Antara Autopsi Brigadir Yosua dan 6 Syuhada FPI, Pengamat: Sikap Negara Jangan Tergantung

 





Kamis, 21 Juli 2022

Faktakini.info

Sikap Negara Jangan Tergantung

Catatan Eko Satiya Hushada

SAYA dan keluarga berduka atas wafatnya Brigadir Pol Nofriansyah Yoshua Hutabarat, yang sebelumnya disebut dengan inisial Brigadir J. Sebagai orang tua yang juga punya anak, saya dan istri turut merasakan sedih, duka mendalam seperti yang dialami ibu dan ayah Brigadir Yoshua. Terlebih ketika menyaksikan video serah terima jenazah. Rosti Simanjuntak, ibunda almarhum Nofriansyah  Yoshua menangis mengiba. Sedih, sedih sekali.

Walau bukan putra Batak, sebagai orang Medan, saya terbiasa menyaksikan seorang perempuan, ibu, yang menangis kencang dan tersedu-sedu saat dalam suasana duka. Terlebih ketika ada sanak famili maningkir jolma mate (melayat), baru saja tiba di rumah duka. Sontak rumah duka penuh haru, tangisan yang saling bersahutan. “Ndada Pajumpang muse hita! Sonang ho naung olo damang (tidak ketemu lagi kita! bahagia kau sudah ya nak!). Kira-kira begitulah suasana duka itu.


Ada dua tangis istri saya pekan ini. Pertama, ketika menyaksikan Ibu Rosti Simanjuntak menangis di depan jenazah anaknya. Kedua, ketika menyaksikan Habib Rizieq Shihab kembali ke rumahnya, atas status bebas bersyarat, Rabu (20/7/2022). “Kasihan Habib (Rizieq). Orangtua, ulama harus begitu (dipenjara). Belum lagi pengawalnya dibunuh (kasus KM 50),” begitu kata istri saya lirih. 

Ini bukan sinetron di stasiun televisi berlogo ikan terbang. Ini realita di negeri kita. Realita ketika anak bangsa, warga negara, harus menghadapi kekuasaan. Kekuasaan yang ditopang undang-undang, difasilitasi instrumen negara. Apapun bisa mereka lakukan. Terlebih ketika kekuasaan itu tak berbatas. Memporak-porandakan akal sehat, hati nurani. Rakyat bisa apa?  

Dalam kasus kematian Brigadir J, kita perlu menyampaikan hormat dan salut kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, yang cepat dan tegas mengambil sikap. Ada proses yang berjalan sebagai upaya menuntaskan kasus ini. Paling tidak, sudah ada petinggi Polri yang dinonaktifkan. Autopsi ulang atas permintaan keluarga pun disetujui, untuk menggali fakta baru soal penyebab kematian Brigadir Yosua. Walau kita belum tahu seperti apa akhir dari proses hukum ini. 


Kita baru bisa menduga-duga, apakah Kapolri Listyo akan tetap berpegang teguh pada semangat Presisi Polri (prediktif, responsibilitas, dan transparansi), atau sekedar menyelamatkan kepentingan internalnya. Entahlah. Belum terjawab. 

Untuk kasus Brigadir J kita menaruh hormat, namun belum pada kasus KM 50. Dimana ada Ahmad Sofyan (26), Faiz Ahmad Syukur (22), Andi Oktiawan (33), Muhammad Reza (20), Lutfi Hakim (24). dan Muhammad Suci Khadafi (21) yang juga tewas mengenaskan. Kondisi jenazahnya hampir sama dengan Brigadir J. 

Anandra, keluarga almarhum Muhammad Suci Khadafi Poetra, dalam pertemuan dengan Komisi III DPR, Jumat (10/12/2020) mengungkapkan, ada tiga luka tembak di bagian dada Khadafi. Menurut dia, itu diketahui berdasarkan cerita ayahnya yang ikut memandikan Khadafi sebelum dimakamkan.

 “Lukanya seperti ditembak jarak dekat. Ayah saya cerita sambil berderai air mata, luka tembak di dada ada tiga,” ungkap Anandra


Sebagai warga negara yang taat hukum, kita hormati proses dan putusan Pengadilan Negeri yang menyidangkan kasus ini. Namun sebagai manusia yang berhati nurani, tentu kita masih bertanya-tanya, benarkan sesederhana itu ceritanya, sebagaimana putusan PN beberapa waktu lalu. Bahwa polisi yang menembak Laskar FPI itu dalam rangka membela diri. 


“Mengadili, menyatakan Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana sebagai dakwaan primer penuntut umum, menyatakan perbuatan Terdakwa Fikri Ramadhan dan M Yusmin melakukan tindak pidana dakwaan primer dalam rangka pembelaan terpaksa melampaui batas," demikian hakim ketua Muhammad Arif Nuryanta, saat membacakan putusan di PN Jakarta Selatan, Jumat (18/3/2022).

Dalam soal proses hukum, kasus Brigadir J lebih cepat penanganannya. langsung oleh Kapolri. Namun tidak pada kasus KM 50. Sama-sama penuh drama, tapi KM 50 lebih ruwet. Meminjam kata-kata Presiden Joko Widodo saat menggambarkan runyamnya sebuah persoalan. Ruwet!.

Dalam kasus KM50, netizen pun lebih nyinyir, bahkan sudah di luar batas nurani manusia. Sudah tewas mengenaskan, dihina pula. Ya laskar yang tewas, ya Habib Rizieq, ya FPI. Digempur netizen. Mereka, netizen, cenderung membela dan mendukung polisi dalam bertindak, dan menyalahkan laskar FPI yang tewas mengenaskan itu.

Berbeda dalam kasus Brigadir J. Netizen tersentak, marah, dan mendukung Kapolri untuk menuntaskan kasus ini secara transparan. Kapolri pun bersikap cepat tanggap. Apakah sikap itu karena dukungan netizen, atau karena tuntutan profesionalisme? Saya cenderung berharap pada kemungkinan kedua; tuntutan profesionalisme.


Negara ini adalah negara hukum. Pemerintah, khususnya penegak hukum, tidak boleh bersikap atas dasar arah angin netizen, apalagi arah politik. Ketika netizen membangun framing seseorang atau sekelompok orang anti NKRI, ingin mengubah Pancasila dengan paham lain, radikal, intoleran, kemudian aparat hukum melakukan aksi sapu bersih. Padahal itu framing oleh netizen. 

Keterbelahan bangsa ini seharusnya diatasi. Bukan dinikmati. Terlebih, netizen itu ‘kemanusiaannya’ belum teruji. Kewarganegaraannya belum pasti. Modal telepon seluler, buka banyak akun media sosial, kemudian bersuara, menghujat, mencaci maki. Tiada hati nurani. 

Masa negara patuh pada suara yang berasal dari akun media sosial? Palsu pula! Dari namanya saja sudah nggak jelas. Misalnya, @Rera0102, @uci_cantikcaem90, atau @NKRIhargamati. Entah siapa mereka. Adakah KTP nya? 

Sudahlah. Akhiri semua ini. Mari bangun negeri ini dengan semangat berbangsa, bukan atas suara @uci_cantikcaem90, atau tagar yang bertengger di kolom kanan atas media sosial. 

Kita yakin, aparat negara adalah orang-orang yang profesional. Seperti yang sedang diperankan Kapolri  Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat ini. Bukan karena suara netizen, suara nyinyir @uci_cantikcaem90. Apalagi suara mereka yang mencari nafkah lewat postingan di media sosial.  (penulis adalah Pemimpin Redaksi Satu Indonesia News Network-SNN)

Sumber: satuindonesia.news