Laporan HAM AS Soroti Sikap Pemerintah Larang Front Pembela Islam (FPI)
Sabtu, 16 April 2022
Faktakini.info, Jakarta - Saat masih eksis, Front Pembela Islam (FPI) dikenal sebagai ormas Islam yang aktif membantu korban bencana alam dan masyarakat yang membutuhkan bantuan.
Media-Media internasional seperti The Washington Post dari Amerika Serikat, Associated Press, Christian Science dan sebagainya ramai-ramai mengakui dan mengagumi kiprah FPI yang mereka umumkan sebagai ormas yang paling cepat datang membantu saat bencana melanda di Indonesia!
Stephen Wright menulis dedikasi FPI tersebut dalam artikel berjudul “When Disaster Hits, Indonesia’s Islamists are First to Help” yang diunggah di The Washington Post pada 11 Juni 2019 lalu.
Jadi bisa dikatakan FPI telah mengharumkan nama Indonesia dengan berbagai kegiatan sosial kemanusiaan yang mereka lakukan, termasuk dikagumi oleh media dan masyarakat Amerika seperti Washington Post.
Lalu kemudian FPI hanya beberapa pekan setelah tragedi KM 50, FPI dibubarkan oleh pemerintah Indonesia dengan alasan-alasan yang terkesan dipaksakan. Sehingga tentu cukup membuat kaget pihak Amereka.
Amerika Serikat menyoroti sikap pemerintah Indonesia yang melarang keberadaan Front Pembela Islam (FPI) di dalam negeri pada Desember 2020.
Sorotan ini tertuang dalam Laporan HAM Indonesia 2021 yang diunggah di situs resmi Kedutaan Besar AS di Indonesia.
"Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengumumkan keputusan bersama menteri yang menyatakan Front Pembela Islam, organisasi Islam garis keras, 'tidak terdaftar', dan melarang organisasi, simbol, dan aktivitasnya," bunyi laporan tersebut, seperti dikutip pada Sabtu (16/4).
Pemerintah saat itu mengklaim bahwa izin FPI sejatinya sudah berakhir sejak Juni 2019. Dengan begitu, FPI tidak memiliki status hukum yang jelas selama 18 bulan terakhir.
Selain tidak punya izin yang jelas, Mahfud juga menyebut bahwa FPI telah melanggar hukum atas aktivitasnya.
"Mahfud MD menyatakan bahwa selama ini organisasi tersebut telah melanggar hukum dan melanggar ketertiban umum serta menolak mengubah anggaran dasar agar sesuai dengan undang-undang, khususnya ideologi nasional Pancasila," jelas laporan.
Laporan itu juga menyebut sejumlah lembaga HAM terkemuka, yang meski menolak beragam aksi kekerasan dan ujaran kebencian organisasi pimpinan Habib Rizieq Shihab itu, tetap menilai pemerintah tidak konsisten dalam penegakan HAM.
"[Koalisi hak asasi manusia terkemuka menilai] keputusan menteri tidak konsisten dengan konstitusi negara dan merupakan pembatasan yang tidak adil atas hak berserikat dan berekspresi," demikian tertulis dalam laporan itu.
Terkait laporan ini, alih-alih melakukan introspeksi Mahfud malah secara umum menilai jumlah pelanggaran HAM di Indonesia sejatinya lebih rendah ketimbang AS.
"Kalau soal keluhan dari masyarakat kita punya catatan AS justru lebih banyak dilaporkan Special Procedures Mandate Holders (SPMH)," ujar Mahfud.
Menurut catatannya, Indonesia dilaporkan melanggar HAM oleh berbagai elemen masyarakat sebanyak 19 kali pada 2018-2021. Sementara AS dilaporkan sebanyak 76 kali pada periode yang sama.
Sumber: CNNIndonesia.com dan lainnnya