Pers Release Pengacara Terkait Sidang Perdana Kasus Edy Mulyadi
Rabu, 11 Mei 2022
Faktakini.info
*_Pers Release_*
Sidang perdana wartawan senior Edy Mulyadi dari kantor berita Forum News Network (FNN), dilaksanakan selasa, 10/5/22 di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Edy didakwa karena konten video miliknya (bang Edy chanel) yang diunggahnya, memuat konten yang sebenarnya adalah kritik positf dan kontruktif kepada rezim, perihal rencana memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) ke daerah Kalimantan Timur.
Sesungguhnya secara keseluruhan konten benberapa video tersebut, sama sekali bukan dengan maksud untuk menimbulkan permusuhan atau rasa kebencian sama sekali berdasarkan Suku Agama, Ras dan Antar Golongan (SARA). Ujarannya itu, juga bukan dimaksudkan atau ditujukan kepada kelompok suku di Kalimantan atau kepada seseorang siapapun.
Sepanjang pengalaman sebagai Advokat kami juga 'surprised', karena baru melihat materi dakwaan Edy setebal 313 halaman. Ditambah lagi dengan lampiran setebal 'bantal' hampir 1000 lembar (995halaman).
Kutipan konten video yang diunggah oleh Terdakwa antara lain, judul;
- “TOLAK PINDAH IBUKOTA NEGARA PROYEK OLIGARKI MERAMPOK UANG RAKYAT”.
-"INDONESIA DIJARAH RAKYAT DIPAKSA PASRAH. BERSUARA,
RISIKO PENJARA.'
-CUMA BANCAKAN OLIGARKI, KOALISI MASYARAKAT KALTIM
TOLAK PEMINDAHAN IKN'.
Salah satu transkrip, atau konten yang didakwaan dengan narasi : "punya gedung sendiri lalu dijual pindah ke “tempat jin buang anak” dan kalau pasarnya “kuntilanak genderuwo” ngapain gue bangun di sana."
Didakwakan juga bahwa ujaran Edy tersebut;
tidak memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik yaitu : Tidak Akurat, Tidak berimbang, Menghakimi, Melanggar asas praduga tidak bersalah, dan punya itikad buruk. Juga JPU beralasan, Terdakwa pada saat acara 'konpers' sebagai narasumber sekaligus
pemilik akun youtube BANG EDY CHANNEL, adalah "bukan dalam kapasitas profesi
wartawan, dimana konten hanya berisi opini sepihak tanpa keberimbangan pihak lainnya melainkan kebohongan belaka, penghinaan, pencemaran nama baik, dan membangkitkan permusuhan atau kebencian, serta melanggar asas praduga tidak bersalah." Oleh karenanya Konten tersebut bukan proses jurnalistik juga bukan suatu produk jurnalistik tetapi 'gerakan politik'."
Jika narasi atau ujaran Edy adalah ' gerakan politik' seperti didakwakan JPU, maka bisa kita katakan JPU juga sudah turut membenarkan bahwa dakwaanya juga kental dengan unsur (nuansa) politik, bukan unsur hukum materil 'ansich.'
Sejak awal pemeriksaan (BAP) pihak penyidik,
peristiwa hukum Edy yang dipersoalkan terkait proyek IKN, adalah akibat ujarannya tentang 'tempat jin buang anak'. Faktanya, ungkapan 'tempat jin buang anak' tampaknya tidak dijadikan fokus oleh JPU dalam argumentasi dakwaannya.
Sebagai contoh, dalam dakwaannya JPU malah melebar, dan juga bias (absurb) kemana-mana dengan menyebut-nyebut antara lain; bisnis anak presiden Jokowi, bisnis tambang Luhut Binsar Panjaitan dan Yusril Ihza Mahendra di Kalimantan. Justru PJPU tidak mempertimbangkan juga bahwa dalam dakwaannya disebutkan juga ada keberatan dari Yati Dahlia, masyarakat/suku Balik di Sekayu Penajam Paser Utara, Kaltim, karena rencana pembangunan IKN yang tidak melibatkan masyarakat adat setempat. Bahkan saat ini Yati Dahlia dan sejumlah kelompok masyrakat suku dayak Kalimantan lainnya, sedang mengajukan permohonan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang program IKN tersebut.
Oleh JPU, Edy dianggap melakukan tindakan pidana primer, dan diancam 10 tahun penjara sesuai Pasal 14 ayat (1,2), dan pasal 15 UU RI No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana.
Selanjutnya dalam dakwaan Subsider,
dengan ketentuan pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) UU ITE No.19 tahun 2016, jo pasal 156 KUHP.
Susungguhnya apa yang diungkapkan oleh Edy sebagai insan pers, dilindungi oleh UU tentang Pers No.40 tahun1999.
Oleh karenanya, Edy tidak layak untuk diadili, yang berpotensi menjadi peradilan yang tidak adil, Kasus tersebut jangan sampai menjadi 'peradilan sesat', menjadi preseden buruk di negeri yang katanya berdasar hukum (rechts staat), jika seseorang menyampaikan opininya dimuka umum, dengan mudahnyadiseret kemasalah hukum. Apa lagi dalam rangka melaksanakan tugas- tugas jurnalistik, dan profesinya sebagai insan pers. Sesuai prosedur hukum, kasus Edy rersebut seharusnya menjadi kewenangan Dewan Pers untuk memediasi lebih dahulu, sebelum proses peradilan (due process of law).
Jkt, 11/5/22
*_Adv. Juju Purwantoro_*
- Kuasa Hukum Edy Mulyadi.
- Ketua DPP Bidang Advokasi Hukum parpol UMMAT
Foto: Adv Juju Purwantoro (kedua dari kiri) bersama tim kuasa hukum, Edy Mulyadi (kanan) /Nur Aliem Halvaima /Kolase Foto : dok Juju Purwantoro dan Antara / Posjakut