Sidang MK, Suku Asli Tolak IKN karena Tidak Pernah Diajak Komunikasi

 





Kamis, 12 Mei 2022

Faktakini.info, Jakarta - Yati Dahlia, salah satu warga suku asli di kawasan titik 0 Nusantara menolak lokasinya dijadikan ibu kota negara (IKN). Alasannya, Yati sebagai penduduk di sekitar titik 0 tidak pernah diajak komunikasi.

"Pemohon III adalah perseorangan Warga Indonesia yang dibuktikan dengan KTP berasal dari suku Balik, suku asli di kawasan IKN. Tinggal di wilayah yang masuk lokasi IKN sehingga terdampak langsung dari proyek IKN. Tempat tinggal Pemohon III hanya berjarak 5 km dari titik 0 IKN sehingga khawatir akan digusur dari tempat tinggal mereka saat ini terkait pemindahan IKN," kata kuasa hukum Yati, Ikhwan Fahroji, dalam sidang terbuka di MK yang disiarkan channel YouTube Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (11/5/2022).

Yati menyatakan menolak jika harus dipindahkan dari tempat saat ini karena harus memulai kehidupan baru. Selain itu, berpisah dari tetangga dan keluarganya, dan tercerabut dari sejarah dan identitas sebagai suku Balik. Selain itu, sejak pemilihan IKN, tidak ada yang boleh mengurus tanah, termasuk Yati dan warga lainnya.

"Warga di sekitar kawasan inti IKN, terutama suku Balik tidak pernah diajak komunikasi oleh pemerintah tentang rencana pemindahan IKN hingga undang‐undang disahkan. Warga tidak dilibatkan secara aktif, bahkan saat Presiden berkemah di titik 0 wilayah IKN, warga tidak diberitahu oleh pemerintah," ujar Ikhwan.

Hal itu dirasa merugikan hak konstitusional Yati atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang dijamin dalam Pasal 28H UUD 1945 serta Pasal 28D ayat (1), Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 28F UUD 1945.

"Di mana setiap orang berhak mendapatkan informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya," urai Ikhwan.

Selain itu, Busyro Muqoddas selaku pemohon I membeberkan kerugian konstitusionalnya terkait UU IKN. Busyro selaku Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Tahun 2010‐2011 dan Wakil Ketua KPK 2010‐2014 sehingga memahami potensi-potensi dan modus-modus korupsi.

"Sebagai Dosen Fakultas Hukum di UII dan Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hikmah Kebijakan Publik Hukum dan HAM Tahun 2015-2021, Pemohon I sering berinteraksi dengan mahasiswa dan masyarakat, ia sering mendapat pertanyaan‐pertanyaan terkait dengan proses pembentukan Undang‐Undang IKN yang dibahas dalam waktu yang singkat, padahal memiliki dimensi kepentingan yang sangat luas, ia kebingungan menjelaskan secara yuridis proses pembentukan Undang- Undang IKN karena tidak dapat dijelaskan dalam perspektif asas‐asas pembentukan perundang‐undangan yang baik," beber Ikhwan.

Selain itu, sebagai Ketua PP Muhammadiyah bidang Hikmah Kebijakan Publik Hukum dan HAM sangat concern mengkritisi isu pemberantasan korupsi, kebijakan publik, dan/atau perundang‐undangan yang tidak sejalan dengan kemaslahatan publik, termasuk Undang‐Undang IKN. Proses pembahasan Undang-Undang IKN yang sangat singkat menyebabkan tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan kajian dan penelitian mendalam serta memberikan masukan‐masukan konstruksi dalam pembentukan materi muatan Undang‐Undang IKN, khususnya dari aspek pencegahan korupsi.

"Hal ini merugikan hak konstitusional Pemohon I yang telah dijamin dalam Pasa 27 ayat (1) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang memberikan kesempatan bagi warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan dan membangun masyarakat, bangsa, dan negara," ucap Ikhwan.

Atas dasar di atas, pemohon meminta MK membatalkan UU IKN. Atas permohonan itu, majelis panel berjanji akan membawa permohonan itu ke Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) MK. Apakah layak naik ke persidangan pleno untuk diperiksa atau tidak.

"Kemudian untuk perkara ini, kami Panel akan melaporkan ke Rapat Permusyawaratan Hakim. Apa pun yang menjadi keputusan Rapat Permusyawaratan Hakim terhadap perkara ini, akan disampaikan kepada para pihak oleh bagian Kepaniteraan. Jelas, ya?" kata Wakil Ketua MK Aswanto sambil menutup sidang.

Foto: Busyro Muqoddas

Sumber: detik.com