(Lengkap) Pleidoi Munarman Atas Tuntutan JPU (Bab IV-V/End) "Perkara Topi Abu Nawas: Menolak Kezaliman, Fitnah dan Rekayasa Kaum Tak Waras"

 




Senin, 21 Maret 2022

Faktakini.info, Jakarta - Mantan Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) Munarman menghadiri sidang perkara kasus dugaan tindak pidana terorisme di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Senin (21/3/2022) pagi. Munarman membacakan sendiri pledoinya dengan judul "Perkara Topi Abu Nawas: Menolak Kezaliman, Fitnah dan Rekayasa Kaum Tak Waras". 

Sebagai berikut pleidoi selengkapnya.

BAB IV TENTANG

ANALISA YURIDIS

Majelis Hakim yang mulia, Penuntut Umum yang saya hormati,

Penasihat Hukum yang saya banggakan,


Judul Analisa Yuridis pada Surat Tuntutan sepatutnya DIGANTI menjadi ANALISA POLITIS. Sebab Penuntut Umum berulang kali mulai halaman 489 hingga halaman 644, menuliskan kalimat sebagai berikut:


"Bahwa KESIMPULAN terdakwa tersebut yang kemudian disampaikan pada ceramah, TELAH TIDAK SESUAI dengan suatu materi yang dapat disampaikan pada kegiatan ceramah ataupun seminar dan TIDAK DIPERBOLEHKAN UNTUK DISAMPAIKAN materi tersebut karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Indonesia dan TIDAK SESUAI dengan NKRI yang berbentuk Republik dan TIDAK SESUAI dengan SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI PANCASILA yang dianut oleh NKRI."


Lalu dituliskan juga:


"Bahwa PERKATAAN terdakwa dalam JAWABAN tersebut, TELAH TIDAK SESUAI dengan suatu materi yang dapat disampaikan pada kegiatan ceramah ataupun seminar dan TIDAK DIPERBOLEHKAN UNTUK DISAMPAIKAN materi tersebut karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Indonesia Indonesia dan TIDAK SESUAI dengan NKRI yang berbentuk Republik dan TIDAK SESUAI dengan SISTEM PEMERINTAHAN DEMOKRASI PANCASILA yang dianut oleh NKRI."


Kalimat-kalimat tersebut terus diulang-ulang oleh Penuntut Umum dalam Surat Tuntutan.


Terhadap kalimat yang digunakan oleh Penuntut Umum sebagai PARAMETER SIFAT MELAWAN HUKUM tersebut PERLU SAYA SAMPAIKAN, bahwa KALIMAT TERSEBUT ADALAH KALIMAT DALAM TERMINOLOGI POLITIS, BUKAN TERMINOLOGI YURIDIS, DAN INI SEMAKIN MEMBUKTIKAN BAHWA PERKARA A QUO ADALAH PERKARA POLITIK.

Terminologi POLITIS tersebut adalah, NKRI, DEMOKRASI PANCASILA, SISTEM PEMERINTAHAN, yang ukuran dan parameternya adalah HANYA BERDASARKAN UKURAN RANJANG PROCRUSTES. Yaitu ukuran dan parameter sekehendak raja yang sedang berkuasa saja.

Penuntut Umum dalam Surat Tuntutan tersebut TIDAK BISA MENUNJUKKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MANA YANG TIDAK SESUAI DAN BERTENTANGAN DENGAN ISI CERAMAH DAN JAWABAN ATAS PERTANYAAN SAYA.

 

Berbeda ketika saya menunjukkan bahwa PERKATAAN KETUM PARPOL DAN MENTERI DI NKRI YANG MENYATAKAN MAKSUD UNTUK MEMPERPANJANG PERIODE JABATAN PRESIDEN MENJADI LEBIH DARI 5 TAHUN, MENUNDA PEMILU DAN MENJADIKAN MASA JABATAN PRESIDEN MENJADI 3 PERIODE ADALAH BERTENTANGAN DENGAN KONSTITUSI NKRI YAITU UUD 1945 PASAL

7 DAN PASAL 22E AYAT (1). Jelas sekali apa yang disampaikan tersebut di atas, MELANGGAR KONSTITUSI DAN BERTENTANGAN DENGAN SISTEM DEMOKRASI PANCASILA. LANTAS MENGAPA TIDAK DIPIDANA ?


Secara substansi, apa yang saya sampaikan TIDAK ADA yang mempersoalkan bentuk NKRI. Silahkan baca dalam Surat Dakwaan dan rekaman video sudah kita tonton bersama. Jelas dalam soal penerapan syari’at Islam, saya menyatakan BAHWA ADA SYARI’AT ISLAM YANG LANGSUNG DAPAT DILAKSANAKAN OLEH TIAP INDIVIDU MUSLIM, TIDAK PERLU ADA NEGARA ISLAM ATAU DAULAH, YAITU KEWAJIBAN SHOLAT, ZAKAT, PUASA, HAJI. Namun DALAM KONTEKS HUKUM PIDANA ISLAM ATAU JINAYAH (HUDUD, QISASH, TA'ZIR, JIZYAH, BAHKAN JIHAD) HARUS NEGARA MELALUI APARATUR NEGARA YANG BERKEWAJIBAN MELAKSANAKANNYA. HISBAH PUN YANG SERING DILAKUKAN OLEH FPI DALAM SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM SEKALIPUN, ADALAH TUGAS APARAT

NEGARA, BUKAN TUGAS WARGA NEGARA. Apa yang saya sampaikan tersebut, BUKAN VERSI SAYA, TAPI SESUAI KONSEP. DI SISTEM HUKUM PIDANA INDONESIA, KEWENANGAN MELAKSANAKAN HUKUM PIDANA PUN ADA PADA APARATUR NEGARA.


Apa yang sampaikan tersebut lalu SENGAJA DISESATKAN MAKNA DAN PENGERTIANNYA OLEH DENSUS DAN PENUNTUT UMUM. Penyesatan makna dan

pengertian tersebut TERBUKTI DARI TIDAK PAHAMNYA, DENSUS DAN PENUNTUT UMUM DENGAN KONSEP DAN TIDAK MENYIMAK APA YANG SAYA SAMPAIKAN, BUKTINYA YAITU dalam Surat Tuntutan TERTULIS SELAIN HUDUD, QISASH, TERTULIS JUGA MUBAHALAH. HAL INI ANEH, SEBAB SAYA TIDAK PERNAH MEMBICARAKAN MUBAHALAH DALAM PEMAPARAN SAYA. DAN MUBAHALAH BUKAN TERMASUK LINGKUP HUKUM PIDANA. INI KEBODOHAN YANG NYATA, NAMUN PARA RUWAIBIDHAH DENGAN KEWENANGAN MERAJALELA.


Dan celakanya, Pihak DENSUS, PENUNTUT UMUM DAN AHLI-AHLI BAYARAN TELAH MENAFSIRKAN DAN MENGANALOGIKAN SECARA SESAT isi ceramah saya tersebut dan DIJADIKAN DAKWAAN DAN DASAR TUNTUTAN.

 

Lalu kalimat kesimpulan berikutnya yang dijadikan oleh Penuntut Umum sebagai dasar bahwa telah memenuhi unsur permufakatan jahat, menggunakan kekerasan, menimbulkan suasan teror, yaitu kalimat:

Telah melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terorisme MENEGAKKAN KHILAFAH DAULAH ISLAMIYAH atau ISIS ... dst.

Menerapkan paham dan ajaran khilafah Daulah Islamiyah …dst.

Dilakukan dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka mendukung dan menegakkan Daulah Islamiyah atau ISIS dengan melaksanakan:

1. Bai’at;

2. Kajian;

3. Pemberian motivasi.

Tujuan menjadikan Negara Indonesia adalah Negara Khilafah Islamiyah yang menerapkan syari’at Islam ditempuh dengan merebutnya secara paksa dengan melakukan jihad … dst.


Apa yang disimpulkan oleh Penuntut Umum dalam Surat Tuntutannya tersebut adalah

JELAS MERUPAKAN ILUSI, HALUSINASI DAN SKENARIO KARANGAN DUNIA

INTELIJEN SEMATA, yang memperalat hukum untuk dijadikan sarana menzalimi warga negara.


Apa yang disimpulkan tersebut lagi-lagi MEMBUKTIKAN bahwa perkara a quo adalah perkara politik.


Dan PERLU DIINGAT, DALAM NASKAH AKADEMIK UNDANG-UNDANG NOMOR

5 TAHUN 2018, Pada halaman 74, yang dibuat oleh Pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional, alasan dilakukan revisi terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 karena terdapat 5 (lima) perbuatan yang tidak dapat dipidana berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 karena belum mencakup berbagai kegiatan pendahuluan (Precusor Activities), yaitu sebagai berikut ini:

Melakukan latihan militer (standar) baik menggunakan alat atau tidak tanpa melapor atau mendapat ijin pejabat yang berwenang;

Upaya rekruitment;

Memberikan doktrin terkait perbuatan teror;

Menghasut sehingga orang lain atau kelompok melakukan perbuatan Teror;

Membai’at para pelaku teror (orang yang berbai’at).

 

Beriktut ini saya tunjukkan secara utuh halaman 74, Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 sebagai berikut:



Jadi secara YURIDIS, hal-hal yang disebutkan oleh Penuntut Umum dalam Surat Tuntutan yang difitnahkan terhadap saya tersebut, sekali lagi, SECARA YURIDIS TIDAK DAPAT DIKENAKAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA.


Secara substansi, Ahli ROCKY GERUNG dalam pendapatnya di muka persidangan JUGA MENYATAKAN BAHWA TIDAK ADA YANG SAYA LANGGAR DALAM SISTEM DI NKRI, DALAM KONTEKS DISKUSI MENGENAI KHILAFAH DAN SYARI’AT ISLAM.

Yang paling LUCU, ANEH, dan DILUAR LOGIKA AKAL SEHAT, pada satu sisi, Penuntut Umum menyatakan melalui fitnah dalam Surat Tuntutan bahwa saya bertujuan mendirikan Daulah Khilafah Islamiyah di Indonesia, dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, yaitu merebut secara paksa dengan jihad. Konyol dan lucu, serta diluar logika akal sehat, yang disebut perbuatan kekerasan merebut secara paksa adalah:

1. Peristiwa RULI RIAN ZEKE hijrah ke Suriah 2016;

2. Peristiwa RIZALDY hijrah ke Suriah 2017;

3. Peristiwa bom Jolo Philipina 2019.


Yang saya sebut lucu dan konyol adalah LOGIKA PREMIS MAYOR DAN PREMIS MINOR DALAM RANGKAIAN PERISTIWA TERSEBUT TIDAK NYAMBUNG SAMA SEKALI.


DIFITNAHKAN KEPADA SAYA INGIN MEREBUT SECARA PAKSA NKRI, TAPI KOK MALAH PERGI DARI NKRI KE SURIAH DAN NGEBOMNYA DI PHILIPINA ?


JADI DIMANA LOGIKA MAU MEREBUT NKRINYA, YANG ADA MALAH KABUR DARI NKRI.


INILAH KEANEHAN DAN KELUCUAN LOGIKA DALAM PERKARA A QUO.


SESUATU YANG TIDAK NYAMBUNG, DIHUBUNG-HUBUNGKAN DAN DIPAKSAKAN SEOLAH-OLAH SEBUAH RANGKAIAN CERITA.


Lalu Penuntut Umum juga menyebutkan dalam Surat Tuntutan, peristiwa kekerasan yang dihubung-hubungkan dalam perkara a quo, yaitu peristiwa PERLAWANAN RIZALDY saat ditangkap pada tahun 2021. Jelas-jelas yang melakukan penangkapan Densus, yang melawan RIZALDY, kok saya yang disalahkan ?


Jarak waktu antara acara seminar di Makassar yang saya hadiri dengan peristiwa penangkapan ADALAH 6 TAHUN, dan selama 6 tahun TIDAK ADA INTERAKSI APAPUN antara saya dengan RIZALDY. Tapi dengan LOGIKA TIDAK NYAMBUNG tersebut, dibebankan kepada saya pidananya. ANEH, LUCU SEKALIGUS ZALIM.


Lalu dihubungkan juga dengan peristiwa bom Katederal Makassar Maret 2021 oleh LUKMAN AL FARIZI, yang baru bergabung dan direkrut di kelompok Villa Mutiara TAHUN 2018. Lantas APA HUBUNGANNYA DENGAN SAYA ?


Juga dihubungkan dengan peristiwa pidana RONY SYAMSURI, AZAM AL GHOZWAH, JONHEN dan REZA ALFINO. Padahal jelas dalam putusan perkara REZA ALFINO yang TIDAK PERNAH DIHADIRKAN dalam persidangan a quo, tapi disebut-sebut oleh Penuntut Umum. Dalam Putusan Nomor 1393/Pid.Sus/2017/PN Jkt.Utr atas nama Terdakwa REZA ALFINO TERSEBUT JELAS-JELAS DISEBUTKAN BAHWA AMUNISI BERUPA PELURU DAN SELURUH KEGIATAN MEREKA ADALAH UNTUK PERSIAPAN PENYERANGAN DARI KELOMPOK SYIAH YANG ADA DI MEDAN. BEGITU BUNYI PUTUSAN PENGADILAN YANG TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP TERSEBUT.

 

Begitu juga putusan perkara atas nama RONY SYAMSURI Nomor: 481/Pid.Sus/2020/PN Jkt.Tim, maupun putusan perkara atas nama JONHEN Nomor: 1392/Pid.Sus/2017/PN Jkt.Utr, menyatakan dalam putusan yang berkekuatan hukum tetap tersebut bahwa KEPEMILIKAN AMUNISI tersebut adalah UNTUK PERSIAPAN PENYERANGAN DARI KELOMPOK SYIAH YANG ADA DI MEDAN.


LANTAS DIMANA HUBUNGAN DENGAN TUJUAN UNTUK MENDIRIKAN DAULAH ISLAMIYAH MELALUI PEREBUTAN SECARA PAKSA SEBAGAIMANA YANG DIFITNAHKAN OLEH PENUNTUT UMUM DALAM SURAT TUNTUTAN ?


DENGAN DEMIKIAN TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN BAHWA FITNAH TERHADAP SAYA DALAM PERKARA A QUO ADALAH SEBUAH SKENARIO POLITIK UNTUK MEMBUNGKAM SAYA DAN MENZALIMI SAYA.


JELAS TIDAK ADA CAUSALITAS SECARA HUKUM, TIDAK NYAMBUNG SECARA LOGIKA HUKUM, SEMUA PERISTIWA YANG DIHUBUNG-HUBUNGKAN DALAM SURAT DAKWAAN MAUPUN SURAT TUNTUTAN TERSEBUT.


SAYA SERAHKAN SEPENUHNYA KEPADA ALLAH SWT URUSAN INI. SEMOGA MAJELIS HAKIM DAPAT MELIHAT DAN MENILAI DENGAN JERNIH DALAM MEMUTUSKAN PERKARA A QUO.


Bahwa Penuntut Umum telah ternyata sesat pikir dalam meyimpulkan perkara a quo, yaitu Kesesatan non causa pro causa (post hoc ergo propter hoc/ false cause).


Kesesatan yang dilakukan karena penarikan penyimpulan sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelumnya langsung dihubung-hubungkan adalah penyebab sesungguhnya suatu kejadian, hanya karena didasarkan pada dua peristiwa yang terjadi secara berurutan, padahal tidak berhubungan.


Penuntut Umum lalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama merupakan penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akibat dari peristiwa pertama, PADAHAL URUTAN WAKTU SAJA TIDAK DENGAN SENDIRINYA MENUNJUKKAN HUBUNGAN SEBAB AKIBAT.


DALAM HUKUM PIDANA HARUS ADA CAUSALITAS SECARA LANGSUNG DAN PASTI ANTARA APA YANG TERJADI SECARA SEBAB AKIBAT.


Kesesatan ini dikenal pula dengan nama kesesatan post-hoc ergo propter hoc (sesudahnya maka karenanya).


Contoh: Seorang pemuda setelah diketahui baru putus cinta dengan pacarnya, esoknya sakit. Tetangganya menyimpulkan bahwa sang pemuda sakit karena baru putus cinta.


Kesesatan yang terjadi: Padahal diagnosis dokter adalah si pemuda terkena radang paru- paru karena kebiasaannya merokok tanpa henti sejak sepuluh tahun yang lalu.

 

BEGITUPUN DALAM PERKARA A QUO, PARA SAKSI MENYATAKAN BAHWA MEMANG MEREKA SUDAH RADIKAL, SUDAH MEMILIKI PEMAHAMAN YANG SALAH, SUDAH BERBAI’AT, SEBELUM BERTEMU SAYA. DAN MEREKA TIDAK PERNAH BERINTERAKSI DENGAN SAYA BAIK SEBELUM MAUPUN SESUDAH KEGIATAN SEMINAR. BEGITU JUGA DENGAN ALMARHUM FAUZAN AL ANSHORI, TIDAK PERNAH BERINTERAKSI DENGAN SAYA SEJAK 2002-2003 HINGGA BARU 2015 BERTEMU DAN BERINTERAKSI DALAM ACARA SEMINAR, BUKAN DILUAR SEMINAR.


JADI KESIMPULAN PENUNTUT UMUM DALAM SURAT TUNTUTAN, DENGAN MERANGKAI CERITA HALUSINASI, ILUSI DAN FITNAH ADALAH JELAS-JELAS TIDAK BERDASARKAN HUKUM DAN KONSTITUSI NKRI.


Majelis Hakim yang mulia, Penuntut Umum yang saya hormati,

Penasihat Hukum yang saya banggakan,


Sebelum kita masuk pada pembahasan unsur pidana dalam BAB analisa yuridis ini, terdapat beberapa hal penting yang ingin saya sampaikan berkaitan dengan persidangan- persidangan sebelumnya. Pertama, di dalam Surat Tuntutan hal. 476 s.d. 545, saya dituduh bermufakat jahat dengan Almarhum BASRI dan Almarhum FAUZAN AL-ANSHORI. Almarhum BASRI dan Almarhum FAUZAN AL-ANSHORI sudah meninggal dunia, dalam perkara yang disidangkan saat ini bagaimana memperoleh keterangan dari mereka, ini sudah pasti mustahil karena kita masih di alam dunia. Sehingga fitnah, tuduhan dan rekayasa melalui dakwaan dan tuntutan yang dibuat oleh penyidik dan Penuntut Umum adalah JELAS MERUPAKAN ILUSI, HALUSINASI, ASUMSI DAN KHAYALAN MEREKA SENDIRI, YANG TIDAK DAPAT DILAKUKAN CROSS EXAMINATION TERHADAP ORANG YANG SUDAH MENINGGAL. Keterangan tersebut JELAS BERASAL DARI PIHAK LAIN ATAU TESTIMONIUM DE AUDITU, YANG TIDAK MEMILIKI NILAI PEMBUKTIAN.


Kedua, saya juga dituduh telah menyebabkan kegiatan kajian “mempertebal dan menumbuhkan keimanan sesuai ajaran Daulah Islamiyah atau ISIS”. Sepertinya Penuntut Umum telah merubah diksi “menjadi mempunyai keyakinan”, “semakin tinggi keyakinannya”, “menjadi yakin” yang terdapat dalam Surat Dakwaan menjadi “mempertebal dan menumbuhkan keimanan”. Sungguh kalimat "mempertebal keimanan sesuai ajaran ISIS" ini adalah blunder yang sesat menyesatkan, karena Rukun Iman DALAM ISLAM hanya ada 6 (enam), TIDAK ADA rukun iman VERSI ISIS, dan dalam materi saya tidak ada membahas tentang Rukun Iman bahkan kata “ISIS” tidak ada sama sekali. INI YANG SAYA KATAKAN SEJAK AWAL, bahwa DAKWAAN DAN TUNTUTAN PENUNTUT UMUM TIDAK BEDA DENGAN SCRIPT SKENARIO SEBUAH FILM ILUSI SEMATA.

 

Ketiga, dari seluruh rangkaian proses framing, terhadap penangkapan, penyitaan, penahanan, dakwaan, serta tuntutan, ini bermuara pada tuduhan bahwa saya bertujuan menjadikan Negara Indonesia adalah negara khilafah Islamiyah yang menerapkan syari’at Islam yang ditempuh dengan merebutnya secara paksa dengan melakukan jihad sebagaimana ajaran Daulah Islamiyah atau ISIS. Ini adalah kesimpulan ngawur dan bodoh dari orang-orang yang justru tidak paham tentang Hukum Tata Negara dan Konstitusi yang berlaku di NKRI.


Dalam persidangan ini jelas-jelas terungkap bahwa saya menggunakan MEKANISME LEGAL KONSTITUSIONAL DALAM MENEMPUH TUJUAN DAN MEMPERJUANGKAN

SYARI’AT ISLAM. Sebab NKRI yang berlandaskan Pancasila, dimana sila pertama adalah KETUHANAN YANG MAHA ESA, yang artinya TIDAK MELARANG SYARI’AT

ISLAM BERLAKU DI INDONESIA. Begitu juga Pasal 29 UUD 1945, baik ayat (1) maupun (2) yang menjadi dasar Negara adalah KETUHANAN YANG MAHA ESA, dan ayat

(2) NEGARA MENJAMIN KEMERDEKAAN TIAP-TIAP PENDUDUK UNTUK MEMELUK AGAMANYA MASING-MASING DAN UNTUK BERIBADAT MENURUT AGAMA DAN KEPERCAYAANNYA ITU. Begitu juga pada Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28F, 28G ayat (1), 28I ayat (1), Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, dan juga DEKRIT PRESIDEN 5 Juli 1959 yang masih berlaku hingga hari ini dalam konsideran kelima menyatakan "Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang- Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut".


Dari semua landasan hukum secara LEGAL KONSTITUSIONAL tersebut yang saya sebutkan di atas, maka semua alas hak konstitusional di atas memberikan ruang bagi SYARI’AT ISLAM DILAKSANAKAN DI NKRI. Dan ini sudah terbukti, sebagaimana yang telah saya sampaikan di persidangan dengan bukti, ada berbagai peraturan perundang- undangan seperti, UNDANG-UNDANG ZAKAT, UNDANG-UNDANG HAJI, UNDANG-UNDANG PERBANKAN SYARI’AH, UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL, BAHKAN DI ACEH BISA DIBERLAKUKAN HUKUM PIDANA ISLAM DENGAN MEMASUKKAN KE DALAM SISTEM PERADILAN AGAMA.


Lantas yang difitnahkan oleh Penuntut Umum bahwa penerapan syari’at Islam adalah bertentangan dengan NKRI itu dimana ?


Yang bertentangan dengan sistem NKRI, adalah justru Densus dan Penuntut Umum yang telah memfitnah syari’at Islam, khilafah, jihad sebagai sesuatu yang bersifat KEJAHATAN. TUNGGULAH dan kita sama-sama menunggu, nanti kita semua akan mempertanggungjawabkan kepada Allah atas fitnah-fitnah tersebut.


Syari’at, Jihad dan khilafah, sesuai dengan HASIL IJTIMA KOMISI FATWA MUI TAHUN 2020 ADALAH MERUPAKAN BAGIAN DARI AJARAN ISLAM.

 

Majelis Hakim yang mulia, Penuntut Umum yang saya hormati,

Penasihat Hukum yang saya banggakan,


Selanjutnya, pada Surat Tuntutan yang disampaikan oleh Penuntut Umum yang dianggap terbukti adalah mengenai Dakwaan Kedua, maka saya akan mulai dengan menganalisa terhadap Pasal 15 Jo. Pasal 7 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 secara komprehensif sebagai berikut ini.


I. PASAL 15 Jo. PASAL 7 PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2002 Jo. UNDANG- UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003


Bahwa Pasal 15: “Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya”.


Kemudian Pasal 7 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan:“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup”.


Berdasarkan Surat Tuntutan halaman 545, saya dituduh melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana terorisme yang konstruksinya dianalogikan oleh Penuntut Umum dengan perbuatan-perbuatan sebagai berikut ini:


1) Menegakkan Khilafah Daulah Islamiyah atau ISIS di Indonesia dengan menerapkan paham dan ajaran Khilafah Daulah Islamiyah atau ISIS yang dilakukan dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka mendukung dan menegakkan Daulah Islamiyah atau ISIS berupa:

a. Mengikuti dan melaksanakan kegiatan bai’at/ sumpah janji kepada ABU

BAKAR AL-BAGHDADI Amir/Pimpinan ISIS;

b. Menyelenggarakan kegiatan kajian mempertebal dan menumbuhkan keimanan sesuai ajaran Daulah Islamiyah atau ISIS;

c. Melakukan pemberian motivasi/dorongan dan ajakan untuk mendukung, taat dan menegakkan Khilafah Daulah Islamiyah/ISIS di Indonesia;

d. Dengan tujuan menjadikan Negara Indonesia adalah negara khilafah Islamiyah yang menerapkan syari’at Islam yang ditempuh dengan merebutnya secara paksa dengan melakukan jihad sebagaimana ajaran Daulah Islamiyah atau ISIS. Yang dilakukan dalam bentuk:

(i) Pelaksanaan kegiatan di Makassar pada Tanggal 24 dan 25 Januari 2015 dimana kegiatan tersebut Terdakwa, Almarhum BASRI dan Almarhum FAUZAN AL-ANSHORI memberikan materi tentang Sistem Pemerintahan Islam, Jihad, Khilafah dan menegakkan Daulah Islamiyah atau ISIS;

 

(ii) Memberikan motivasi/dorongan dan mengajak seluruh peserta yang hadir pada kegiatan tersebut untuk mendukung dan menegakkan Daulah Islamiyah atau ISIS di Indonesia dan menerapkannya;

(iii) Dalam kegiatan tersebut juga dilakukan bai’at yang diikuti oleh seluruh peserta yang hadir kepada Pemimpin/Amir ISIS yaitu SYEIKH ABU BAKAR AL-BAGHDADI dan selanjutnya dilakukan konvoi kendaraan bermotor keliling kota Makassar dengan membawa bendera dan atribut ISIS.


2) Bahwa seluruh kegiatan tersebut kemudian juga ditindaklanjuti oleh para peserta dengan kembali melaksanakan kegiatan pendalaman kajian (i’dad) khilafah Daulah Islamiyah atau ISIS dan pelatihan (i’dad) fisik/keahlian lainnya, hingga diantara para peserta yaitu:

a. RULI RIAN ZEKE dan ULFA pada sekitar pertengahan 2016 membawa anaknya AINUN, CICI, AHMAD, dan AISYAH untuk hijrah ke negeri Syam, sampai di Turki selama satu tahun kemudian di deportasi kembali ke Indonesia. RIZALDI pada sekitar pertengahan 2017 membawa anaknya FIKRI, FAUZAN, FADILA, FAREL, dan LUPNA untuk hijrah ke negeri Syam tetapi ditangkap di Bandara Soekarno Hatta;

b. Pada pertengahan 2018 RULI RIAN ZEKE dan ULFA melakukan Bom Bunuh Diri di Gereja Katedhral di Jolo Filipina;

c. Selanjutnya pada Tanggal 6 Januari 2012 RIZALDI pada saat akan dilakukan penangkapan melakukan perlawanan kepada pihak Kepolisian hingga meninggal dunia ditembak petugas Kepolisian; dan

d. Kemudian pada sekitar tahun 2018 tempat kajian di Villa Mutiara LUKMAN AL-FARIZI bergabung mengikuti kajian ditempat tersebut dan pada tanggal 28 Maret 2021 LUKMAN ALFARIZI melakukan amaliyah dengan bom bunuh diri di depan Gereja Katedhral Makassar.

e. Bahwa Terdakwa bersama Almarhum FAUZAN AL-ANSHORI pada tanggal 5 April 2015 juga telah memberikan materi pada seminar "Mengukur Bahaya ISIS di Indonesia" yang pada pokoknya menyatakan:

(i) Mendukung Daulah Islamiyah atau ISIS yang ada di Suriah;

(ii) Menyatakan belum ada Undang-Undang atau aturan khusus yang mengatur dan melarang Daulah Islamiyah /ISIS;

(iii) Yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh saksi RONY SYAMSURI, saksi AZZAM AL GHOZWAH, saksi JONHEN, dan saksi REZA ALFINO dengan membentuk Jamaah Anshorut Daulah Wilayah Medan dengan merekrut beberapa anggota lainnya selanjutnya melaksanakan:

- I’dad imani/ kajian-kajian dan melakukan i’dad fisik;

- Mempersiapkan peralatan untuk jihad/amaliyah dengan telah menyiapkan senjata api pistol/FN dan peluru sebanyak 24 (dua puluh empat) dan peluru senjata api M16 sebanyak 3 (tiga) buah.


3) ISIS adalah organisasi terlarang sebagaimana disebutkan dalam:

a. Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 2170 Tanggal 15 Agustus 2014;

b. Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No: 11204/Pen.Pid/ 2014/PN.JKT.PST Tanggal 11 Oktober 2014 tentang Penetapan Perpanjangan Pencantuman Individu dan Organisasi (DTTOT) sebagai Terduga Teroris;

 

c. Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris Domestik No. DTTOT/2723/XI/2014 tanggal 20 November 2014;

d. Surat Republik Arab Suriah, Kementerian Luar Negeri dan Imigrasi Kedutaan-Jakarta Tertanggal 3 September 2014.


Terhadap konstruksi tuntutan tersebut TENTU SAJA SEMUANYA TIDAK BENAR. KARENA SEMUA YANG DISKENARIOKAN PENUNTUT UMUM DALAM SURAT TUNTUTAN TERSEBUT ADALAH ILUSI, HALUSINASI DAN ASUMSI KHAYALAN SEMATA DENGAN MERANGKAI BEBERAPA PERISTIWA YANG TIDAK SALING BERHUBUNGAN.


Oleh karenanya untuk membantah fitnah tersebut maka saya akan analisa setiap unsur berdasarkan alat bukti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.


Ad.1. Unsur “setiap orang”


Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 telah memberikan definisi mengenai unsur “setiap orang”. Pada ketentuan Pasal 1 Angka 2 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang dimaksud unsur ini adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi. Pada praktiknya, hakim dalam menentukan terpenuhinya unsur ini biasanya me- refer pada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 1398 K/Pid/1994 tanggal 30 Juni 1995 yang mengandung kaidah hukum tentang “setiap orang” disamakan pengertiannya dengan kata “barangsiapa”. Sedangkan kata “barangsiapa” adalah setiap orang atau siapa saja pelaku tindak pidana sebagai subyek hukum yang dapat bertanggungjawab menurut hukum atas segala tindakannya dan dalam hubungan dengan perkara yang sedang disidangkan subjek hukumnya mengacu pada manusia/orang yang sesungguhnya (natuurlijk persoon), sehingga unsur “setiap orang” menunjuk kepada subyek hukum yang diajukan ke persidangan sebagai Terdakwa yang didakwa melakukan tindak pidana.


Pada suatu persidangan, seorang Terdakwa yang telah membenarkan identitasnya sesuai dengan identitas yang tercantum dalam Surat Dakwaan dan selama berlangsungnya persidangan Terdakwa dalam keadaan sehat jasmani dan rohani sehingga dipandang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Atas dasar itulah biasanya Penuntut Umum menganggap Terdakwa telah memenuhi unsur “setiap orang”.

 

Namun pada perkara ini, kita juga perlu melihat kalimat setelah kata “setiap orang” yaitu “yang melakukan permufakatan jahat …dst…”. Kata “yang” pada rumusan Pasal 15 menunjuk pada perbuatan atau “predikat” yang telah terbukti dilakukan oleh seseorang. Setiap orang itu bentuk jamak tapi yang memiliki predikat sudah spesifik. Artinya rumusan pasal tersebut mempersyaratkan pemenuhan unsur lainnya terlebih dahulu sebelum menyatakan unsur “setiap orang” telah terpenuhi. Akan tetapi nampaknya Penuntut Umum melalui Surat Tuntutannya bersikeras untuk lebih dulu membuktikan unsur “setiap orang” dengan argumentasi berkenaan dengan tidak ada alasan pemaaf.


Terlepas dari pandangan Penuntut Umum tersebut, selama ini jika unsur “setiap orang” dianggap telah terpenuhi maka tanpa kita sadari akan menempel stigma negatif pada diri seseorang tersebut. Selama ini juga, kita menganggap hal seperti itu sebagai hal biasa dan lumrah padahal dampak secara psikis sangat besar. Dari sisi Hukum Administrasi negara Identitas atau KTP setiap warganegara wajib memilikinya maka jika diajukan pertanyaan terhadap seorang warganegara mengenai KTP-nya tentu saja seseorang itu akan membenarkannya. Tetapi perlu kita ingat bahwa tidak sedikit peristiwa seseorang yang sudah divonis bersalah namun dikemudian hari ternyata bukan ia pelakunya melainkan orang lain (error in persona). Error in persona itu salah KTP-nya atau salah Terdakwa yang membenarkan itu KTP-nya/identitasnya?


Artinya pada perkara terorisme yang telah disidangkan dan dijatuhkan vonis tidak ada karakteristik atau ciri-ciri tertentu dari seseorang sehingga seseorang itu teridentifikasi sebagai teroris untuk memenuhi unsur setiap orang. Pada perkara ini, Ahli Psikologi Klinis dan Psikologi Forensik Dra. RR. ADITYANA KASANDRAVATI yang diajukan oleh Penuntut Umum menyatakan ada suatu tingkatan atau level radikalisme dari yang rendah, sedang, dan tinggi. Di lain sisi, Pemerintah memiliki kewenangan administrasi untuk menerbitkan Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT). Pada kondisi dan situasi yang demikian sudah sepatutnya baik level rendah sampai yang tertinggi sudah tercantum nama dan identitas seseorang di dalam DTTOT yang kemudian diberitahukan kepada nama- nama yang tercantum tersebut (asas publisitas). DTTOT inilah yang seharusnya menjadi karakteristik untuk membedakan unsur “setiap orang” dalam pemeriksaan baik tahap penyelidikan, penyidikan, maupun persidangan. Menurut Ahli Psikologi Klinis dan Psikologi Forensik, kadar radikalisme saya termasuk tinggi, akan tetapi nama saya tidak tercantum di dalam DTTOT tersebut termasuk perpanjangannya dan saya juga tidak pernah menerima surat yang berkaitan dengan DTTOT.

 

Pada Surat Tuntutan, setidaknya terdapat 4 (empat) karakteristik yang dinarasikan oleh Penuntut Umum dan dikait-kaitkan dengan ciri-ciri teroris yaitu sebagai berikut ini:

1. Saat saya menjadi penasihat hukum Ustadz ABU BAKAR BA’ASYIR;

2. Kasus Monas tahun 2008;

3. Aktivitas saya di Organisasi Kemasyarakatan Front Pembela Islam (FPI);

4. Kehadiran saya di UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Tangerang Selatan.


Perbuatan saya sebagai advokat dan pengacara publik yang memberikan bantuan hukum kepada Ustadz ABU BAKAR BA’ASYIR tidak dapat di-ploting sebagai karakteristik seorang teroris. Perbuatan tersebut jelas dalam koridor pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dimana Pasal 18 menyatakan:

1) Advokat dalam menjalankan tugas profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap Klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang sosial dan budaya.

2) Advokat tidak dapat diidentikkan dengan Kliennya dalam membela perkara Klien oleh pihak yang berwenang dan/atau masyarakat.


Pun demikian aktifitas saya dalam Organisasi Kemasyarakatan Front Pembela Islam (FPI), karena pada tempus delicti perkara ini yaitu tahun 2015 baik Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Ormas FPI dan termasuk di dalamnya Visi dan Misi organisasi secara hukum sah dan tidak bertentangan dengan Pancasila maupun UUD 1945 (konstitusional). Terbukti dengan adanya SKT dari Kemendagri dan Rekomendasi dari Kemenag. Terlebih lagi Putusan Pidana yang dijatuhkan terhadap saya di tahun 2008 tidak memiliki benang merah dengan kasus ini.


Terhadap perbuatan saya yang hadir pada tanggal 6 Juli 2014 bertempat di Gedung Syahidah Inn UIN Syarif Hidayatullah Ciputat, Tangerang Selatan tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana dengan metode apapun karena tempus dakwaan sangat jelas dan terang direstriksi hanya hari Sabtu Tanggal 24 Januari 2015, hari Minggu tanggal 25 Januari 2015, dan hari Minggu tanggal 5 April 2015. Selain daripada itu, secara yuridis formil maupun materiil belum ada aturan yang melarang untuk hadir dalam acara itu. Dengan demikian TIDAK ADA DASAR HUKUM YANG BISA DIJADIKAN DASAR MENGKUALIFIKASI PERBUATAN SAYA SEBAGAI PERBUATAN PIDANA PADA KEGIATAN DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH CIPUTAT, TANGERANG SELATAN.

 

Menurut keterangan ROCKY GERUNG (Ahli Interpretasi Hermeneutika Hukum, Logika Hukum, Penalaran Hukum dan Filsafat Hukum) pada persidangan terdahulu, “Kita mesti fair melihat bahwa orang itu didalam kondisi tertentu wataknya itu bisa beralih secara palsu sebetulnya, haruslah diuji itu watak yang benar dari Terdakwa yang di Monas apa yang sekarang yang anti ISIS yang menjadikan FPI sebagai gerakan sosial yang mengambil alih fungsi dari departemen sosial, departemen kesehatan oleh FPI, timbangan itu mesti kita buatkan. Karena setiap 8 (delapan) jam teknologi berubah apalagi psikologi,

…dst… Karena psikologi kita tergantung dari pada intensi kita membaca berita di dalam algoritma yang dibuatkan oleh smartphone.”


Lebih lanjut, menurut ROCKY GERUNG (Ahli Interpretasi Hermeneutika Hukum, Logika Hukum, Penalaran Hukum dan Filsafat Hukum), karakteristik teroris adalah paradigmatik dan “jika seseorang sudah memiliki paradigmatik dan sudah meyakini terhadap sesuatu hal seperti melakukan tindakan teror dan sebelumnya dia sudah memiliki keyakinan ingin bergabung terhadap organisasi teroris, meskipun ada seorang yang counter terhadap pemikiran tersebut maka dia akan tetap pada keyakinannya dan hanya mencari pembenarannya karena itu sifat paradigmatik.”


Seandainya-pun dipaksa untuk menerapkan Pure Psychological Approach yang bukan merupakan Psikolegal dalam suatu kasus, maka harus dilihat dinamika psikologis seseorang secara obyektif dari berbagai sumber (cover both sides/tabayyun) bukan dari satu pihak saja atau hanya googling saja (by search engine). Search Engine dalam teknologi informasi adalah algorithma yang dapat diatur sesuai permintaan (by order), yang selalu dapat diubah dan lazimnya disebut Search Engine Optimization (SEO) maupun Search Engine Friendly (SEF). JADI PURE PSYCHOLOGICAL APPROACH DITUNTUT PULA UNTUK DIALOG ANTAR MANUSIA BUKAN DIALOG DENGAN SEARCH ENGINE.


Selanjutnya berdasarkan keterangan KH. Dr. MUHYIDDIN JUNAIDI, M.A. (Ahli Agama dan Hubungan Internasional) saat melakukan tabayyun kepada saya, ahli banyak membaca tulisan saya, aktivitas saya dan sering bertemu dengan kawan-kawan saya. Ahli melihat sejauh ini saya masih jernih dan sangat kritis dalam beberapa hal, ahli mengakui saya memiliki pandangan yang tidak sejalan dengan pemerintah, terutama dalam konteks penegakan hukum karena referensinya berbeda.


Berkenaan dengan isi Maklumat FPI tertanggal Jakarta, 11 Syawal 1435H/8 Agustus 2014, yang ahli pahami, sejalan dengan MUI yaitu meminta kepada ISIS yang dipimpin oleh ABU BAKAR AL-BAGHDADI dan ISIL yang dipimpin oleh SYEIKH AIMAN AZ-ZAWAHIRI untuk bersatu padu antar umat Islam,

 

jangan melakukan tindakan lebih, semua rangkul umat Islam untuk memperbaiki kondisi umat Islam di dunia. Sedangkan di poin 5 maklumat itu, FPI mendukung seruan dan nasihat pimpinan SYEIKH AIMAN AZ-ZAWAHIRI bahwa seluruh komponen jihad Al-Qaidah baik pasukan MUHAMMAD AL-JAULANI di Syiria maupun pasukan ABU BAKAR AL-BAGHDADI di Iraq serta komponen jihad Al- Qaidah yang lainnya agar bersatu dan bersaudara dengan segenap Mujahidin Islam di seluruh dunia untuk melanjutkan jihad di Syiria, Iraq, Palestina dan negeri- negeri Islam lainnya yang tertindas. Dalam pemahaman ahli, “Ini sebuah pemikiran yang brilian, karena negara-negara yang disebutkan tersebut di atas sedang terpecah belah, maka jangan membentuk sebuah organisasi itu yang ultra extrimis itu lebih baik kita bersatu untuk gabung bersama-sama dalam persatuan dan kesatuan untuk kemuliaan Islam”.


Kemudian keterangan saksi M. LUTHFIE HAKIM yang mengetahui saya pernah menjadi tenaga ahli di Kejaksaan Agung pada masa ABDUL RAHMAN SALEH menjabat sebagai Jaksa Agung dimana saya juga pernah menjadi Pansel (panitia seleksi) anggota Komisi Kejaksaan yang pada saat itu baru dibentuk. Saksi sering ke kantor saya dan sering bekerja sama menangani kasus, yang saksi ketahui yaitu Saya ikut dalam Tim Perumusan RUU KUHP dan RUU Pornografi (termasuk Jihad Konstitusional). Saksi juga menerangkan bahwa saksi dan saya pernah menjadi konsultan di Kementerian Agama dan memberikan nasehat diberbagai kebijakan supaya tidak timbul korupsi, dan supaya penyelenggaraan haji itu bisa berjalan dengan baik, karena sering ada penyalahgunaan (termasuk Jihad Konstitusional). Ceramah saya menurut saksi juga tidak ada yang mengandung unsur kekerasan. Ceramah akhir-akhir ini adalah aktifitas Islam yang tentunya syari’at Islam bagian dari hukum positif, bagaimana memenangkan ide-ide syari’ah, misalnya asuransi syari’ah, bank syari’ah, semua dalam kerangka NKRI dan dalam konstitusional, Terdakwa tidak punya sifat yang anarkis. Bahkan dalam ranah publik pun pandangan saksi terhadap saya terkait jinayah, qisos masih memperjuangkannya dengan argumentasi melalui jalur yang konstitusional. Saksi sangat mengetahui sebagai penyelenggara Aksi Damai 212 dan saya juga bagian dari penyelenggara aksi tersebut yang dihadiri Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia berlangsung aman dan kondusif serta saksi mengakui keterbukaan saya untuk menjalin hubungan baik dengan para pejabat pemerintahan baik di pusat maupun daerah.


Saksi juga mengetahui ISIS adalah gerakan yang dibentuk oleh produk barat, tetapi dengan regulasi Islam, menjalankan kegiatannya di luar negara dengan melaksanakan kekerasan atas nama Islam dan saksi mengetahui dari berita bahwa Menteri Luar Negeri Amerika Serikat HILLARY CLINTON mengatakannya. Saksi mengetahui saya mempelajari dokumen-dokumen yang dibuat oleh RAND

 

Corporation, sering dibicarakan dengan saksi dalam pertemuan-pertemuan bagaimana negara-negara barat itu menggerakkan kaki tangannya untuk memporak-porandakan berbagai negara yang mayoritas Islam. Saksi mengetahui saya mengajukan Position Paper RUU di Bidang Minol dan Undang-Undang Terorisme ke DPR-RI (ini Jihad Konstitusional). Sedangkan untuk kasus tahun 2008 dalam peristiwa monas, saksi pernah mendengar sebuah koran harian yang salah memuat foto, dan meralat foto itu.


Selanjutnya keterangan saksi AWIT TRIHARTANTO, setelah saya bergabung dengan FPI, menurut saksi FPI menjadi lebih tertib berorganisasi, FPI lebih terarahkan untuk berjuang sesuai konstitusi, dan taat hukum, sangat mengoptimalkan kegiatan kemanusiaan. Saksi MOCHAMAD FAHRUROZI juga menerangkan saya mengatakan untuk sweeping dan razia tempat maksiat itu tugas aparatur negara, kita tidak ada kewajiban, sehingga semenjak saya hadir di FPI menurut saksi hampir tidak ada kekerasan, tidak ada razia dan FPI menjadi lebih tertib karena saya memberi pemahaman ketika ingin melakukan amar ma'ruf nahi munkar harus dengan SOP, antara lain wajib lapor RT, RW, Kelurahan dan Kepolisian agar kelaskaran menjadi lebih tertib. Bahwa dalam FPI ada sumpah janji anggota atau bai’at dan berbeda dengan bai’at ISIS. Isi bai’at FPI adalah yang di artikan kedalam bahasa Indonesia sebagai berikut: “Kami pejuang Front Pembela Islam (FPI), Ber-Bai’at kepada Imam/Pimpinan FPI. Akan selalu Mendengar & Ta’at kepada perintah Allah SWT yaitu: Mengajak pada kebaikan, Merintah pada ke ma'rufan, Mencegah akan kemunkaran, Jihad di jalan Allah semata-mata karena mencari RIDHO Allah. Meninggikan Agama dan Mempraktekan Syari’at Allah (Secara menyeluruh). Allah SWT yang menjadi saksi akan diri kami & Allah lah sebaik-baiknya yang menyaksikan”.


Saksi AWIT TRIHARTANTO juga menjelaskan salah satu Visi dan Misi FPI adalah penerapan Syari’at Islam di Indonesia yang dimaksud adalah seperti sudah terwujudnya Pengadilan Agama, Kantor Urusan Agama (KUA), Hukum Waris, dalam Muamalah ada Bank Syari’ah dan Pegadaian Syari’ah, lalu dalam dunia pendidikan ada Taman Qur’an hingga sampai tingkat Universitas Islam, lalu lebih istimewanya penerapan Hukum Islam di Aceh. Saksi juga menegaskan saat ada peledakan bom pada Juni 2018, FPI maupun saya mengecam, bahwa sewaktu peledakan bom JW Marriott kita juga mengecam pelaku peledakan dan ada sikap FPI terkait peledakan Bom di Jakarta Timur yang dikeluarkan pada tahun 2017. Selain itu, saksi juga mengetahui saya tidak pernah berkomunikasi dengan ISIS, Organisasi FPI tidak pernah mendapat bantuan dari ISIS, dan bai’at dilakukan saat ada pelantikan, dan sudah diberlakukan sejak tahun 2002, sebelum muncul ISIS 2013 - 2014, bai’at FPI sudah ada lebih dulu.

 

Terakhir keterangan saksi IMMANUEL EBENEZER yang menerangkan bahwa saksi dengan saya sering berkomunikasi terkait demokrasi. Saksi adalah Ketua Relawan Jokowi Mania, tentu membela Jokowi dan berbeda pandangan politik dengan saya, meskipun saksi mendukung Ahok dan saya tidak, Saksi beragama Kristen dan saya Islam, saksi menegaskan saya tidak pernah mengancam saksi dan ingin melakukan kekerasan terhadap saksi.


Selain keterangan saksi-saksi dan keterangan ahli tersebut di atas, juga telah disampaikan pada muka persidangan bukti-bukti berupa surat-surat, printout berita, serta video sebagai berikut ini:

1. Surat pengangkatan Tenaga Ahli Jaksa Agung berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor:KEP-024/A/JA/01/2005;

2. Surat Pengangkatan Anggota Panitia Seleksi Calon Anggota Komisi Kejaksaan RI berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung RI Nomor: KEP- 101/A/JA/03/2005;

3. Video Habib Rizieq kecam ISIS;

4. Surat Pernyataan Sikap FPI yang mengecam sejumlah aksi terorisme di berbagai daerah;

5. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga FPI yang diterima oleh Pemerintah sebagaimana Surat Keterangan Terdaftar Nomor: 01-00- 00/010/D.III.4/VI/2014;

6. Printout berita penjelasan saya mengenai perbedaan antara FPI dan ISIS.


Berpijak pada fakta-fakta persidangan berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan bukti elektronik (video dan printout) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP dan Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, maka diperoleh PETUNJUK mengenai karakteristik teroris dan ISIS yang identik dengan kekerasan maupun ancaman kekerasan serta bersifat klandestin, eksklusif, dan paradigmatik TIDAK ADA DALAM DIRI SAYA, DENGAN ARGUMENTASI HUKUM TERSEBUT MAKA UNSUR “SETIAP ORANG” TIDAK TERPENUHI.


Ad.2. Unsur “melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme”


A. Parameter dan Batasan-Batasan Permufakatan Jahat

Delik permufakatan jahat (samenspanning/conspiracy) tersebar di beberapa Undang-Undang. Secara expressive verbis Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 hanya menjelaskan arti dari frasa “pembantuan”, oleh sebab itu terdapat kekhawatiran terjadi tafsir yang ekstensif pada perkara ini sehingga tujuan menciptakan legal certainty menjadi tidak tercapai. Tindak pidana teroris bukanlah genus baru akan tetapi merupakan varian

 

dari suatu tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dari definisi terorisme sampai dengan saat ini masih menjadi perdebatan di masyarakat internasional. Ketiadaan definisi yang seragam menurut hukum internasional mengenai definisi terorisme, menjadi rentan dipolitisasi yang pada akhirnya disiasati dengan masing-masing negara mendefinisikan menurut hukum nasionalnya untuk mengatur, mencegah dan menanggulangi terorisme. Hal inilah akhirnya yang menjadikan pemberantasan tindak pidana terorisme, menjadi kehendak politik Raja Procrustes.

Menurut ADAMI CHAZAWI, dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memakai prinsip depolitisasi. Sebab, sekalipun citra tindak pidana terorisme selalu berkonotasi politik, tetapi penekanan lebih kepada perbuatan dan akibatnya. Chazawi seakan memberitahukan pada kita bahwa tindak pidana terorisme hanya varian baru dari tindak pidana politik yang menjadi pembedanya hanya perbuatan dan akibat yang ditimbulkannya. Pendapat Chazawi ini dapat diterima oleh logika hukum mengingat secara filosofis pada huruf b dan c Konsideran Perppu Nomor 1 Tahun 2002 menyatakan “terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan langkah-langkah pemberantasan selain itu terorisme mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional.”

Dr. MUDZAKKIR S.H., M.H. (Ahli Hukum Pidana) dalam persidangan menerangkan bahwa “sifat dari tindak pidana terorisme terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 7 berupa penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror secara meluas dan berdampak korban secara meluas itu esensi teror, sedangkan perbuatannya adalah pembunuhan dan lain-lain yang disebutkan dalam Pasal 6 dan 7”. Sifat dan akibat dari terorisme inilah yang membedakannya dengan delik politik, oleh karena itu Pasal 5 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengecualikan kegiatan terorisme terhadap kejahatan-kejahatan dengan motivasi-motivasi politik dengan alasan, supaya pihak-pihak gerakan atau aksi-aksi demonstrasi untuk melaksanakan hak-hak politik, sosial dan ekonomi dapat diwujudkan tanpa perlu adanya rasa takut dituduh sebagai teroris. Asas non- diskriminatif yang tidak mengaitkan perumusan tindak pidana terorisme dengan motif politik dan atau motif lainnya.

Namun sayangnya, baik dalam surat dakwaan maupun dalam Surat Tuntutan yang berdasarkan Perppu No. 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, HARUSNYA TIDAK MEMUAT MOTIF POLITIK DAN IDEOLOGI, JUSTRU DALAM PERKARA A QUO, MOTIF POLITIK DAN IDEOLOGI DIJADIKAN KONSTRUKSI

DAKWAAN DAN TUNTUTAN. Jadi siapa sesungguhnya yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di NKRI ini ? Saya atau justru aparat penegak hukum ?

 

Kaitannya dengan unsur “permufakatan jahat”, agar perkara ini tidak bergeser menjadi delik politik maka kita harus melihat dari sisi produsen Undang-Undang yang mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 menjadi Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2003 dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berwenang untuk menafsirkannya. Naskah Akademik untuk Perppu Nomor 1 Tahun 2002 tentu saja tidak ada karena selain belum ada Undang-Undang yang mengatur khusus tentang naskah akademik, pada saat itu status negara dalam keadaan darurat. Namun mengingat Pasal 15 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, normanya sudah direvisi melalui Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2018, maka dapat pula kita gunakan naskah akademiknya untuk melihat pertimbangan-pertimbangan yuridisnya.


Pada halaman 74 Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 yang dibuat oleh Pemerintah melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional, alasan dilakukan revisi terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 karena terdapat 5 (lima) perbuatan yang TIDAK DAPAT DIPIDANA BERDASARKAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2002 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003 karena belum

mencakup berbagai kegiatan pendahuluan (Precusor Activities), yaitu sebagai berikut ini:

1) Melakukan latihan militer (standar) baik menggunakan alat atau tidak tanpa melapor atau mendapat ijin pejabat yang berwenang;

2) Upaya rekruitment;

3) Memberikan doktrin terkait perbuatan teror;

4) Menghasut sehingga orang lain atau kelompok melakukan perbuatan Teror;

5) Membai’at para pelaku teror (orang yang berbai’at).

 

 


Pemerintah telah melakukan analisis yang hasilnya adalah 5 (lima) perbuatan tersebut di atas tidak dapat dipidana berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Apakah hasil penelitian dan analisis ini dilakukan secara sembrono dan ngawur? Jawabannya tentu tidak. Apakah hasil penelitian dan analisis ini merupakan dukungan kepada tindak pidana teroris seperti yang dituduhkan terhadap materi dan hasil analisis saya? Yang menyatakan dalam acara seminar di Medan, bahwa saat itu BELUM ADA KETENTUAN YANG BISA MEMPIDANA ORANG-ORANG YANG MENDUKUNG ISIS.


Coba kita pikir dan renungkan, hasil analisis ini disampaikan kepada DPR-RI selaku lembaga negara dengan fungsi legislatif dan bersifat terbuka. DAN APA YANG TERDAPAT DALAM NASKAH AKADEMIK TERSEBUT, SAMA DENGAN PENDAPAT SAYA SAAT SEMINAR DI MEDAN TAHUN 2015. Lantas

mengapa saya difitnah jadi mendukung ISIS dan ingin mendirikan Khilafah Islamiyah melalui merebut paksa dengan jihad? HANYA KARENA BERPENDAPAT YANG SAMA DENGAN NASKAH AKADEMIK UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2018. SUNGGUH ANEH.

 

Pada akhirnya, kelima perbuatan tersebut dilakukan proses kriminalisasi menjadi norma baru untuk tindak pidana terorisme yaitu Pasal 12A, 12B, 13A Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018.


Bagaimana dengan unsur “permufakatan jahat” dalam Pasal 15, pembentuk Undang-Undang juga tidak menjelaskan secara expressive verbis. Akan tetapi rumusan Pasal 15 direvisi sehingga menjadi “Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, persiapan, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme”.


Sedangkan Mahkamah Konstitusi pada pertimbangan Putusan Nomor 21/PUU-XIV/2016 halaman 107 s.d. 116 menyatakan sebagai berikut:


“Pemufakatan jahat dapat dilihat dari sisi subjektif dan objektif. Dari sisi subjektif pemufakatan jahat adalah niat di antara para pelaku untuk bersama- sama (meetings of mind) mewujudkan suatu kejahatan sedangkan dari sisi objektif pemufakatan jahat adalah adanya perbuatan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam delik percobaan. Pemufakatan jahat bukan tindak pidana yang berdiri sendiri akan tetapi bagian dari persiapan melakukan penyertaan tindak pidana, perbuatan tindak pidana, untuk membuat kesepakatan, untuk melakukan tindak pidana tertentu yang secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang. Harus jelas tindak pidana yang mana yang akan dilakukan.


Dalam tindak pidana pemufakatan jahat harus ada meetings of minds atau mens rea (guilty mind) karena pemufakatan jahat tersebut merupakan kejahatan conspiracy sehingga harus ada persamaan kehendak atau niat diantara orang-orang yang melakukan conspiracy pemufakatan jahat tersebut. Terhadap meetings of mind diperlukan adanya perbuatan, baik kelakuan, atau penimbulan akibat yang dilarang oleh Undang-Undang. Pemufakatan jahat merupakan perbuatan (actus reus) yang membutuhkan kesalahan atas perbuatan yang dilarang sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.


H.AS. Natabaya, pada Putusan Nomor 21/PUU-XIV/2016 berpendapat permufakatan untuk melakukan tindak pidana tersebut dengan suatu kesengajaan dan bukan oleh karena perangkap salah satu pihak, jika permufakatan tersebut atas perangkap maka permufakatan jahat tersebut menjadi gugur sebab tidak didasarkan pada kehendak conspiracy secara bersama-sama.

 

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi serta pendapat H.AS. Natabaya, maka parameter dan batasan-batasan dari unsur “permufakatan jahat”, bila diterapkan dalam perkara a quo maka :

1. Sisi subjektif pemufakatan jahat adalah SEJAK AWAL SUDAH ADA NIAT di antara para pelaku untuk bersama-sama (meetings of mind) mewujudkan suatu kejahatan yang dituju, yaitu kejahatan seperti yang di dakwakan dan menjadi tuntutan yang diatur dalam Pasal 7. Hal ini MENGHARUSKAN PENUNTUT UMUM MEMBUKTIKAN DI PERSIDANGAN BERDASARKAN ALAT BUKTI YANG SAH, BAHWA PERBUATAN DAN PERKATAAN SAYA ADALAH DITUJUKAN UNTUK MENGGUNAKAN KEKERASAN atau ANCAMAN KEKERASAN. NAMUN BERDASARKAN ALAT BUKTI YANG SAH, TIDAK ADA BUKTI YANG MEMBUKTIKAN UCAPAN ATAU PERBUATAN SAYA YANG BERSIFAT KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN;

2. Sisi objektif pemufakatan jahat adalah adanya perbuatan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam delik percobaan, artinya ada permulaan pelaksanaan dari kejahatan yang hendak dilakukan, bukan kegiatan persiapan. Bila diterapkan dalam perkara a quo, MAKA HARUS ADA BUKTI BERDASARKAN ALAT BUKTI YANG SAH MENURUT HUKUM, BAHWA SAYA TELAH MELAKUKAN PERMULAAN PELAKSANAAN TINDAKAN KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN. Namun dalam persidangan ini, KITA BERSAMA MENYAKSIKAN, bahwa PENUNTUT UMUM TIDAK MAMPU MEMBUKTIKAN BAHWA SAYA TELAH MELAKUKAN PERMULAAN PELAKSANAAN KEKERASAN atau ANCAMAN KEKERASAN;

3. Pemufakatan jahat bukan tindak pidana yang berdiri sendiri akan tetapi bagian dari penyertaan tindak pidana, perbuatan tindak pidana, untuk membuat kesepakatan untuk melakukan tindak pidana tertentu yang secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang. Bila kita terapkan dalam perkara a quo, antara perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh RIZALDY, RULI RIAN ZEKE, LUKMAN AL FARIZI, RONY SYAMSURI, JONHEN, AZZAM AL GHOZWAH apalagi REZA ALFINO, TIDAK ADA BUKTI SECARA HUKUM BAHWA MEREKA SEMUA BERINTERAKSI DENGAN SAYA DALAM MELAKUKAN PERBUATANNYA;

4. Harus jelas tindak pidana yang mana yang akan dilakukan. Tindak Pidana yang dilakukan oleh para pelaku tersebut TIDAK ADA BUKTI SECARA HUKUM DIBICARAKAN DALAM ACARA SEMINAR;

5. Suatu rangkaian perbuatan dimulai dengan permufakatan jahat, percobaan dan pada akhirnya vooltoid atau delik selesai. Bila diterapkan dalam perkara a quo, maka TIDAK ADA BUKTI HUKUM YANG BISA MENGHUBUNGKAN ATAU MERANGKAI PERISTIWA-PERISTIWA YANG TERPISAH DAN BERDIRI SENDIRI TERSEBUT;

 

6. Jika permufakatan tersebut atas perangkap maka permufakatan jahat tersebut menjadi gugur sebab tidak didasarkan pada kehendak conspiracy secara bersama-sama. Bila kita terapkan dalam perkara a quo, maka jelas sekali TERBUKTI, bahwa saksi-saksi yang melakukan perbuatan terorisme tersebut TIDAK PERNAH MEMBICARAKAN RENCANA MEREKA DENGAN SAYA.


Berpijak pada 6 (enam) parameter dan batasan-batasan dari “permufakatan jahat” tersebut dan diterapkan pada perkara ini melalui fakta-fakta dan alat bukti dalam persidangan adalah sebagai berikut:


1. Sisi subjektif pemufakatan jahat adalah niat di antara para pelaku untuk bersama-sama (meetings of mind) mewujudkan suatu kejahatan:


Berdasarkan alat bukti keterangan Saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI yang mengakui setelah acara seminar ada kegiatan bai’at yang dipimpin oleh Almarhum BASRI dimana bai’at tersebut sudah direncanakan oleh saksi bersama Almarhum BASRI secara diam- diam sehingga tidak dicantumkan dalam agenda acara. Saksi BUSTAR yang menerangkan tidak pernah melihat, mendengar antara SAYA dengan Almarhum BASRI berkomunikasi untuk mengarahkan seminar tersebut. Keterangan saksi ABDUR RAHMAN LANGKONG, S.H., yang menyatakan bahwa SAYA tidak pernah menanyakan kehadiran Almarhum FAUZAN AL-ANSHORI. Keterangan saksi-saksi yang menyatakan tidak ada komunikasi antara saya dengan siapapun baik sebelum dan sesudah seminar yaitu saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI, saksi BUSTAR, saksi AGUS SALIM, saksi Ir. MUCHSIN DJAFAR, saksi ABDUR RAHMAN LANGKONG SH, saksi ASRULLAH,

saksi MOH. ZULFIKAR, saksi AHMAD AULIAH AMIR, saksi SUBHAN, saksi ISWAR FIRMANSYAH dan saksi ANWAR SOLEMAN. Serta keterangan saksi- saksi yang menyatakan bahwa tidak pernah melihat saya berbai’at di UIN dan Ponpes Tahfidzul Qur’an.


Berdasarkan alat bukti keterangan Ahli, ROCKY GERUNG (Ahli Interpretasi Hermeneutika Hukum, Logika Hukum, Penalaran Hukum Dan Filsafat Hukum) yaitu “Kata Bai’at adalah kata yang ada paralelisasinya dengan teologi Kristen yaitu Baptis. Pembaptisan secara konten teologinya berbeda dengan Bai’at, tetapi prosedur sosialnya sama saja. Hal itu hanyalah sebatas kegiatan cultural saja, karena setiap agama ada sifat eksoterik yang didalamnya terasa kedekatan sesama muslim atau Kristen, Kalau mafia sumpah darah, hal itu sama saja. Didalam kamus itu netral hanyalah kata biasa saja. Seperti anda masuk Universitas, anda di plonco lalu dinyatakan lulus. Artinya seorang sudah melewati satu tujuan,

 

demikian juga dengan Baptis datang untuk menyatakan Imannya lalu Pendeta melakukan ritualnya begitupun dengan bai’at. Singkatnya, adanya Pembaptis sama dengan yang dibaptis. Bila ahli hadir dalam pembaptisan tersebut, bukan sebagai orang yang di Baptis. Karena baptis itu adalah panggilan hati nurani, jadi tidak ada unsur didalamnya bahwa saya akan ikut keyakinan itu karena Baptis itu adalah kesepakatan batin dengan Pembaptis. Jadi bila seorang berada di lokasi tersebut dan hadir dalam kerumunan Baptis tersebut tidak termasuk orang yang mengikutinya. Suasana seorang secara Psikologi bila hanya bermain Hp atau diamnya orang tersebut, maka dia berupaya mengontrol dirinya supaya tidak mengganggu prosedur itu karena itu orang tersebut hanya bermain Hp. Diamnya seorang itu dapat diartikan terhadap suatu peristiwa, secara filosofi sunyi itu adalah bunyi yang sembunyi, jadi kita tidak pernah mengetahui apa itu isinya. Karena itu jangan buat kesimpulan”.


Berdasarkan alat bukti keterangan saksi-saksi yaitu saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI, saksi BUSTAR, saksi AGUS SALIM, saksi Ir. MUCHSIN DJAFAR, saksi ABDUR RAHMAN LANGKONG SH, saksi ASRULLAH, saksi MOH. ZULFIKAR, saksi AHMAD AULIAH AMIR, saksi SUBHAN, saksi ISWAR

FIRMANSYAH dan saksi ANWAR SOLEMAN yang menyatakan materi yang disampaikan oleh saya berbeda dengan Almarhum BASRI dan Almarhum FAUZAN AL-ANSHORI.


Selanjutnya berdasarkan alat bukti keterangan ahli, KH. Dr. MUHYIDDIN JUNAIDI, M.A. (Ahli Agama dan Hubungan Internasional), yang menjelaskan tentang “akhir-akhir ini umat Islam di media framingnya itu jihadis di tuduh sebagai teroris dan itu semua adalah bagian daripada konspirasi Islam phobia (anti Islam), dan kita katakan jihad tidak ada kaitan sama sekali dengan tindak kekerasan. Jihad dilakukan dalam konteks dibawah Undang-Undang selaras dengan konstitusi, sejalan dengan hak-hak asasi manusia dan senyawa dengan maqoshid syari’ah tujuan dibentuknya syari’ah Islam antara lain adalah menjaga harta, jiwa, nyawa, menjaga agama, menjaga kehormatan. Sangat disayangkan media di negara kita saat ini masih banyak dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang memiliki dana, sehingga kita tidak memilik waktu yang cukup atau tidak memiliki fasilitas untuk melakukan counter opini, sehingga publik menerima begitu saja kelompok jihadis. pembahasan yang kedua terkait khilafah, bahwa khilafah adalah suatu sistem yang memang sudah ada di jaman khulafaur rasyidin, maka nama khilafah bagi MUI tidak menjadi masalah”.


Keterangan ahli ROCKY GERUNG (Ahli Interpretasi Hermeneutika Hukum, Logika Hukum, Penalaran Hukum dan Filsafat Hukum) yang menerangkan bahwa “semua orang yang mendiskusikan hal apapun di alam demokerasi tidak boleh dilarang, demokerasi itu harus menghormati aspirasi apapun kecuali menghasilkan kekerasan. Demokerasi harus mengenali pengalaman apapun kecuali pengalaman yang mengarahkan untuk melakukan kekerasan. Pikiran paling buruk pun seperti kita ingin mengganti Presiden dan itu sah saja. Konsep pemikiran khilafah atau pendirian negara Islam, hal itu sangat bagus sekali dan tidak bertentangan dengan konstitusi maupun Pancasila karena itu pertanda orang ingin mengetahui sejarah. Orang boleh bicara khilafah dan komunis itu karena kita ingin diskursus itu memungkinkan kita bersahabat sebagai warga negara. Bila keadaan terbuka kita bisa bersahabat dengan siapa saja, namun bila tertutup kita akan saling intip-mengintip orang itu adalah jejak pertama dari suatu kejahatan. Pembatasan narasi khilafah adalah bentuk pelanggaran terhadap demokerasi. Seharusnya negara membuka diskusi publik dan bahas kekhalifahan, bukan melakukan tindakan represif dan memonopolinya. Pembatasan narasi kekhalifahan tidak dibenarkan, demokerasi adalah argumen, bukan sentimen”.


2. Sisi objektif pemufakatan jahat adalah adanya perbuatan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam delik percobaan;


Bahwa percobaan hanya dapat dikenakan jika pembuat telah mulai melakukan permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, tetapi pelaksanaannya tidak selesai atau tidak mencapai hasil atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena semata-mata atas kehendaknya sendiri. Oleh karena itu haruslah dibuktikan terlebih dahulu suatu delik sudah selesai (vooltoid) atau belum. Pada hakikatnya akan sulit membuktikan delik percobaan ini, karena terdapat 5 (lima) perbuatan yang dikualifisir sebagai delik terorisme yaitu: 1) Melakukan latihan militer (standar) baik menggunakan alat atau tidak tanpa melapor atau mendapat ijin pejabat yang berwenang; 2) Upaya rekruitment; 3) Memberikan doktrin terkait perbuatan teror; 4) Menghasut sehingga orang lain atau kelompok melakukan perbuatan Teror; 5) Membai’at para pelaku teror (orang yang berbai’at). YANG PADA TAHUN 2014-2015, YAITU TEMPUS YANG DIDAKWAKAN KEPADA SAYA ADALAH SUATU PERBUATAN YANG

TIDAK DAPAT DIHUKUM. (lihat halaman 74 Naskah Akademik dari Pemerintah).

 

 


3. Permufakatan jahat bukan tindak pidana yang berdiri sendiri akan tetapi bagian dari persiapan melakukan penyertaan (deelneming) tindak pidana, perbuatan tindak pidana, untuk membuat kesepakatan untuk melakukan tindak pidana tertentu yang secara tegas dinyatakan dalam Undang- Undang.


Pada penjelasan Pasal 15, yang dimaksud pembantuan adalah Pembantuan dalam pasal ini adalah pembantuan sebelum, selama, dan setelah kejahatan dilakukan. Dalam halaman 24 Naskah Akademik (Pemerintah/BPHN) yang dimaksud dengan pembantuan sebelum artinya mempersiapkan segala sesuatu yang akan dilakukan dalam melaksanakan aksi terorisme mungkin berupa pembantuan dalam persiapan dana, bahan-bahan yang juga tempat, selama, dan setelah kejahatan terorisme dilakukan, dalam artian pelaku bisa bertindak sebagai pembantuan dalam menyediakan tempat persembunyian, mengupayakan dalam rangka penghilangan jejak dan lainnya.

 

Berdasarkan fakta-fakta persidangan melalui alat bukti keterangan saksi, sebagaimana diterangkan saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI, saksi BUSTAR, saksi AGUS SALIM, saksi ABDUR RAHMAN LANGKONG SH, saksi ASRULLAH, saksi MOH. ZULFIKAR, saksi AHMAD AULIAH AMIR,

menyatakan bahwa tidak ada komunikasi dan korespondensi antara saya dengan para pelaku tindak pidana lainnya, baik sebelum, saat, dan sesudah seminar. Kemudian saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI, saksi BUSTAR, saksi AGUS SALIM, saksi Ir. MUCHSIN DJAFAR, saksi ABDUR

RAHMAN LANGKONG SH, yang menerangkan saya hanya diundang sebagai pemateri.


Hal ini juga dikuatkan oleh bukti surat Pernyataan saksi Ir. MUCHSIN DJAFAR dan saksi AGUS SALIM bahwa saya hanya diundang:


4. Harus jelas tindak pidana yang mana yang akan dilakukan;


Disinilah letak kekeliruan yang fatal dari Penuntut Umum dalam menafsirkan Unsur “Permufakatan Jahat”. Frasa “Permufakatan Jahat” terdiri dari kata yaitu “Permufakatan” dan “Jahat”. Pembentuk Undang-Undang merumuskan Pasal 6 dan Pasal 7 dengan maksud dan tujuan agar delik terorisme lepas dari delik politik karena kedua pasal tersebut memiliki karakteristik dari tindakan terorisme yaitu perbuatannya dengan kekerasan atau ancaman kekerasan yang memiliki dampak luas sebagaimana dinyatakan pada kedua pasal tersebut.

 

Artinya kata “jahat” yang dimaksud pada perkara ini adalah permufakatan penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk mewujudkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.


Hal ini dijelaskan oleh Dr. HERU SUSETYO, SH., LL.M., M.Si., Ph.D (Ahli Kriminologi, Viktimologi dan Hukum Pidana) bahwa “Terorisme adalah metode tindakan kekerasan berulang yang menimbulkan kecemasan yang dilakukan oleh individu, kelompok, atau aktor negara semi-rahasia untuk alasan idiosinkratik, kriminal, atau politik, di mana yang berlawanan dengan pembunuhan target langsung kekerasan bukanlah yang utama. Target manusia korban kekerasan langsung umumnya dipilih secara acak (target peluang) atau selektif (target representatif atau simbolis) dari populasi target, dan berfungsi sebagai pembangkit pesan. Proses komunikasi berbasis ancaman dan kekerasan antara teroris (organisasi), korban yang terancam, dan target utama digunakan untuk memanipulasi target utama (audiens), mengubahnya menjadi target teror, target tuntutan, atau target perhatian, tergantung pada apakah intimidasi, paksaan atau propaganda terutama dicari.”


Sedangkan pada konstruksi tuntutan Penuntut Umum, kata “Jahat” sangat jelas ditujukan pada bertujuan menjadikan Negara Indonesia sebagai negara khilafah Islamiyah yang menerapkan syari’at Islam yang ditempuh dengan merebutnya secara paksa dengan melakukan jihad sebagaimana ajaran Daulah Islamiyah atau ISIS.


Tuduhan ini jelas mengandung elemen Islamphobia dan fitnah keji.


Konsep “Jahat” pun telah diterangkan oleh Dr. MUDZAKKIR SH., MH (Ahli Hukum Pidana) dalam persidangan menerangkan bahwa “sifat dari tindak pidana terorisme terdapat pada Pasal 6 dan Pasal 7 berupa penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror secara meluas dan berdampak korban secara meluas itu esensi teror, sedangkan perbuatannya adalah pembunuhan”.


Secara doktrin, ilmu perundang-undangan, dan hukum pidana, maka Penuntut Umum sudah keliru dan salah memahami anatomi dan substansi Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003. Kesalahan fatal ini sebenarnya sudah jelas

 

terlihat dalam Surat Dakwaan sehingga sudah seharusnya dan sepatutnya secara hukum baik dakwaan batal demi hukum dan tuntutan DINYATAKAN TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.


Dari alat bukti keterangan saksi, dan keterangan ahli, TIDAK ADA BUKTI HUKUM SECARA SAH DAN MEYAKINKAN BAHWA SAYA MELAKUKAN ATAU MENGUCAPKAN UNTUK MENGGUNAKAN KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN DALAM KEGIATAN TANGGAL 24-25 JANUARI 2015 DAN KEGIATAN 5 APRIL 2015.


5. Kualitas-kualitas tertentu dapat berupa jabatan, kewenangan, profesi, pekerjaan, ataupun keadaan tertentu yang ditentukan terhadap subjek tertentu;


Pada Putusan Nomor 21/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi sebenarnya melakukan ekstensifikasi addressat dari para pelaku permufakatan jahat. MK menambahkan kualitas subyek yaitu “keadaan tertentu yang ditentukan terhadap subjek tertentu”. Boleh jadi MK melihat tersebarnya delik permufakatan jahat di beberapa Undang-Undang tentu saja akan men- trigger banyaknya tafsir terhadap subyek. Pada perkara ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) kualitas yang berbeda yaitu: a) Penyelenggara/Panitia; b) Pemateri/Narasumber; c) Peserta/Audience.


Jika kita lihat kualitas sebagai narasumber, maka saya hanya sebagai narasumber sedangkan almarhum M. BASRI merupakan bagian dari Penyelenggara/Panitia sebagaimana keterangan Saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM alias ABDI yang mengakui setelah acara seminar ada kegiatan bai’at yang dipimpin oleh Almarhum BASRI, dimana bai’at tersebut sudah direncanakan oleh saksi bersama Almarhum BASRI secara diam-diam sehingga tidak dicantumkan dalam agenda acara. Sedangkan Almarhum FAUZAN AL-ANSHORI sudah lebih dulu komunikasi dengan saksi RONY SYAMSURI yang dalam keterangannya adalah bahwa saksi menghubungi Almarhum FAUZAN AL-ANSHORI sebelum diadakannya acara untuk membicarakan bagaimana pelaksanaan seminar di Medan seperti di Makassar.


Fakta persidangan ini menunjukan bahwa kualitas Saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI dan Almarhum BASRI yang melakukan permufakatan untuk locus di Makassar, sedangkan Almarhum FAUZAN AL- ANSHORI dan saksi RONY SYAMSURI yang melakukan permufakatan untuk locus di Medan. Sedangkan kualitas saya secara hakiki adalah semata-mata Undangan sebagai narasumber.

 

Fakta ini berdasarkan keterangan saksi RONY SYAMSURI yang menerangkan bahwa saksi “membuat acara tersebut untuk mendudukkan mengenai khilafah apakah sesuatu yang salah atau tidak. Oleh karenanya dibentuklah Tim dari pihak yang Pro berdirinya khilafah dan pihak yang kontra berdirinya khilafah, kemudian sebagai pembanding dan penengah diundang Terdakwa selaku Praktisi Hukum. Tadinya mau mengundang pembicara lokal dari wilayah Sumatera Utara saja.”


DENGAN DEMIKIAN KUALITAS SAYA YANG SEMATA-MATA HANYA DIUNDANG SEBAGAI NARASUMBER BAIK UNTUK SEMINAR DI MAKASSAR MAUPUN DI MEDAN TERSEBUT BERDASARKAN PUTUSAN MK TIDAK DAPAT DIKUALIFISIR SEBAGAI SUBYEK DARI PERMUFAKATAN JAHAT.


6. Suatu rangkaian perbuatan dimulai dengan permufakatan jahat, persiapan, percobaan dan pada akhirnya vooltoid atau delik selesai;


Putusan MK ini semakin menegaskan bahwa unsur “Permufakatan Jahat” bukan hanya mengenai permufakatan yang terjadi akan tetapi suatu rangkaian peristiwa. Artinya unsur “Permufakatan Jahat” haruslah melahirkan unsur kegiatan pendahuluan (Precusor Activities).


Bila kita lihat fakta persidangan dalam perkara a quo, maka kegiatan seminar, diskusi publik, ataupun tabligh akbar tersebut, bukan kategori sebuah perbuatan kejahatan. SEHINGGA ORANG YANG DIUNDANG SEBAGAI NARASUMBER TIDAK BISA DIKUALIFISIR SEBAGAI BERMUFAKAT MELAKUKAN KEJAHATAN.


Sedangkan berdasarkan Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, perbuatan-perbuatan yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 disahkan yaitu:

1) Melakukan latihan militer (standar) baik menggunakan alat atau tidak tanpa melapor atau mendapat ijin pejabat yang berwenang;

2) Upaya rekruitment;

3) Memberikan doktrin terkait perbuatan teror;

4) Menghasut sehingga orang lain atau kelompok melakukan perbuatan Teror;

5) Membai’at para pelaku teror (orang yang berbai’at); pada tempus delicti

Tahun 2015 adalah perbuatan yang bukan dikualifisir sebagai delik terorisme. SEHINGGA TIDAK BOLEH ADA ORANG DITUNTUT DENGAN PARADIGMA, NORMA DAN KETENTUAN HUKUM YANG BELUM ADA SAAT ITU, NAMUN DENGAN MENERAPKAN PASAL LAIN YANG DI MANIPULASI UNTUK MENGHUKUM PERBUATAN YANG SESUNGGUHNYA SECARA SUBSTANSI TIDAK BISA DIHUKUM SAAT PERBUATAN ITU TERJADI.


DENGAN DEMIKIAN,   TIADALAH   DAPAT   DIKATAKAN   TERJADI

SUATU “PERMUFAKATAN JAHAT” PADA PERKARA A QUO.

 

7. Jika permufakatan tersebut atas perangkap maka permufakatan jahat tersebut menjadi gugur sebab tidak didasarkan pada kehendak conspiracy secara bersama-sama.


Berdasarkan keterangan Saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI yang mengakui setelah acara seminar ada kegiatan bai’at yang dipimpin oleh Almarhum BASRI dimana bai’at tersebut sudah direncanakan oleh saksi bersama Almarhum BASRI secara diam- diam sehingga tidak dicantumkan dalam agenda acara. Selanjutnya keterangan saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI, saksi AGUS SALIM, dan saksi ABDUR RAHMAN LANGKONG SH, yang menggunakan kedudukan saya sebagai pengurus DPP FPI untuk menarik anggota FPI. Serta saksi-saksi RONI SYAMSURI dan saksi KOMBES POL (PURN) HERY SUBIANSAURI, saksi yang menerangkan untuk seminar di Medan difasilitasi oleh Polda Sumatera Utara.


Hal ini berarti, saya sudah masuk dalam perangkap Saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI dan Almarhum BASRI untuk menarik anggota FPI. Oleh karena itu, tidak dapatlah saya dikualifisir ikut dalam suatu permufakatan jahat karena agenda-agenda acara yang tersembunyi atau rahasia sudah direncanakan dan dimufakatkan oleh Saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI dan Almarhum BASRI.


Berdasarkan fakta-fakta persidangan berupa keterangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa maka diperoleh PETUNJUK bahwa yang melakukan “Permufakatan Jahat” adalah Saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI dan Almarhum BASRI yang merencanakan dan mengatur untuk locus di Makassar, sedangkan PIHAK POLDA SUMATERA UTARA dan saksi RONY SYAMSURI yang melakukan merencanakan dan mengatur untuk locus di Medan.


Berdasarkan Naskah akademik Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, yang menurut pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, yang merupakan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP maupun pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 , yaitu bahwa perbuatan sebagai berikut ini:

1. Melakukan latihan militer (standar) baik menggunakan alat atau tidak tanpa melapor atau mendapat ijin pejabat yang berwenang;

2. Upaya rekruitment;

3. Memberikan doktrin terkait perbuatan teror;

4. Menghasut sehingga orang lain atau kelompok melakukan perbuatan Teror;

5. Membai’at para pelaku teror (orang yang berbai’at).

 

Adalah MERUPAKAN PERBUATAN YANG TIDAK DAPAT DIPIDANA SEBELUM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2018 DISAHKAN.


Bahwa berdasarkan alat bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP dan Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, MAKA UNSUR “PERMUFAKATAN JAHAT” TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.


B. Tidak Ada Bukti Upaya Saya Untuk Menegakkan Negara Khilafah Dengan Cara Merebut Kekuasaan


Kontruksi Penuntut Umum dalam Surat Tuntutan halaman 545, saya dituduh “ingin menegakan Khilafah Daulah Islamiyah atau ISIS di Indonesia dengan menerapkan paham dan ajaran Khilafah Daulah Islamiyah atau ISIS sehingga menjadikan Negara Indonesia adalah negara Khilafah Islamiyah yang menerapkan syari’at Islam yang ditempuh dengan merebutnya secara paksa dengan melakukan jihad sebagaimana ajaran Daulah Islamiyah atau ISIS.” Adalah fitnah, tuduhan yang penuh dengan rekayasa dan hanya sebuah karangan bebas dari Penuntut Umum yang sama sekali tidak didasarkan pada ALAT BUKTI yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP dan Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang 15

Tahun 2003.


Bahwa bila motif politik ideologi yang dijadikan dasar oleh Penuntut Umum dalam mengajukan perkara a quo ke Pengadilan, maka berdasarkan alat bukti Pasal 184 KUHAP dan Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang 15 Tahun 2003, maka justru didapatkan bukti bukti:


1. Keterangan saksi AWIT TRIHARTANTO dan saksi ALI ALATAS, S.H., bahwa VISI Misi saya yang mengacu pada Visi Misi FPI sebagaimana terungkap di persidangan adalah penerapan Islam secara kaffah sebagaimana alat bukti surat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga FPI sebagai berikut:


a. Pasal 6 Anggaran Dasar FPI



 


b. Pasal 6 Anggaran Rumah Tangga FPI




2. Alat alat bukti surat Visi Misi FPI yang tercantum dalam AD/ART FPI tersebut telah diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana SKT yang diterbitkan oleh Kementerian Dalam Negeri Tahun 2014-2019, dan Rekomendasi dari Kementerian Agama tahun 2019, sebagai berikut:

 

a. Surat Keterangan Terdaftar Nomor: 01-00-00/010/D.III.4/VI/2014


 

b. Rekomendasi dari Kementerian Agama tahun 2019



 

3. Alat bukti elektronik rekaman video, wawancara saksi AWIT TRIHARTANTO di acara Mata Najwa, yang saat itu hadir juga perwakilan Kementerian Dalam Negeri, Anggota DPR RI, Perwakilan PBNU:



4. Alat bukti elektronik rekaman video wawancara saya di acara Dua Sisi Tv One:



BAHWA BERDASARKAN ALAT BUKTI SEBAGAIMANA PASAL 184 KUHAP DAN PASAL 27 PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2002 JO. UNDANG-UNDANG 15 TAHUN 2003 DI ATAS, TIDAK ADA UNSUR PERMUFAKATAN JAHAT DALAM VISI MISI MAUPUN MOTIF POLITIK IDEOLOGI SEPERTI YANG DIFITNAHKAN OLEH PENUNTUT UMUM.

 

C. Tidak Ada Sifat “Melawan Hukum”

1. Resolusi PBB NO. 2170 tanggal 15 Agustus 2014 Tidak Dapat Serta Merta Dijadikan Dasar Hukum Untuk Perkara A Quo


Berlakunya hukum internasional dalam peradilan nasional suatu negara mengacu pada doktrin ""transformasi". Doktrin transformasi menyatakan, bahwa tidak terdapat hukum internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukan proses tranformasi berupa pernyataan terlebih dahulu dari negara yang bersangkutan. Sehingga traktat atau perjanjian internasional, tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum di pengadilan nasional sebelum dilakukannya “transformasi” ke dalam hukum nasional. (lihat: Malcolm D. Evans, International Law , New York, Oxford University Press, 2003, hal. 147)


Berdasarkan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan Undang-Undang apabila berkenaan dengan :

a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;

c. kedaulatan atau hak berdaulat negara;

d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

e. pembentukan kaidah hukum baru;

f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.


Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tersebut sejalan dan sesuai dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan Undang- Undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”


Dengan demikian, tidak serta merta sebuah perjanjian internasional atau dalam Perkara ini yaitu resolusi PBB dapat digunakan sebagai landasan hukum dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu kasus yang diajukan di muka persidangan.


MAKA APABILA DOKTRIN, TEORI DAN KETENTUAN UNDANG- UNDANG DI ATAS DITERAPKAN DALAM PERKARA A QUO, TIDAK DAPAT SERTA MERTA RESOLUSI PBB NO. 2170 TANGGAL 15 AGUSTUS 2014 SEBAGAIMANA SURAT DAKWAAN DAN SURAT TUNTUTAN DIJADIKAN DASAR HUKUM UNTUK PERKARA A QUO.


2. Dalam Resolusi PBB No. 2170 tanggal 15 Agustus 2014 Maupun Dalam Annex-nya Tidak Tercantum Nama ISIS Sebagai Organisasi Terlarang Atau Nama ABU BAKAR AL BAGHDADI Orang Yang Dilarang Hidup.

 

 

 

 

 

BAHWA TELAH TERNYATA DI DALAM RESOLUSI PBB NO. 2170 TANGGAL 15 AGUSTUS 2014 YANG MENJADI DASAR SURAT DAKWAAN DAN SURAT TUNTUTAN TIDAK ADA MENCANTUMKAN ISIS ATAUPUN ABU BAKAR AL BAGHDADI SEBAGAI ORGANISASI YANG TERLARANG ATAUPUN ORANG YANG DILARANG. KEMUDIAN PENUNTUT UMUM DALAM SURAT TUNTUTAN, MEMASUKKAN RESOLUSI PBB YANG LAIN YAITU RESOLUSI PBB NOMOR: 2249, NAMUN SAYANGNYA RESOLUSI TERSEBUT TERTANGGAL 20 NOVEMBER 2015, ARTINYA LAGI-LAGI DIKELUARKAN PASCA PERISTIWA ALIAS POST FACTUM. HAL INI MEMBUKTIKAN BAHWA SEMANGAT UTAMA PENUNTUT UMUM ADALAH YANG PENTING MENGHUKUM WALAU TANPA DASAR HUKUM DAN MEMBERLAKUKAN SECARA RETRO AKTIF SEMUA SENJATA HUKUM YANG BISA DIGUNAKAN UNTUK MENGHUKUM SAYA.


DENGAN DEMIKIAN MAKA MENJADIKAN DOKUMEN RESOLUSI TERSEBUT SEBAGAI DASAR DALAM SURAT DAKWAAN DAN SURAT TUNTUTAN DALAM PERKARA A QUO SELAIN BERTENTANGAN DENGAN PASAL 11 AYAT (2), PASAL 28I AYAT (1) UUD 1945 DAN

PASAL 10 UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL, PENUNTUT UMUM JUGA TELAH MEMANIPULASI ISI DOKUMEN HUKUM SEBAGAI WUJUD KEZALIMAN, REKAYASA, DAN FITNAH.


3. Penetapan Pengadilan, DTTOT, Surat Republik Suriah


Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme substansinya adalah terkait dengan transaksi keuangan yang dilarang dengan tujuan mencegah terjadinya tindak pidana pendanaan terorisme. Pada Bab VII bagian yang mengatur Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT) yang dikeluarkan oleh Pemerintah, yang dimulai dari Pasal 27 s.d Pasal 33, merupakan mekanisme atau prosedur dalam melakukan penanggulangan tindak pidana pendanaan terorisme. Ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya bersifat administratif. Pasal 27 merupakan alur administrasi bagi Kepolisian untuk mendapatkan Penetapan Pengadilan terhadap DTTOT. Sedangkan mekanisme bagi orang atau korporasi yang keberatan terhadap DTTOT tersebut dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan sebagaimana Pasal 30 s.d 33.


Jadi, DTTOT dan Penetapan DTTOT bukan untuk diberlakukan sebagai SIFAT perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana yang diatur dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo. Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2018.


Sebagaimana yang sudah saya singgung pada BAB sebelumnya bahwa seluruh dokumen hukum yang dicantumkan oleh Penuntut Umum tersebut mengandung Cacat Formil dan Cacat Meteriil.

 

CACAT FORMIL, karena semua dokumen hukum tersebut bukan Peraturan Perundang-Undangan yang bersifat ERGA OMNES. Yang paling parah, Penuntut Umum menuliskan Penetapan KETUA PENGADILAN, padahal yang mengeluarkan PENETAPAN dan yang bertanda tangan ADALAH WAKIL KETUA PENGADILAN. Lebih parah lagi, Penetapan No.11204/Pen. Pid/2014/PN. Jkt. Pst TERNYATA SALAH DALAM MENULISKAN Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2013 sebagai Undang-Undang "PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME", TANPA KATA "PENDANAAN",

penulisan ini bukan sekedar SALAH KETIK SEMATA, KARENA TERTULIS DI HALAMAN SATU DAN DUA PENETAPAN dimaksud. Dan TIDAK PERNAH ada

perbaikan terhadap penulisan tersebut. Berikut ini saya tunjukkan buktinya:

 

 

 


Kemudian CACAT MATERIIL dalam semua dokumen hukum yang telah dimanipulasi oleh Penuntut Umum, adalah BAHWA TELAH TERNYATA DIDALAM PENETAPAN KETUA PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT NOMOR 11204/Pen.Pid/2014/PN. JKT. PST TANGGAL 11 OKTOBER 2014, dan DTTOT/2723/XI/2014, TANGGAL 20 NOVEMBER 2014, TIDAK ADA MENCANTUMKAN ISIS ATAUPUN ABU BAKAR AL BAGHDADI.


Dan yang PENTING lagi bahwa PENETAPAN KETUA PENGADILAN NEGERI JAKARTA PUSAT NOMOR 11204/Pen.Pid/2014/PN. JKT. PST TANGGAL 11 OKTOBER 2014, dan DTTOT/2723/XI/2014, TANGGAL 20 NOVEMBER 2014

TIDAK BERSIFAT ERGA OMNES, karena berdasarkan ketentuan Pasal 27 ayat (6) dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme ADA PERINTAH kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia agar MEMBERITAHUKAN SECARA TERTULIS ke para pihak yang namanya tercantum dalam Penetapan dan Daftar tersebut:


Pasal 27 ayat (6)

Daftar terduga teroris dan organisasi teroris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh Kepala Kepolisian Negera Republik Indonesia berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.”


Pasal 27 ayat (7)

“Kepala Kepolisian Republik Indonesia MEMBERITAHUKAN daftar terduga teroris dan organisasi teroris sebagaimana dimaksud pada ayat (6) secara tertulis KEPADA ORANG ATAU KORPORASI DALAM WAKTU PALING LAMBAT 10 (sepuluh) hari kerja.”


Jadi atas dasar apa Penuntut Umum menyatakan BAHWA SAYA SUDAH MENGETAHUI ?


BERDASARKAN FAKTA-FAKTA HUKUM TERSEBUT DI ATAS, PERTANYAANNYA APA DASAR PENUNTUT UMUM MENYATAKAN BAHWA ISIS ADALAH ORGANISASI TERLARANG DI INDONESIA ?

 

KAPAN DILARANGNYA DAN APA DASAR HUKUMNYA? LALU DENGAN SEENAKNYA MEMAKSA SAYA SUDAH MENGETAHUI BAHWA ISIS ADALAH ORGANASI TERLARANG DI INDONESIA.


PADAHAL FAKTANYA DALAM PENETAPAN DAN DTTOT YANG DIJADIKAN DASAR DALAM SURAT DAKWAAN DAN SURAT TUNTUTAN TERSEBUT SAMA SEKALI TIDAK ADA TERCANTUM NAMA ISIS SEBAGAI ORGANSISASI TERLARANG DAN BERDASARKAN KETENTUAN PASAL 27 UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2013, HANYA PIHAK YANG TERCANTUM DALAM PENETAPAN DAN DTTOT YANG WAJIB MENDAPATKAN PEMBERITAHUAN.


Bahkan BUKAN HANYA SAYA YANG TIDAK TAHU, PARA PEJABAT TINGGI NEGARA INI YANG MENANGANI MASALAH HUKUM DAN TERORISME SAJA MASIH MINTA ISIS DILARANG PADA TAHUN 2015 TERSEBUT.

https://hi-in.facebook.com/DivHumasPolri/photos/kabareskrim-pendukung- isis-manfaatkan-lubang-hukum-tidak-bisa- dipidanakabareskri/909823059046551/


 

https://www.beritasatu.com/nasional/200941/kabareskrim-pendukung-isis- manfaatkan-lubang-hukum-tak-bisa-dipidana


https://www.beritasatu.com/nasional/257852/belum-bisa-dipidana-bnpt-hanya- awasi-pengikut-isis


 

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150318152501-20-40049/polri- minta-pemerintah-tetapkan-isis-organisasi-terlarang


https://nasional.kompas.com/read/2015/03/19/08375991/Pemerintah.Akan.Ter bitkan.Perppu.Terkait.Pengikut.ISIS?jxconn=1*avqeiv*other_jxampid*VFhqaGt OOFVsSnIxTG5VUFcwYXZfcTY0OWpaTXQ3THdkb1E4aEFrZTZlMXlqWGxhWXBIZ UtMVTc1ak9yZnA3aA


 

Kemudian mengenai Surat Republik Arab Suriah, Kementerian Dalam Negeri dan Imigrasi Kedutaan – Jakarta tertanggal 3 September 2014 ternyata isinya adalah tawaran kerjasama untuk penanggulangan terorisme seperti di Suriah. Dari sudut kelembagaan, surat tersebut bersifat administrasi korespondensi, bukan Undang-Undang yang bersifat mengikat.

Berdasarkan bukti surat berupa dokumen-dokumen yang menjadi dasar Surat Dakwaan dan Surat Tuntutan tersebut, justru Penuntut Umum sendiri telah membuktikan bahwa TIDAK ADA SIFAT MELAWAN HUKUM YANG BISA DIBUKTIKAN DALAM PERKARA A QUO.


Ad.3. Unsur “dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan”


Pada konstruksi tuntutan halaman 607 s.d 608 saya dituduh dengan sengaja menegakan Khilafah Daulah Islamiyah atau ISIS di Indonesia dengan menerapkan paham dan ajaran Khilafah Daulah Islamiyah atau ISIS yang dilakukan dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka mendukung dan menegakkan daulah Islamiyah atau ISIS yang dilakukan dengan menggunakan ancaman kekerasan berupa pemberian materi-materi kajian yang mengandung paham dan ajaran ISIS seperti khilafah ISIS, Tamkin, Daulah Islamiyah, hukum pidana Islam (hudud), kemulian negeri syam, syari’at Islam, tauhid, syirik demokrasi, jihad, kafir/takfiri, thogut, anshor thogut, melaksanakan bai’at kepada ABU BAKAR AL- BAGHDADI Pimpinan/Amir ISIS, penggunaan simbol-simbol atau tanda-tanda baik berupa gambar seperti bendera ISIS atau tanda seperti atribut ISIS berupa baju dan rompi yang dipergunakan secara beramai-ramai/berkelompok melakukan konvoi kendaraan sambil menggunakan bendera dan atribut ISIS, dan kemudian memotivasi, mendorong dan mengajak orang lain serta bersepakat dengan para peserta kegiatan seminar dan Tabligh Akbar pada Tanggal 24 dan 25 Januari 2015 di Makassar dan kegiatan seminar tanggal 5 April 2015 di Medan untuk mendukung dan menegakkan Khilafah Daulah Islamiyah atau ISIS di Indonesia dan kemudian menerapkannya, keseluruhan perbuatan tersebut dilakukan untuk memberi pertanda atau peringatan kepada seluruh masyarakat baik di Indonesia maupun dunia bahwa Khilafah Daulah Islamiyah ISIS sudah tegak di Indonesia.


Berdasarkan pasal 1 angka 4 dan 5 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2003, “kekerasan” adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Sedangkan “ancaman kekerasan” adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas.

 

Menurut ahli DR. ABDUL CHOIR RAMADHAN, S.H.,M.H., unsur dengan sengaja harus ada perjumpaan kehendak untuk mengetahui perbuatan itu berdasarkan dengan adanya kesalahan. Kesalahan itu dalam literatur sebagai mens rea (sikap batin) dan diwujudkan dalam rumusan delik melalui kata-kata "dengan sengaja" dan ini unsur subjektif yang harus dibuktikan. Karena unsur yang tertulis yang wajib dibuktikan. karena dengan sengaja ini adalah tanda kongkrit adanya kesalahan. Hukum Pidana Indonesia mengacu kepada azas monistis yang tidak memisahkan antara perbuatan dengan pertanggungjawaban pidana walaupun ada azas tiada pidana tanpa kesalahan akan tetapi azas hukum pidana sampai saat ini berazaskan monistis. Karena secara filsafat mens rea atau kesalahan menuju pada fikiran yang salah, karena penggunaan fikiran yang benar akan melontarkan pendapat yang benar, jika digunakan fikiran yang salah pastinya salah dan sesat menyesatkan.


Sedangkan menurut DR. MUDZAKKIR SH., MH (Ahli Hukum Pidana) tidak bisa orang dibebankan terhadap tindak pidana yang bukan dirinya lakukan sendiri. Orang lain yang melakukan tindak pidana, pasti karena ada niat jahat dalam dirinya sebelumnya, jadi ada atau tidak ada pembahasan (seminar), pelaku teror akan tetap melakukan karena ada sudah ada pikiran jahatnya.

Tahap pembuktian sikap batin ada 2 metode yaitu, deduksi dan induksi, induksi adalah suatu rangkaian kegiatan untuk menarik suatu batin, sedang deduksi adalah tulisan seperti yang ahli sampaikan ke Majelis Hakim untuk meyakinkan. Corak kesengajaan sebagai kepastian dalam hukum pidana disempurnakan menjadi kesengajaan sebagai kepastian.


Jika orang hadir dalam pertemuan bukan berarti sesuatu yang setuju atau tidak. Tidak ada aturan pidana dalam Undang-Undang Terorisme seseorang bicara setuju dengan ISIS adalah suatu kriminal.


Baik AHLI DR. ABDUL CHOIR RAMADHAN, S.H.,M.H., maupun DR.

MUDZAKKIR SH., MH pada prinsipnya memberikan keterangan yang sama yaitu adanya niat jahat yang harus dibuktikan.


Secara induksi dapat dibuktikan bahwa saya tidak melakukan bai’at kepada ABU BAKAR AL-BAGHDADI sebagaimana keterangan saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI, saksi BUSTAR, saksi AGUS SALIM, saksi Ir. MUCHSIN DJAFAR, saksi ABDUR RAHMAN LANGKONG SH, saksi ASRULLAH, saksi MOH. ZULFIKAR, saksi AHMAD AULIAH AMIR,

saksi SUBHAN, saksi ISWAR FIRMANSYAH dan saksi ANWAR SOLEMAN.

 

Para saksi juga menyatakan TIDAK ADA SATUPUN materi yang saya sampaikan berisi atau bermaksud mendukung ISIS atau pun menyuruh mendukung ISIS atau menyuruh melakukan, atau menggerakkan orang lain untuk melakukan, atau mengarahkan orang lain untuk melakukan, atau memprovokasi orang lain untuk melakukan, TIDAK ADA SATUPUN kata atau kalimat saya yang mengandung tujuan untuk menggerakkan orang melakukan perbuatan terorisme, TIDAK ADA KATA atau KALIMAT saya yang mengarah ke BAI’AT, HIJRAH, MENYURUH MELAKUKAN KEKERASAN DALAM BENTUK APAPUN, MENYURUH MEMBUNUH, MENYURUH MENCULIK, MENYURUH MENGHANCURKAN BENDA-BENDA ATAU OBJEK VITAL, ATAU MENYURUH I'DAD DALAM SEGALA BENTUKNYA.


Sedangkan secara induksi dapat dilihat dari bukti Surat Pengangkatan Tenaga Ahli Jaksa Agung Nomor: KEP-101/A/JA/03/2005 dan Pengangkatan Tim Seleksi Komisi Kejaksaan No. Nomor: KEP-101/A/JA/03/2005.


Selain itu berdasarkan keterangan saksi M. LUTHFIE HAKIM yang mengetahui saya pernah menjadi tenaga ahli di Kejaksaan Agung pada masa ABDUL RAHMAN SALEH menjabat sebagai Jaksa Agung dimana saya juga pernah menjadi pansel (panitia seleksi) anggota Komisi Kejaksaan yang pada saat itu baru dibentuk. Saksi sering ke kantor saya dan sering bekerja sama menangani kasus, yang saksi ketahui yaitu Saya ikut dalam Tim Perumusan RUU KUHP dan RUU Pornografi (termasuk Jihad Konstitusional). Saksi juga menerangkan bahwa saksi dan saya pernah menjadi Konsultan di Kementerian Agama dan memberikan nasehat diberbagai kebijakan supaya tidak timbul korupsi, dan supaya penyelenggaraan haji itu bisa berjalan dengan baik, karena sering ada penyalahgunaan (termasuk Jihad Konstitusional). Ceramah saya menurut saksi juga tidak ada yang mengandung unsur kekerasan. Ceramah akhir-akhir ini adalah aktifitas Islam yang tentunya syari’at islam bagian dari hukum positif, bagaimana memenangkan ide- ide syari’ah, misalnya asuransi syari’ah, bank syari’ah, semua dalam kerangka NKRI dan dalam konstitusional, Saya tidak punya sifat yang anarkis.


Bahkan dalam ranah publik pun pandangan saksi terhadap saya terkait jinayah, qisos, masih memperjuangkannya dengan argumentasi melalui jalur yang konstitusional. Saksi sangat mengetahui sebagai penyelenggara Aksi Damai 212 dan saya juga bagian dari penyelenggara aksi tersebut yang dihadiri Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia berlangsung aman dan kondusif sebagaimana bukti-bukti elektronik sebagai berikut:

 

   

 

 


BUKTI ELEKTRONIK VIDEO REKAMAN UCAPAN TERIMAKASIH DARI PIHAK KEPOLISIAN KEPADA SAYA, DALAM AKSI DI DEPAN KANTOR BAWASLU 2019.



”Jangan Maju, Jangan mendekati Polisi, Jangan mendekati Polisi, Kita Bubar, yang lain Bubar. TERIMAKASIH PAK MUNARMAN, SALAM HORMAT KAMI PAK MUNARMAN DARI SINI, TERIMAKASIH KOMANDAN-KOMANDAN SEMUANYA,

PARA HABAIB, PARA KYAI, Perjuangan masih panjang, perjuangan masih berlanjut, jangan kita habiskan pada hari ini. TERIMA KASIH PARA KYAI, TERIMAKASIH GL PRO, PAK JIMMY BESERTA JAJARAN SEMUANYA TERIMAKASIH. TOLONG BANTU KAMI, TOLONG BANTU KAMI, YANG ADA DISINI SEPANJANG HARI SUDAH MEMBANTU TEMAN-TEMAN MENJAGA AMANNYA SITUASI INI. TERIMAKASIH KORLAP, YANG SUDAH MENJADI BENTENG DIDEPAN INI MENGAMANKAN KAMI.

 

BUKTI ELEKTRONIK FOTO-TOTO KEGIATAN RAPAT KOORDINASI PENGAMANAN AKSI 212:





 

 

Selanjutnya keterangan saksi AWIT TRIHARTANTO berkaitan dengan sepak terjang saya di FPI, outcome-nya adalah setelah saya bergabung dengan FPI, menurut saksi FPI menjadi lebih tertib berorganisasi, FPI lebih terarahkan untuk berjuang sesuai konstitusi, dan taat hukum, sangat mengoptimalkan kegiatan kemanusiaan. Saksi MOCHAMAD FAHRUROZI juga menerangkan, saya mengatakan untuk sweeping dan razia tempat maksiat itu tugas aparatur negara, kita tidak ada kewajiban, sehingga semenjak saya hadir di FPI menurut saksi hampir tidak ada kekerasan, tidak ada razia dan FPI menjadi lebih tertib karena saya memberi pemahaman ketika ingin melakukan amar ma'ruf nahi munkar harus dengan SOP, antara lain wajib lapor RT, RW, Kelurahan dan Kepolisian agar kelaskaran menjadi lebih tertib.


Saksi juga menegaskan saat ada peledakan bom pada Juni 2018 FPI maupun saya mengecam, bahwa sewaktu peledakan bom JW Marriott kita juga mengecam pelaku peledakan dan banyak sikap FPI yang mengecam aksi terorisme lainnya, diantaranya sebagaimana bukti surat berikut ini:

 

 

 




























































NOTA PEMBELAAN

 

Saksi AWIT TRIHARTANTO dan saksi ALI ALATAS, S.H., juga menerangkan bahwa perjuangan aspirasi yang saya dan FPI lakukan melalui jalur legal konstitusional, dengan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung, ke Mahkamah Konstitusi dan menyampaikan aspirasi ke DPR RI sebagaimana bukti-bukti sebagai berikut:


 






 

 



 

 






 

 

BUKTI ELEKTRONIK REKAMAN VIDEO SIDANG MK DALAM PERKARA NO. 43/PUU-XVIII/2020.



BUKTI SURAT DOKUMEN POSITION PAPER FPI TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG MINUMAN BERALKOHOL YANG SAYA SAMPAIKAN DALAM RAPAT DENGAR PENDAPAT DPR RI.


 

Secara formil Position Paper tersebut diajukan melalui DPR RI sesuai dengan koridor demokrasi dan Konstitusi, secara meteriil dasar argumentasi saya dan FPI juga didasarkan pada pandangan semua ajaran agama yang ada di Indonesia, Pancasila dan UUD 1945, perspektif kesehatan dan perspektif ekonomi.








 

Bahkan saksi ALI ALATAS, S.H., dalam persidangan menerangkan, bahwa saksi pernah menjadi kuasa hukum saya untuk mengajukan pengaduan pelanggaran kode etik kepada Dewan Pers terhadap salah satu media yang melakukan pemberitaan yang tidak benar atas diri saya, sebagai mana bukti surat di bawah ini:




 


 

 


 

 

Begitu juga saksi HABIB MUCHSIN BIN ZAID ALATAS dalam persidangan menerangkan bahwa ketika saksi akan melakukan gerakan razia ke tempat-tempat jualan miras ilegal, saksi dilarang oleh saya, dan saya arahkan agar saksi melaporkannya kepada aparat penegak hukum, saksi juga mengetahui bahkan sering bersama saya menemui pejabat tertinggi di Kepolisian saat itu.


Saksi ABUYA ABDUL MAJID, S.E., menerangkan bahwa pada Juni 2015 saksi menjabat sebagai Ketua Tanfidzi DKI Jakarta sampai FPI dibubarkan, dan pada tahun 2019 saksi diberi amanah untuk mengikuti pesta demokrasi, yang mendorong saksi untuk maju menjadi calon anggota DPRD, karena saran dan dukungan dari saya sehingga saksi ikut mencalonkan diri menjadi Caleg pada pemilu 2019.


Disesuaikan dengan keterangan saksi IMMANUEL EBENEZER yang menerangkan bahwa saksi dengan saya sering berkomunikasi terkait demokrasi. Saksi adalah Ketua Relawan Jokowi Mania, tentu membela Jokowi dan berbeda pandangan politik dengan saya, meskipun saksi mendukung Ahok dan saya tidak, Saksi beragama Kristen dan saya Islam, saksi menegaskan saya tidak pernah mengancam saksi dan tidak ada keinginan melakukan kekerasan terhadap saksi.


Selanjutnya berdasarkan bukti rekaman video seminar di Makassar materi dan jawaban yang saya sampaikan dan sikap diam saya saat agenda pembai’atan adalah sebagai berikut:

1. Paparan tentang Skenario Global dari dokumen NIC.

2. Jangan sampai umat Islam diadu domba dan masuk perangkap musuh- musuh Islam melalui berbagai operasi intelijen (halaman 10 Surat Dakwaan). Saya sampaikan ini untuk mencegah konflik horizontal sebagaimana yang telah terjadi di negara-negara timur tengah yang mayoritas warga negaranya adalah Muslim. Model konflik horizontal tersebut adalah pertikaian bahkan saling memerangi antara tandzim (organisasi) Islam yang men-trigger perpecahan bangsa dan negara;

3. Pada saat ini Indonesia merupakan Medan Dakwah.

4. Peta kondisi umat Islam yang masih banyak belum paham syari’at Islam, syari’at Islam terbagi menjadi 2 (dua), pertama; yang dapat dilakukan oleh individu seperti sholat tanpa perlu adanya peran negara. Selain secara individu terdapat syari’at Islam, kedua; yang hanya bisa dan hanya boleh dilakukan oleh institusi negara seperti hudud dan qisos.


Berdasarkan keterangan KH. DR. MUHYIDDIN JUNAIDI, M.A. (Ahli Agama dan Hubungan Internasional) bahwa terkait khilafah, adalah suatu sistem yang memang sudah ada di jaman khulafaur rasyidin, maka nama khilafah bagi MUI tidak menjadi masalah, kalau berkaitan dengan hukum yaitu memang ada keterkaitan dengan kekuatan yang diserahkan kepada pemerintah maka kita mendukung adanya pemilu yang jujur, yang adil dengan harapan mereka yang amanah memegang roda kendali pemerintahan ini sejujur mungkin, MUI sangat mengapresiasi untuk mempererat kesatuan anak bangsa.

untuk teroris. Dalam pandangan ahli mengganti paham NKRI menjadi paham Daulah, kalau hanya 1 atau 2 orang itu yang ingin mengubah Konstitusi dan NKRI itu adalah sebuah utopia. Ingat yang berjasa mendirikan NKRI ini adalah umat Islam pendirinya adalah mereka adalah Ulama-Ulama, yang berjuang memerdekan negara ini adalah umat Islam dan ahli di MUI ini sudah sepakat bahwa NKRI ini adalah harga mati. penerapan syari’at Islam dibawah naungan khilafah Islamiyah ala minhajj nubuwah maksudnya penerapan syari’at Islam sesuai dalam ajaran metodologi yang diterapkan oleh Rasulullah SAW, itu semua bahasa arab yang terjemahannya semua seperti itu. Ala minhajj nubuwah bila ingin diperjuangkan diperbolehkan saja, asalkan semua mengacu sesuai Undang-Undang yang berlaku, karena itu hanya sebuah ide.


Ahli memandang menegakkan atau mengganti NKRI dan itu hanya sebuah ide dan gagasan maka dibolehkan. Pada jaman Rasulullah SAW sudah ada yang namanya khilafah, jadi umat Islam itu sudah terbiasa dengan itu, jadi seakan-akan kalau ada orang yang mendukung khilafah itu pasti teroris, tentu saja bukan, dan Islam tidak boleh memvonis seperti itu.


Sedangkan dari sisi suasana kebatinan saya dapat dilihat lebih jauh lagi saat melakukan uji materi Keppres Minol, Perppu Ormas dan Perppu Covid.


Bahwa Pembuktian suasana kebatinan secara deduksi sebagaimana dimaksud oleh DR. MUDZAKKIR SH., MH (Ahli Hukum Pidana) dapat dilihat dari tidak adanya nama saya dalam struktur ISIS di Suriah maupun di Indonesia. Bahkan organisasi ISIS sama sekali tidak terbentuk strukturnya di Indonesia.


Memberi peringatan dengan ancaman kekerasan tidak juga selalu dimaknai dengan simbol-simbol saja. Lazimnya tindakan terorisme adalah dengan mengancam melalui media baik tulisan, audio, maupun audio visual. Sebagaimana keterangan ahli DR. HERU SUSETYO, SH., LL.M., M.Si., Ph.D (Ahli Kriminologi, Viktimologi dan Hukum Pidana) peringatan atau pesan disampaikan melalui “Target manusia korban kekerasan langsung umumnya dipilih secara acak (target peluang) atau selektif (target representatif atau simbolis) dari populasi target, dan berfungsi sebagai pembangkit pesan. Proses komunikasi berbasis ancaman dan kekerasan antara teroris (organisasi), korban yang terancam, dan target utama digunakan untuk memanipulasi target utama (audiens), mengubahnya menjadi target teror, target tuntutan, atau target perhatian, tergantung pada apakah intimidasi, paksaan atau propaganda terutama dicari.”

 

Kerangka pikir DR. HERU SUSETYO, SH., LL.M., M.Si., Ph.D (Ahli Kriminologi, Viktimologi dan Hukum Pidana) ini coba menegaskan dan membuka cakrawala kita tentang terorisme. Kerangka pikir yang mekanistik berkenaan dengan cara-cara teroris menyampaikan pesan bukan dengan simbol dan atribut melainkan action yang dalam perspektif DR. MUDZAKKIR SH., MH (Ahli Hukum Pidana) adalah pembunuhan. Sedangkan kerangka pikir Penuntut Umum dalam Surat Tuntutannya hanyalah hasil imajinasi dan analogi sebuah peristiwa konkrit yang faktanya dimanipulasi diterapkan pada norma yang abstrak.


Berdasarkan fakta-fakta persidangan yang diperoleh melalui keterangan saksi- saksi, keterangan ahli, surat, dan bukti elektronik sebagaimana Pasal 184 KUHAP dan Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang 15 Tahun 2003 di atas diperoleh PETUNJUK bahwa melalui metode induksi dan deduksi, suasana kebatinan saya tidak terdapat niat jahat (vicious will). Sedangkan dalam pandangan politik global untuk memberi pertanda atau peringatan terorisme adalah target manusia korban kekerasan langsung umumnya dipilih secara acak (target peluang) atau selektif (target representatif atau simbolis) dari populasi target, dan berfungsi sebagai pembangkit pesan. Dengan demikian unsur dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.


Selain itu juga, berdasarkan alat bukti Pasal 184 KUHAP dan Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang 15 Tahun 2003, TIDAK ADA SATUPUN BUKTI TERJADINYA PENGGUNAAN KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN PADA TANGGAL 24-25 JANUARI 2015 DAN TANGGAL 5

APRIL 2015.


Sehingga UNSUR MENGGUNAKAN KEKERASAN ATAU ANCAMAN KEKERASAN TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.


Ad.4. Unsur bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.


Pada konstruksi tuntutan halaman 660 menyatakan “bahwa fatwa atau seruan atau perintah dari Daulah Islamiyah atau ISIS tersebut kemudian juga ditindaklanjuti oleh para peserta kegiatan tanggal 24 dan 25 Januari 2015 dengan kembali melaksanakan kegiatan pendalaman kajian (i’dad) khilafah Daulah Islamiyah atau ISIS dan pelatihan (i’dad)

 

fisik/keahlian lainnya baik dilakukan di Pondok Pesantren Tahfidzhul Qur'an Sudiang, Villa Mutiara dan tempat lainnya, hingga diantara peserta RULI RIAN ZEKE dan ULFA pada sekitar pertengahan 2016 membawa anaknya AINUN, CICI, AHMAD, dan AISYAH untuk hijrah ke negeri Syam sampai di Turki selama satu tahun kemudian di deportasi kembali ke Indonesia. RIZALDI pada sekitar pertengahan 2017 membawa anaknya FIKRI, FAUZAN, FADILA, FAREL, dan LUPNA untuk hijrah ke negeri Syam tetapi ditangkap di bandara Soekarno Hatta, pada pertengahan 2018 RULI RIAN ZEKE dan ULFA melakukan Bom Bunuh Diri di Gereja Katedhral di Jolo Filipina. Selanjutnya pada Tanggal 6 Januari 2012 RIZALDI pada saat akan dilakukan penangkapan melakukan perlawanan kepada pihak Kepolisian hingga meninggal dunia ditembak petugas Kepolisian, dan kemudian pada sekitar tahun 2018 tempat kajian di Villa Mutiara, LUKMAN AL- FARIZI bergabung mengikuti kajian di tempat tersebut dan pada tanggal 28 Maret 2021 LUKMAN ALFARIZI melakukan amaliyah dengan bom bunuh diri di depan Gereja Katedhral Makassar. Bahwa Terdakwa bersama USTADZ FAUZAN AL- ANSHORI pada tanggal 5 April 2015 juga telah memberikan materi pada seminar "Mengukur Bahaya ISIS di Indonesia" yang pada pokoknya menyatakan: Mendukung Daulah Islamiyah atau ISIS yang ada di Suriah dan menyatakan belum ada Undang-Undang atau aturan khusus yang mengatur dan melarang Daulah Islamiyah /ISIS, yang selanjutnya ditindaklanjuti oleh saksi RONY SYAMSURI, saksi AZZAM AL GHOZWAH, saksi JONHEN, dan saksi REZA ALFINO dengan membentuk Jamaah Anshorut Daulah Wilayah Medan dengan merekrut beberapa anggota lainnya. Selanjutnya melaksanakan i’dad imani/ kajian-kajian dan melakukan i’dad fisik, mempersiapkan peralatan untuk jihad/amaliyah dengan telah menyiapkan senjata api pistol/FN dan peluru sebanyak 24 (dua puluh empat) dan peluru senjata api M16 sebanyak 3 (tiga) buah.”


Saya akan mulai dari keterangan DR. ABDUL CHOIR RAMADHAN, SH., MH., (Ahli Teori Hukum), pada Pasal 7 “kekerasan atau ancaman kekerasan” itu bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara, berarti ada suatu cara dengan caranya ini dilakukan dengan maksud, dengan sengaja, jadi Undang-Undang ini membatasi dengan cara bagaimana seperti merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.


Artinya dari sudut pembentuk Undang-Undang sudah merestriksi cara-cara menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal yaitu dengan merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

 

Kembali pada unsur “Permufakatan Jahat” yang dikuti dengan unsur “persiapan” dan didapati adanya unsur “pembantuan” yang muaranya adalah menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau terampasnya kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional bukanlah suatu outcome dari sebuah seminar diskusi. Seminar atau diskusi itu memiliki output yang dalam pandangan ROCKY GERUNG (Ahli Interpretasi Hermeneutika Hukum, Logika Hukum, Penalaran Hukum dan Filsafat Hukum) output-nya sertifikat. Bahwa antara outcome dengan output terdapat jurang yang dalam.


Sebagaimana bukti video seminar di Makassar, outcome yang saya pribadi inginkan adalah berkenaan dengan syari’at Islam yang hanya bisa dan hanya boleh dilakukan oleh institusi negara seperti hudud dan qisos itu tidak boleh dan dilarang untuk dilakukan oleh individu. Outcome ini didasari peta kondisi umat Islam yang masih banyak belum paham syari’at Islam.


Sedangkan output hanya bisa dilihat dan dirasa dari sisi peserta. Peserta yang sudah paradigmatik atau sudah komorbid menurut ahli ROCKY GERUNG tidak akan dapat diubah. Sedangkan dalam perspektif Hukum Pidana baik DR. ABDUL CHOIR RAMADHAN, SH., MH., (Ahli Teori Hukum) maupun DR. MUDZAKKIR SH., MH (Ahli Hukum Pidana) menyatakan tanpa adanya materi pun seorang teroris pasti akan melakukan tindak pidana. Jadi ada kesalahan dan kekeliruan mekanisme berpikir si pembuat tuntutan. Memaksakan sebuah materi diskusi menjadi causal verband timbulnya suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal menjadi irrasional.


Berdasarkan fakta-fakta persidangan berupa keterangan saksi, keterangan ahli, dan bukti video maka diperoleh PETUNJUK mengenai outcome dari sebuah diskusi atau materi yang saya sampaikan adalah syari’at Islam yang hanya bisa dan hanya boleh dilakukan oleh institusi negara seperti hudud dan qisos itu tidak boleh dan dilarang untuk dilakukan oleh individu.


Dengan demikian, unsur bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

 

II. PASAL 14 JO. PASAL 7 UU NO. 15 TAHUN 2003


Pasal 14 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan: “Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup”. Kemudian Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan:“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup”.


Sedangkan penjelasan pasal 14 menyatakan: “Ketentuan ini ditujukan terhadap auctor intelectualis. Yang dimaksud dengan merencanakan termasuk mempersiapkan baik secara fisik, finansial, maupun sumber daya manusia. Yang dimaksud dengan "menggerakkan" adalah melakukan hasutan dan provokasi, pemberian hadiah atau uang atau janji-janji.”


Jika melihat konstruksi tuntutan, maka bisa saja saya dituduh merencanakan menegakan Khilafah Daulah Islamiyah atau ISIS di Indonesia dengan menerapkan paham dan ajaran Khilafah Daulah Islamiyah atau ISIS yang dilakukan dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka mendukung dan menegakan daulah Islamiyah atau ISIS. Oleh karena itu, saya juga akan menganalisis unsur- unsur pada Pasal 14.


Ad.1. Unsur merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain


Mengenai Pasal 14 ini, addressat-nya adalah aktor intelektual yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain. Pada konteks ini terdapat perbedaan kualitas antara orang yang merencanakan dengan orang yang mengeksekusi rencana, dan orang yang menggerakkan dengan orang yang digerakkan. Dengan demikian selain terdapat auctor intelectualis juga menjadi keharusan adanya auctor materialis sebagai orang yang mengeksekusi rencana dan orang yang digerakkan. Jika dikaitkan dengan Pasal 7, maka perbuatan yang dilakukan materalis dader adalah sebagaimana unsur dalam Pasal 7 itu sendiri.


Istilah “merencanakan” dalam literatur hukum pidana akan kita temukan pada bab-bab yang membahas dan mengkaji tentang kesalahan dan melawan hukum. Pada bab-bab tersebut kita akan menemukan istilah “merencanakan” adalah sebuah kata yang diadopsi dari istilah “dolus premeditatus”. Jan Remmelink

 

menyatakan tentang dolus premeditatus adalah dolus yang dipertimbangkan secara matang, selain itu Remmelink juga menegaskan bahwa pengertian rencana terlebih dahulu bukanlah bentuk khusus dari dolus, melainkan hanya memberi nuansa khusus pada dolus tersebut melalui cara pelaksanaan tindak pidana, yaitu pertimbangan yang diambil secara tenang pada saat pelaksanaan.


Jika dikaitkan dengan Pasal 7, maka yang patut kita ketahui dan pahami bersama bahwa auctor intelectualis tidak akan mempertimbangkan dan memikirkan suatu perbuatan dengan penuh ketenangan hanya sekedar untuk melakukan perbuatan yang akibatnya biasa-biasa saja. Akibat yang diinginkan oleh auctor intelectualis jangkauannya lebih luas dan luar biasa. Oleh sebab itu terorisme harus memenuhi unsur “kekerasan” atau “ancaman kekerasan”. Menyadari hal itu maka pembentuk Undang-Undang telah merumuskan bahwa “kekerasan” adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya. Sedangkan “ancaman kekerasan” adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas.


Menurut keterangan DR. MUDZAKKIR SH., MH (Ahli Hukum Pidana) dalam persidangan mengenai ketentuan pasal 7 bukan murni delik formil karena terdapat unsur “kekerasan” dan “ancaman kekerasan”. Sedangkan merencanakan ialah orang yang merencanakan tindakan terorisme mempunyai niat untuk melakukan tindakan terorisme”. Selain itu, pada penjelasan Pasal 14 ini yang dimaksud dengan merencanakan termasuk mempersiapkan baik secara fisik, finansial, maupun sumber daya manusia yaitu auctor intelectualis mempersiapkan materalis dader baik secara fisik, finansial, maupun sumber daya manusia bukan auctor intelectualis mempersiapkan dirinya sendiri baik secara fisik, finansial, maupun sumber daya manusia.


Dengan demikian, selain melihat adanya kehendak yaitu “memutuskan suatu rencana” dan “interval waktu pelaksanaan rencana” menjadi keharusan pula melihat “pelaksanaan rencana haruslah sesuai dengan yang telah direncanakan” atau dengan kata lain terpenuhinya seluruh unsur pada Pasal 7 dengan segala akibat yang ditimbulkan oleh “kekerasan” maupun “ancaman kekerasan”. Satu syarat tidak terpenuhi maka unsur merencanakan tidak dapat terpenuhi, karena tiga unsur tersebut bersifat kumulatif, seluruhnya harus terpenuhi.

 

Pada penerapannya, Pasal 14 tidak dapat digunakan untuk menghukum kegiatan kegiatan sebagaimana yang dinyatakan dalam halaman 74 Naskah Akademik RUU Perubahan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 mengenai 5 (lima) perbuatan yang tidak dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 karena belum mencakup berbagai kegiatan pendahuluan (Precusor Activities), yaitu sebagai berikut ini:

1) Melakukan latihan militer (standar) baik menggunakan alat atau tidak tanpa melapor atau mendapat ijin pejabat yang berwenang;

2) Upaya rekruitmen;

3) Memberikan doktrin terkait perbuatan teror;

4) Menghasut sehingga orang lain atau kelompok melakukan perbuatan teror;

5) Membai’at para pelaku teror (orang yang berbai’at).


Sesuai dengan keterangan Ahli DR. MUDZAKKIR SH., MH yang menyatakan tidak ada larangan maupun aturan terhadap seseorang yang bersumpah setia (berbai’at) selain bersumpah kepada Indonesia. Bai’at nya dibenarkan, sedang perbuatan yang melanggar hukum yang tidak dibenarkan. jika seseorang bersumpah untuk negara lain sejauh tidak ada perbuatan yang di langgar dalam hukum positif itu pelanggaran etika moral saja, konsekuensinya adalah etis dan moral dan tidak bisa dijangkau oleh hukum pidana.


Demikian juga sebaliknya, terhadap auctor intelectualis meski mempersiapkan materalis dader baik secara fisik, finansial, maupun sumber daya manusia yang konkritnya berupa 5 (lima) kegiatan pendahuluan (Precusor Activities) maka tidak dapat dikenakan pidana. Hal ini sesuai dengan asas-asas hukum yang terdapat di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP mempunyai 3 (tiga) buah asas penting, yaitu:

1. Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, yang artinya “Tiada seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan, kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.”

2. Asas Non-retroaktif atau “Bahwa Undang-Undang yang berlaku di negara kita

itu tidak dapat diberlakukan surut.”

3. Bahwa penafsiran secara analogi itu tidak diperbolehkan dalam menafsirkan Undang-Undang pidana.


Berdasarkan keterangan Saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI yang mengakui setelah acara seminar ada kegiatan bai’at yang dipimpin oleh Almarhum BASRI dimana bai’at tersebut sudah direncanakan oleh saksi bersama Almarhum BASRI secara diam-diam sehingga tidak dicantumkan dalam agenda acara. Kemudian yang menentukan tema seminar adalah Almarhum BASRI. Pada saat saksi mengundang saya untuk menjadi narasumber seminar, saksi tidak menjelaskan dan tidak memberitahukan kepada saya mengenai akan adanya bai’at.

 

Sedangkan Almarhum FAUZAN AL-ANSHORI sudah lebih dulu komunikasi dengan saksi RONY SYAMSURI yang keterangannya adalah bahwa saksi menghubungi Almarhum FAUZAN AL-ANSHORI sebelum diadakannya acara untuk membicarakan bagaimana pelaksanaan seminar di Medan seperti di Makassar.


Berdasarkan keterangan saksi AGUS SALIM, dan saksi ABDUR RAHMAN LANGKONG SH, yang menyatakan bahwa dalam rapat persiapan seminar di Makassar untuk tanggal 25 Januari 2015 saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI yang menyiapkan tanpa perlu panitia.


Kemudian saksi JONHEN, saksi AZZAM AL GHOZWAH dan saksi KOMBES POL (PURN) HERY SUBIANSAURI, yang menyatakan RONY SYAMSURI yang merencanakan seminar di Medan.


Kemudian saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM, saksi BUSTAR, saksi ASRULLAH, saksi MOH. ZULFIKAR dan saksi AHMAD AULIAH AMIR yang menerangkan bahwa saya tidak ada komunikasi baik sebelum dan sesudah seminar di Makassar dan Medan.


Selanjutnya unsur “menggerakkan orang lain”, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 menyatakan yang dimaksud dengan "menggerakkan" adalah melakukan hasutan dan provokasi, pemberian hadiah atau uang atau janji-janji.” Artinya maksud dari perbuatan “menggerakkan orang lain” dilimitasi hanya sebatas melakukan: a) hasutan; b) provokasi; c) pemberian hadiah atau uang atau janji- janji.


Menurut DR. ABDUL CHOIR RAMADHAN, SH., MH., (Ahli Teori Hukum) dalam persidangan menerangkan delik ini berpasangan, logika demikian dapat kita temukan juga pada delik penyuapan harus ada penyuap dan tersuap begitu juga dengan delik penghasutan, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 7 Tahun 2009 telah memberikan batasan-batasan dalam penghasutan antara lain melawan kekuasaan umum penguasa, melakukan tindak pidana, melanggar Undang-Undang dan tidak menuruti perintah Undang-Undang. Dalam kaitan tindak pidana terorisme maka sipenghasut harus terhubung dengan seseorang yang dihasut, ujaran penghasutan itu harus sampai kepada dirinya seorang yang terhasut dan sesuai dengan kemauan dengan apa yang dihasutkan dan harus jelas apa yang dihasut. Kondisi penghasutan harus segera, tidak boleh lama ketika seseorang menyatakan hasutan. Dengan demikian disini ada perjumpaan kehendak antara penghasut dan terhasut yang pada intinya mewujudkan kehendak sipenghasut dan perbuatan tersebut melanggar Undang-Undang. Ahli juga menerangkan bahwa dalam teori harus ditentukan sebab yang mana yang paling dominan melahirkan akibat, maka itu harus ditentukan pendekatannya sebelum atau sesudah dengan pendekatan generalisir atau individualisasi.

 

Kemudian mencermati keterangan ROCKY GERUNG (Ahli Interpretasi Hermeneutika Hukum, Logika Hukum, Penalaran Hukum dan Filsafat Hukum) yang menerangkan salah satu tindakan terorisme itu ada menggerakkan maupun memprovokasi. Namun memprovokasi verbal itu tidak berakibat pada kekerasan karena syarat-syarat menuju kekerasan itu adalah penyediaan material seperti menyiapkan bom dan senjata. Seorang yang berpidato menggerakkan dengan orang yang tergerak dengan pidatonya tersebut going native artinya tidak boleh ada delay lagi. Seperti contohnya ahli berpidato sekarang lalu ada delay 2 menit terus dia baca internet. Bila saya ingin memprovokasinya maka saya harus tempel selama 24 Jam, intensi untuk mewujudkan kehendak saya karena manusia dalam satu detik bisa berubah pikiran dan itu konsekwensi dari hermeneutic of suspicion.


Berdasarkan keterangan saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI, saksi BUSTAR, saksi ASRULLAH, dan MOH. ZULFIKAR yang menerangkan bahwa saya tidak menggerakkan peserta untuk melakukan kekerasan, kajian daulah di Ponpes Tahfidzhul Qur’an, atau i’dad fisik, karena saya hanya diundang sebagai narasumber.


Bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi, bukti surat, keterangan ahli, dan keterangan diperoleh PETUNJUK bahwa yang melakukan “Permufakatan Jahat” adalah Saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI dan Almarhum BASRI yang merencanakan dan mengatur untuk locus di Makassar, sedangkan Almarhum FAUZAN AL-ANSHORI dan saksi RONY SYAMSURI yang melakukan merencanakan dan mengatur untuk locus di Medan. Sedangkan yang menggerakkan untuk i’dad adalah Almarhum BASRI.


Dengan demikian, unsur merencanakan dan menggerakkan orang lain tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.


Oleh karena unsur Pasal 7 sudah dianalisis pada Unsur Dakwaan Pasal 14 maka secara mutatis mutandis merupakan bagian yang tidak terpisahkan pada analisis dakwan Pasal 15 ini.


III. PASAL 13 HURUF C UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003


Pasal 13 huruf c:

“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun”.

 

Ad.1. Unsur setiap orang;

Oleh karena unsur setiap orang sudah dianalisis pada Unsur Dakwaan Pasal 15 maka secara mutatis mutandis merupakan bagian yang tidak terpisahkan pada analisis dakwan Pasal 13 huruf c ini.

Ad.2. Unsur dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme dengan cara menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme.


Bahwa unsur ini secara prinsip sama dengan unsur “pembantuan” pada Pasal 15 yaitu bantuan sebelum, saat, dan sesudah tindak pidana terjadi akan tetapi sangat spesifik hanya mengenai informasi. Berdasarkan tuduhan yang ditujukan kepada saya yaitu:

1. Memberikan bantuan kepada Almarhum BASRI dan Almarhum FAUZAN AL- ANSHORI, saksi BUSTAR, saksi AGUS SALIM, saksi ABDURAHMAN LANGKONG SH, dan saksi Ir. MUCHSIN DJAFAR untuk dapat dilaksanakannya Tabligh Akbar pada Tanggal 24 dan 25 Januari 2015 di Sekretariat FPI Kota Makassar dan di Pondok Pesantren Tahfidzhul Qur’an Sudiang Makassar dan juga juga memberikan bantuan kepada Almarhum FAUZAN AL-ANSHORI, RONY SYAMSURI, saksi AZZAM AL-GHOZWAH, saksi JONHEN dan saksi REZA ALFINO untuk dapat dilaksanakannya seminar bertemakan “Mengukur Bahaya ISIS di Indonesia” di Medan.

2. Memberikan kemudahan kepada Almarhum BASRI dan Almarhum FAUZAN AL- ANSHORI, saksi BUSTAR, saksi AGUS SALIM, saksi ABDURAHMAN LANGKONG SH, dan saksi Ir. MUCHSIN DJAFAR dengan tidak ada melaporkan kepada pihak yang berwenang/kepolisian atas adanya pemberian kajian Daulah Islamiyah/ISIS, pelaksanaan bai’at kepada Amir atau Pimpinan ISIS dan pelaksanaan konvoi/pawai kendaraan dalam rangka mendeklarasikan Khilafah Islamiyah dibawah kepemimpinan SYEIKH ABU BAKAR AL-BAGHDADI dan Terdakwa juga memberikan kemudahan kepada Almarhum FAUZAN AL- ANSHORI, saksi RONY SYAMSURI, saksi AZZAM AL-GHOZWAH, saksi JONHEN dan saksi REZA ALFINO dengan tidak ada melaporkan kepada pihak yang berwenang/kepolisian atas adanya pemberian dukungan kepada Daulah Islamiyah/ISIS dan pelaksanaan kajian Daulah Islamiyah atau ISIS yang bertemakan “Mengukur Bahaya ISIS di Indonesia” seminar di UIN Sumatera Utara”.


Berdasarkan keterangan DR. MUDZAKKIR SH., MH (Ahli Hukum Pidana) yang menyatakan Pasal 13 huruf c, menyembunyikan informasi tindak pidana terorisme, harus jelas apa yang disembunyikan, apakah orangnya atau perbuatannya ? Alat buktinya jadi harus jelas dan membantu tindak pidana terorisme termasuk menyembunyikan informasi tindak pidana terorisme harus bersifat kongkrit.

 

Kemudian diperkuat oleh DR. ABDUL CHOIR RAMADHAN, SH., MH., (Ahli Teori Hukum) mengenai Pasal 13 huruf c Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, informasi yang dimaksudkan disini informasi yang sangat signifikan dan rahasia diantara para pelaku, bisa jadi menunjukan ada kemufakatan jahat, menunjukan ada perencanaan, jadi disini logika berfikir Undang-Undang itu harus kita lihat konteksnya tidak mungkin informasi itu disimpan tidak berhak, berarti ada yang dirahasiakan berarti informasi ini menuju suatu hal yang dimaksud Undang-Undang dan itu berharga dan rahasia dan terkait tindak pidana yang terhubung dengan informasi itu sendiri. Jadi bukan hanya terjadi pada tindak pidana teroris tapi terkait informasi yang strategis dan signifikan dilakukan oleh para pihak ini terkait informasi bahwa mengetahui ada permufakatan jahat, mengetahui ada perencanaan. Jadi harus terhubung dengan delik jika informasi itu sudah beredar dan tidak ada sifat rahasia itu bukan informasi yang dimaksud Undang-Undang.


Selanjutnya berdasarkan keterangan saksi MOHAMMAD AKBAR MUSLIM Alias ABDI, saksi AGUS SALIM, saksi ABDUR RAHMAN LANGKONG SH, saksi AHMAD

AULIAH AMIR yang menyatakan bahwa seminar di Makassar terbuka dan konvoi dikawal pihak kepolisian dan keterangan saksi RONY SYAMSURI, saksi KOMBES POL (PURN) HERY SUBIANSAURI, yang menerangkan untuk seminar di Medan difasilitasi oleh POLDA SUMUT dan seminar bersifat terbuka. Diperkuat dengan bukti elektronik berupa Spanduk atau Baner sebagai publikasi seminar tersebut:


Bukti foto/gambar kegiatan audiensi/dialog antara panitia seminar dengan DIR BINMAS POLDA SUMATERA UTARA.


 

Rencana awal yang akan menjadi pembicara adalah Kapolda Sumatera Utara, sebagaimana bukti gambar spanduk:



Bukti gambar/foto Pihak Kepolisian dar Polda Sumater Utara hadir menjadi sebagai narasumber dalam seminar di Medan tanggal 5 April 2015:



Kemudian pernyataan saya bahwa belum ada norma hukum yang mengatur secara khusus untuk dapat mempidana orang yang membicarakan tentang situasi global saat itu (6 April 2015), didukung juga oleh ALAT BUKTI PERNYATAAN PEJABAT TINGGI DI BIDANG HUKUM DAN TERORISME, SEBAGAI BERIKUT:

 

https://hi-in.facebook.com/DivHumasPolri/photos/kabareskrim-pendukung-isis- manfaatkan-lubang-hukum-tidak-bisa-dipidanakabareskri/909823059046551/



https://www.beritasatu.com/nasional/200941/kabareskrim-pendukung-isis- manfaatkan-lubang-hukum-tak-bisa-dipidana




 

https://www.beritasatu.com/nasional/257852/belum-bisa-dipidana-bnpt-hanya-awasi- pengikut-isis


https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150318152501-20-40049/polri-minta- pemerintah-tetapkan-isis-organisasi-terlarang



https://nasional.kompas.com/read/2015/03/19/08375991/Pemerintah.Akan.Terbitkan.P erppu.Terkait.Pengikut.ISIS?jxconn=1*avqeiv*other_jxampid*VFhqaGtOOFVsSnIxTG5V UFcwYXZfcTY0OWpaTXQ3THdkb1E4aEFrZTZlMXlqWGxhWXBIZUtMVTc1ak9yZnA3aA


https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150323145700-12-41188/menkopolhukam- isis-perlu-dinyatakan-organisasi-terlarang


Bahwa Pasal 13 huruf c sebagaimana Dakwaan Ketiga, maka yang dimaksud dengan unsur memberikan bantuan dengan cara menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme, adalah berarti, PADA SAAT TANGGAL 24, 25 JANUARI 2015 DAN TANGGAL 5 APRIL 2015, ADA PERISTIWA TINDAK PIDANA TERORISME YANG TERJADI DAN PERISTIWA ITU YANG SAYA SEMBUNYIKAN.


FAKTANYA BERDASAR ALAT BUKTI YANG DIATUR DALAM PASAL 184 KUHAP DAN PASAL 27 PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2002 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 15

TAHUN 2003, baik alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, bukti surat dan apa yang disebutkan dalam HALAMAN 74 Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, BAHWA TERHADAP 5 JENIS KEGIATAN:


1. Melakukan latihan militer (standar) baik menggunakan alat atau tidak tanpa melapor atau mendapat ijin Pejabat yang berwenang;

2. Upaya rekruitment;

3. Memberikan doktrin terkait perbuatan teror;

4. Menghasut sehingga orang lain atau kelompok melakukan perbuatan Teror;

5. Membai’at para pelaku teror (orang yang berbai’at).


BUKAN MERUPAKAN TINDAK PIDANA BERDASARKAN PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2002 JO. UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2003.


MAKA DENGAN DEMIKIAN TIDAK ADA TINDAK PIDANA TERORISME PADA TANGGAL 24, 25 JANUARI 2015 DAN TANGGAL 5 APRIL 2015, YANG SAYA BANTU ATAUPUN SAYA SEMBUNYIKAN.


SEMINAR/DISKUSI PUBLIK/TABLIGH AKBAR BUKAN MERUPAKAN TINDAK PIDANA TERORISME.


Berdasarkan keterangan saksi, keterangan ahli dan bukti surat yang diajukan di persidangan serta foto spanduk atau baner diperoleh PETUNJUK mengenai tidak adanya informasi yang sifatnya rahasia. Bahkan tidak ada peristiwa terorisme yang saya sembunyikan.


Dengan demikian berdasarkan alat bukti Pasal 184 KUHAP dan Pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 jo. Undang-Undang 15 Tahun 2003 unsur dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme dengan cara menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Majelis Hakim Yang Mulia,


Pada akhirnya substansi, esensi dan materi dari perkara ini adalah terkait tiga hal, yaitu pertama; perbuatan yang telah saya lakukan yang BUKAN PERBUATAN PIDANA, kedua; peristiwa yang terjadi bertepatan dengan perbuatan yang saya lakukan, dan ketiga; fitnah, framing serta labeling maupun rekayasa cerita terhadap apa yang telah saya lakukan tersebut.


Terkait hal yang pertama, yaitu apa yang telah saya lakukan adalah jelas dari alat bukti berdasar pasal 184 KUHAP dan pasal 27 Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN BAHWA PERBUATAN SAYA ADALAH MEMENUHI PASAL 14 Jo. PASAL

7, Pasal 15 Jo. Pasal 7 dan Pasal 13 c Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2003.


Terkait hal kedua, yaitu peristiwa yang terjadi bertepatan dengan keberadaan saya pada peristiwa tersebut, maka berdasarkan naskah akademik Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, bahwa perbuatan-perbuatan yang melingkupi :

1. Melakukan latihan militer (standar) baik menggunakan alat atau tidak tanpa melapor atau mendapat ijin pejabat yang berwenang;

2. Upaya rekruitment;

3. Memberikan doktrin terkait perbuatan teror;

4. Menghasut sehingga orang lain atau kelompok melakukan perbuatan Teror;

5. Membai’at para pelaku teror (orang yang berbai’at).


Bila kita lihat peristiwa saat itu yang dikait-kaitkan dan dihubung-hubungkan dengan saya dalam perkara a quo, yaitu BAI’AT, MENGHASUT, MEMBERIKAN DOKTRIN, UPAYA REKRUITMENT, MAUPUN I'DAD ADALAH BUKAN PERBUATAN YANG DAPAT DIPIDANA SEBELUM UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2018 DISAHKAN.


Adalah terkait FITNAH, FRAMING, LABELING DAN REKAYASA, yang dilakukan oleh kelompok orang jahat terhadap saya dengan cara memanipulasi fakta dan merangkai peristiwa yang juga menurut Naskah Akademik tersebut diatas TIDAK BISA DIHUKUM, yang kemudian oleh orang-orang jahat dikategorikan sebagai perbuatan MERENCANAKAN, MENGGERAKKAN, PERMUFATKATAN JAHAT, PERCOBAAN, PEMBANTUAN DAN MEYEMBUNYIKAN INFORMASI TINDAK PIDANA TERORISME, maka BERDASARKAN ALAT BUKTI Pasal 184 KUHAP dan Pasal 27

Perppu Nomor 1 Tahun 2002 Jo. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ADALAH TIDAK TERBUKTI SECARA SAH DAN MEYAKINKAN.

 

BAB V PENUTUP


Majelis Hakim yang mulia, Penuntut Umum yang saya hormati,

Penasihat Hukum yang saya banggakan,


Berdasarkan uraian tersebut di atas, kini tiba saatnya bagi saya untuk menyampaikan permohonan kepada Majelis Hakim yang mulia agar berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut:


1. Menyatakan saya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Penuntut Umum dalam Dakwaan Pertama, Dakwaan Kedua dan Dakwaan Ketiga;


2. Membebaskan saya oleh karena itu dari segala Dakwaan Penuntut Umum;


3. Memerintahkan Penuntut Umum untuk membebaskan saya dari tahanan, segera setelah putusan dibacakan;


4. Memulihkan hak-hak saya dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabat saya di masyarakat;


5. Menetapkan barang bukti yang disita dari kediaman saya berupa :


NO BARANG BUKTI

1 1 (satu) buah buku berjudul “PERANAN IMAN JIHAD DAN CIRI-CIRI MUKMIN

YANG BENAR IMANNYA”;


2 1 (satu) buah buku berjudul “RE-IDIOLOGI ISLAM MEMBUMIKAN ISLAM

SEBAGAI SISTEM”;

3 1 (satu) buah buku berjudul “DAULAH ISLAM”;


4 1 (satu) buah buku berjudul “INSIDE THE JIHAD TERORIS ATAU TENTARA

TUHAN?”;


5 1 (satu) buah buku berjudul “FATWA-FATWA PENGEBOMAN OLEH ULAMA-

ULAMA BESAR SAUDI ARABIA”;

6 1 (satu) buah buku berjudul “ISLAM MENGHARAMKAN DEMOKRASI”;


7 1 (satu) buah buku berjudul “DIALOG FPI AMAR MA’RUF NAHI MUNKAR MENJAWAB BERBAGAI TUDUHAN TERHADAP GERAKAN NASIONAL ANTI MA’SIAT DI INDONESIA”;

 

8 1 (satu) buah buku berjudul “BENTURAN PERADABAN SEBUAH KENISCAYAAN”;

9 1 (satu) buah buku berjudul “PARTAI POLITIK DALAM ISLAM”;

10 1 (satu) buah buku berjudul “DO’A DAN WIRID MUJAHIDIN”;


11 1 (satu) buah buku berjudul “KHILAFAH DAN KERAJAAN ABUL A’LA AL- MAUDUDI”;

12 1 (satu) buah buku berjudul “SRATEGI PENDIDIKAN NEGARA KHILAFAH”;

13 1 (satu) buah buku berjudul “BUKAN TAPI PERANG TERHADAP ISLAM”;

14 1 (satu) buah buku berjudul “MENGHANCURKAN DEMOKRASI”;

15 1 (satu) buah buku berjudul “MELAWAN TERORISME DENGAN IMAN”;

16 1 (satu) buah buku berjudul “TRUE STORY AUKAI COLLINS MY JIHAD”;


17 2 (dua) buah buku berjudul “WAWASAN KEBANGSAAN MENUJU NKRI BERSYARI’AH”;


18 1 (satu) buah buku berjudul “KONSPIRASI BARAT MERUNTUHKAN KHILAFAH ISLAMIYAH”;


19 2 (dua) buah buku berjudul “KHILAFAH RASYIDAH YANG TELAH DIJANJIKAN

DAN TANTANGAN-TANTANGANNYA”;


20 1 (satu) buah buku berjudul “TEORI PEMERINTAHAN ISLAM MENURUT IBNU TAIMIYAH”;


21 1 (satu) buah buku berjudul “LAPORAN PENYELIDIKAN PERISTIWA KEMATIAN 6 ORANG LASKAR FPI DI KARAWANG 1 DESEMBER 2020”;

22 1 (satu) buah buku berjudul “PILAR-PILAR SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM”;


23 1 (satu) buah buku berjudul “MENEGAKKAN SYARIAT ISLAM DALAM KONTEKS KE INDONESIAAN”;

24 1 (satu) buah buku berjudul “NEGARA ILAHIAH”;


25 1 (satu) buah buku berjudul “HUKUM DAN KONSTITUSI SISTEM POLITIK ISLAM”;

26 1 (satu) buah buku berjudul “MENEGAKKAN SYARIAT ISLAM”;


27 1 (satu) buah buku berjudul “STRUKTUR NEGARA KHILAFAH (PEMERINTAHAN DAN ADMINISTRASINYA)”;

28 1 (satu) buah buku berjudul “DEMOKRASI SISTEM KUFUR”;

29 1 (satu) buah buku berjudul “MENEGAKKAN KEMBALI NEGARA KHILAFAH”;

 

30 1 (satu) buah buku berjudul “DEMOKRASI TERSANDERA MENYINGKAP

MISTERI 2 ¼ ABAD (1783 M-SEKARANG)”;

31 1 (satu) buah buku berjudul “KHILAFAH ADALAH SOLUSI”;


32 1 (satu) buah buku berjudul “BAI’AT DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN POLITIK ISLAM”;

33 1 (satu) buah buku berjudul “TARBIYAH JIHADIYAH JILID 7-11”;

34 2 (dua) buah buku berjudul “TARBIYAH JIHADIYAH JILID 1-6”;


35 1 (satu) buah buku berjudul “AL-WALA’ WAL-BARA’ KONSEP LOYALITAS DAN PERMUSUHAN DALAM ISLAM”;


36 1 (satu) buah buku berjudul “JIHAD DAN PERANG MENURUT SYARIAT ISLAM

- BUKU KEDUA”;


37 1 (satu) buah buku berjudul “SISTEM PEMERINTAHAN ISLAM OLEH ABDUL QADIM ZALLUM”;

38 1 (satu) buah buku berjudul “DAKWAH & JIHAD ABU BAKAR BA’ASYIR”;


39 1 (satu) buah buku berjudul “AGAMA DEMOKRASI PILIH ISLAM ATAU DEMOKRASI”;


40 1 (satu) buah buku berjudul “THAIFAH MANSHURAH KELOMPOK YANG MENANG”;


41 1 (satu) buah buku berjudul “TADZKIROH KASIH SAYANG ULAMA TERHADAP BANGSA DAN PENGUASA NEGARA INDONESIA DARI PRESIDEN HINGGA CAMAT KARANGAN ABU BAKAR BA’ASYIR”;


42 1 (satu) buah buku berjudul “THAIFAH MANSHURAH KELOMPOK YANG MENJANJIKAN”;


43 1 (satu) buah buku berjudul “IMAN HIJRAH JIHAD (IHJ) AQIDAH ISLAM DALAM POLA HIDUP SUNNAH ROSUL”;


44 1 (satu) buah buku berjudul “GENERASI GHURABA MENGAPA ISLAM MENJADI ASING DAN BAGAIMANA KELUAR DARI KETERASINGAN”;

45 1 (satu) buah buku berjudul “STRATEGI PERANG RASULULLAH”;

46 1 (satu) buah buku berjudul “MENJAWAB KERAGUAN SEPUTAR KHILAFAH”;


47 1 (satu) buah buku berjudul “HUKUM ISLAM SEPUTAR JIHAD DAN MATI SYAHID MENYIKAPI AKSI TERORISME DAN PERANG FISIK”;


48 1 (satu) buah buku berjudul ”MAFAHIM HIZBUT TAHRIR (EDISI MU’TAMADAH)”;

 

49 1 (satu) buah buku berjudul “MENUJU TEGAKNYA KHILAFAH”;

50 1 (satu) buah buku berjudul “SYAM BUMI RIBATH DAN JIHAD”;


51 1 (satu) buah buku berjudul “JIHAD JALAN KHAS KELOMPOK YANG DIJANJIKAN”;


52 1 (satu) buah buku berjudul “NASEHAT DAN WASIAT KEPADA UMAT ISLAM

DARI SYAIKH MUJAHID USAMAH BIN LADEN”;


53 1 (satu) buah buku berjudul “KEKELIRUAN PEMIKIRAN ABU BAKAR BA’ASYIR”;

54 1 (satu) buah buku berjudul “100 HADIST TETANG NUBUAT AKHIR ZAMAN”;


55 1 (satu) buah buku berjudul “AR-RISALAH PANDUAN LENGKAP FIKIH DAN

USHUL FIKIH”;


56 1 (satu) buah buku berjudul “KHOLIFAH ABU BAKAR ALBAGDADI MENERAPKAN HUDUD MENEGAKKAN KEADILAN MEMBASMI KEZALIMAN”;

57 1 (satu) buah buku berjudul “UZLAH DIJALAN TERAKHIR”;


58 1 (satu) buah buku berjudul “MEMPERJUANGKAN ISLAM DENGAN DEMOKRASI?”;

59 1 (satu) buah buku berjudul “MISTERI PASUKAN PANJI HITAM”;


60 1 (satu) buah buku berjudul “PASUKAN PANJI HITAM JEJAK TENTARA PERLAWANAN AKHIR ZAMAN DARI AFGHANISTAN HINGGA SURIAH”;

61 1 (satu) buah buku berjudul “HAKEKAT TAUHID DAN SYIRIK”;

62 1 (satu) buah buku berjudul “PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK ISLAM”;


63 2 (dua) buah Dokumen “LAPORAN PROGRAM DAN KEGIATAN BIDANG KHILAFAH MASA BAKTI 2013-2020 FPI”;


64 2 (dua) buah Dokumen “RINGKASAN LAPORAN PERTANGGUNG JAWABAN

DPP FPI 2013-2020”;


65 1 (satu) bundel lampiran ketetapan “MUSYAWARAH NASIONAL LUAR BIASA FRONT PEMBELA ISLAM (FPI) TENTANG: PROGRAM KERJA DPP FPI PERIODE 2020 - 2027 M”;


66 1 (satu) bundel berjudul “PELATIHAN KHATIB (MENCETAK KHATIB IDEOLOGIS BERKUALITAS)”;

67 1 (satu) buah buku berjudul “BUKU PANDUAN DIKLAT KHUSUS FPI”;


68 1 (satu) buah buku berjudul “TATA CARA PEMBENTUKAN DAN PENGUSULAN DPD DPW DPC DAN DPRa”;

 

69 1 (satu) bundel draft “KEPUTUSAN DAN KETETAPAN HASIL MUSYAWARAH NASIONAL LUAR BIASA FPI TAHUN 2020”;


70 1 (satu) bundel “LAPORAN KERJA MARKAZ BESAR LASKAR PEMBELA ISLAM

PERIODE 2013 S/D 2020”;


71 1 (satu) bundel “CENTRAL LEADERSHIP BOARD/ISLAMIC DETENDER’S

FRONT DEWAN PIMPINAN PUSAT-FPI”;


72 1 (satu) buah Paspor an. MUNARMAN ABDUL HAMID IBRAHIM NO.PASPOR: B 7602104, NIKM : 110110269205;

73 1 (satu) buah KTP an. MUNARMAN, S.H., NIK : 3674061609680001;

74 2 (dua) buah Flashdisk 8 GB Merk TOSHIBA warna Putih;

75 1 (satu) buah Flashdisk 8 GB Merk SANDISK warna Hitam;

76 1 (satu) buah Flashdisk 16 GB Merk SANDISK warna Hitam;

77 1 (satu) buah MicroSD Merk V-Gen 16GB;

78 1 (satu) buah MicroSD Merk V-Gen 2GB;


79 1 (satu) unit Tablet Merk SAMSUNG warna Silver, IMEI : 357168/08/015365/7 S/N: RR2K700CDXT, beserta Memory 32GB;

80 1 (satu) unit HP Merk OPPO warna hitam, IMEI: 868473035870534;

81 1 (satu) unit HP Merk NOKIA warna Silver;

82 1 (satu) unit HP Merk OPPO warna Merah;

83 1 (satu) unit HP Merk SAMSUNG warna Silver S/N – A500FGSMH;

84 1 (satu) unit HP Merk SAMSUNG warna Biru;

85 1 (satu) unit HP Merk SAMSUNG warna Hitam Metalik.


dikembalikan kepada saya atau darimana barang bukti tersebut disita.


6. Membebankan biaya perkara kepada Negara.


Jakarta, 21 Maret 2022

MUNARMAN, S.H.