasikan perbuatan Terdakwa yang hadir sebagai pemateri dalam acara tabligh akbar dan seminar yang membahas dokumen NIC dan Rand Corporation dan membahas bahaya ISIS di Indonesia dalam perspektif hukum sebagai sebuah tindak pidana dalam dakwaannya haruslah dinyatakan batal demi hukum. 

 

Analisis Yuridis Terhadap Surat Dakwaan Penuntut Umum 

Dakwaan Pertama 

2.1.1. Bahwa Penuntut Umum dalam dakwaan pertama mendakwa 

Terdakwa dengan Pasal 14 jo Pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme”, sebagai berikut: 

 

Pasal 14 

“Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup”;  

 

Pasal 7 

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkupan hidup, atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara palaing lama seumur hidup”; 

 

2.1.2. Bahwa unsur-unsur dan penjelasan unsur dalam dakwaan pertama adalah sebagai berikut: 

Unsur dan Penjelasan Unsur Pasal 14 

setiap orang, merujuk pada subjek; 

yang merencanakan, melakukan serangkaian tindakan permulaan untuk melakukan tindak pidana terorisme; 

menggerakkan orang lain, yaitu melakukan serangkaian perbuatan yang membuat orang lain yang semula tidak memiliki niat untuk melakukan tindak pidana terorisme, kemudian tergerak untuk melakukan perbuatan terorisme  semata-mata karena adanya serangkaian perbuatan yang dilakukan oleh pelaju penggerak tersebut. Tidak termasuk menggerakan orang lain jika orang tersebut telah memiliki niat untuk melakukan tindak pidana terorime yang kebetulan ada orang lain yang juga hendak melakukan terorisme; 

untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud  dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, tindak pidana terorisme yang dimaksud; 

Unsur dan Penjelasan Unsur Pasal 7 

dengan sengaja, maksudnya perbuatan tersebut dilakukan yang telah diketahui dan dikehendaki atau dilakukan dengan penuh kesadaran tahu penginsyafan diri; 

menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya (Pasal 1 ke-3 UU 5 Tahun 2018); 

Yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau non elektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat (Pasal 1 ke-4 UU 5 Tahun 2018); 

bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut, yaitu bentuk kesengajaan sebagai maksud yaitu untuk menimbulkan suasana teror  atau rasa takut. Adapun suasana teror adalah menciptakan keadaan masyarakat terteror atau rasa takut/ketakutan dalam masyarakat; 

terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal yaitu suasan teror kepada orang secara meluas atau menimbukan korban yang bersifat massal. 

dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional: dilakukan dengan cara limitatif, sebagai berikut:  

merampas kemerdekaan; atau  

hilangnya nyawa atau harta benda orang lain; atau 

untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional. 

2.1.3. Bahwa rumusan delik dalam Pasal 14 jo Pasal 7 Undang-Undang Terorisme sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya yang inti perbuatan yang dilarang adalah “menggerakkan orang lain untuk 

melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7”. Dengan demikian, maka Penuntut Umum wajib 

untuk membuktikan mengenai beberapa hal yaitu: 

Sengaja merencanakan dan menggerakkan orang lain; 

untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. 

Berdasarkan uraian tersebut memuat pengertian: 

ada hubungan kausalitas antara perbuatan menggerakkan (lisan, perbuatan atau alat yang lainnya) berhubungan dengan tindak pidana terorisme dalam Pasal 7; 

ada orang yang tergerak semata-mata karena perbuatan pelaku penggerak benar-benar melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. 

2.1.4. Bahwa dengan demikian tidak termasuk perbuatan menggerakkan apabila orang tersebut tergerak karena memang sebelumnya telah memiliki niat untuk melakukan tindak pidana terorisme, serta tidak dapat dikatakan menggerakkan apabila seseorang melakukan tindak pidana terorisme apabila tidak ada kausalitas antara orang yang menggerakkan dengan orang yang ter-gerakan melakukan tindak pidana terorisme; 

2.1.5. Bahwa bila dihubungkan dengan dakwaan Penuntut Umum yang mendakwa Terdakwa karena telah menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme akan tetapi Penuntut Umum tidak menjelaskan tindak pidana apa yang dilakukan oleh orang lain yang kemudian dihubungkan dengan tindakan Terdakwa, sehingga jelas rumusan delik dalam dakwaan pertama tidak terpenuhi. 

 

Dakwaan Kedua 

2.2.1. Bahwa Penuntut Umum dalam dakwaan kedua mendakwa dengan Pasal 15 jo Pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagai berikut: 

Pasal 15 

“Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, persiapan, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya”; 

 

Pasal 7 

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkupan hidup, atau fasilitas public atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara palaing lama seumur hidup”. 

 

2.2.2. Bahwa unsur-unsur dan penjelasan unsur dalam dakwaan kedua adalah sebagai berikut: 

Unsur dan Penjelasan Unsur Pasal 15 

• melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan, maksudnya melakukan perbuatan: 

permufakatan jahat : yaitu memiliki kesepakatan antara dua orang atau lebih yang masing-masing memiliki niat untuk melakukan kejahatan/tindak pidana terorisme yang disepakati secara bersama-sama (mufakat) untuk dilakukan secara bersama-sama dan kesepakatan tersebut sudah diwujudkan dalam bentuk perbuatan nyata (bukan hanya sekedar ucapan saja tetapi sudah mengarah kepada perbuatan perbuatan persiapan terorisme). Hukum pidana menghukum orang karena melakukan perbuatan/lahir (perbuatan pidana), bukan menghukum orang yang memiliki niat jahat (masih alam bathin orang atau dalam bentuk omongan yang belum diwujudkan dalam bentuk perbuatan); 

percobaan : yang dimaksud perbuatan percobaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 KUHP yang dalam doktrin hukum pidana dijelaskan sebagai berikut: 

Adanya niat untuk berbuat jahat; 

Adanya permulaan pelaksanaan: perbuatan tersebut berpotensi menimbulkan delik yang dituju atau yang disepakati; 

perbuatan yang dilakukan sebagai perbuatan melawan hukum. 

3) pembantuan : maksudnya membantu melakukan kejahatan adalah orang yang memiliki niat membantu orang lain yang hendak melakukan tindak pidana dilakukan sebelum melakukan tindak pidana atau pada saat melakukan tindak pidana yang perbuatan memiliki sifat mempermudah persiapan atau memperlancar melakukan tindak pidana. 

Untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 12  

Unsur dan Penjelasan Unsur Pasal 7 

dengan sengaja, maksudnya perbuatan tersebut dilakukan yang telah diketahui dan dikehendaki atau dilakukan dengan penuh kesadaran tahu penginsyafan diri; 

menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, yang dimaksud dengan kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya (Pasal 1 ke-3 UU 5 Tahun 2018); 

Yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau non elektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat (Pasal 1 ke-4 UU 5 Tahun 2018); 

bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut, yaitu bentuk kesengajaan sebagai maksud yaitu untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut. Adapun suasana teror adalah menciptakan keadaan masyarakat terteror atau rasa takut/ketakutan dalam masyarakat; 

terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal yaitu suasana teror kepada orang secara meluas atau menimbukan korban yang bersifat massal; 

dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional: dilakukan dengan cara limitatip sebagai berikut:  

merampas kemerdekaan; atau  

hilangnya nyawa atau harta benda orang lain; atau 

untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyekobyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional. 

2.2.3. Bahwa dengan perumusan delik pada dakwaan kedua dengan memberlakukan norma Pasal 15 jo Pasal 7 maka Penuntut Umum wajib untuk membuat surat dakwaan yang mencantumkan salah satu 

dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Undangundang Terorisme yaitu 

tindak pidana permufakatan jahat; 

tindak pidana percobaan; atau  3) tindak pidana pembantuan. 

untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7. 

Bahwa dalam dakwaannya pada dakwaan kedua Penuntut Umum tidak sama sekali menyebutkan perbuatan mana yang dilakukan oleh Terdakwa yang dikualifikasikan melakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 15 jo Pasal 7 sehingga sejak awal surat dakwaan Penuntut Umum sebetulnya kabur dan tidak jelas, sehingga Hakim tidak memiliki kewenangan untuk memutus perbuatan Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan oleh karena Penuntut Umum dalam dakwaannya tidak menyebut kesalahan atas perbuatan Terdakwa yang dirumuskan dalam dakwaan kedua; 

Bahwa Hakim dalam memutus suatu perkara didasarkan atas surat dakwaan, akan tetapi bagaimana mungkin seorang Hakim dapat memutus suatu perkara ketika surat dakwaan sebagai dasar untuk mengadili seseorang tidak jelas dan kabur tentang perbuatan mana yang didakwakan dalam surat dakwaan, oleh karena itu dakwaan kedua dalam surat dakwaan Penuntut Umum haruslah dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. 

 

2.3. Dakwaan Ketiga  

Bahwa Penuntut Umum dalam dakwaan ketiga mendakwa dengan Pasal 13 huruf c Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang telah ditetapkan Menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak 

Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang jo Undang-undang Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 15 

tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebagai berikut:  

“Setiap orang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana dengan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun”; 

 

Bahwa berdasarkan rumusan dakwaan ketiga Pasal 13 huruf C memiliki unsur dan penjelasan sebagai berikut: 

Unsur Umum: 

dengan sengaja : maksudnya perbuatan tersebut dilakukan yang telah diketahui dan dikehendaki atau dilakukan dengan penuh kesadaran atau penginsyafan diri/menginsyafi; 

memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme : perbuatan memberi bantuan terhadap pelaku tindak pidana maknanya sama dengan pembantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 KUHP yaitu bantuan pada sebelum tindak pidana dan bantuan pada saat melakukan tindak pidana terorisme yang esensinya mempermudah seseorang melakukan tindak pidana; 

Unsur Khusus: 

dengan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme : sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme yang dilakukan dengan cara “menyembunyikan informasi tentang tindak pidana 

terorisme” yaitu menyembunyikan informasi tentang terjadinya tindak pidana terorisme. 

Bahwa berdasarkan rumusan unsur dan penjelasan tersebut Penuntut Umum harus membuktikan informasi apa yang disembunyikan yang menurut hukum pidana pantas untuk dapat dipidana, dan bentuk tindak pidana terorisme apa yang disembunyikan oleh pelaku tersebut; 

Bahwa bila dihubungkan dengan tindakan Terdakwa yang menghadiri acara tabligh akbar dan seminar yang merupakan acara terbuka yang diuraikan dalam dakwaan ketiga Penuntut Umum maka sama sekali tidak ada informasi yang disembunyikan oleh Terdakwa, terlebih dalam acara seminar di IAIN Sumatera Utara dihadiri oleh HUMAS POLDA SUMUT sebagai pemateri; 

Bahwa norma hukum pidana dalam Pasal 13 huruf c yaitu memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, memberikan bantuan dan kemudahan dengan cara menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme berarti harus ada tindak pidana terorisme yang telah selesai dilaksanakan dan Penuntut Umum harus bisa membuktikan tindak pidana terorisme dalam bentuk apa yang disembunyikan oleh Terdakwa, sedangkan yang dilakukan oleh Terdakwa sebagaimana diuraikan oleh Penuntut Umum dalam dakwaan ketiga adalah Terdakwa menghadiri acara seminar dan tabligh akbar yang merupakan kegiatan masyarakat yang terbuka dan bukanlah merupakan suatu kejahatan, sehingga menjadi sangat sesat pemikiran bila menghadiri acara tabligh akbar dan seminar dikualifikasikan sebagai sebuah tindak pidana.