Habib Ali Alatas: Islamofobia di Indonesia

 




Selasa, 30 Agustus 2022

Faktakini.info 

ISLAMOFOBIA DI INDONESIA

Oleh: Ali Alatas, SH

Pengacara & Sekum FPI

Koran Kompas pada tanggal 25 Agustus 2022 mengangkat tulisan opini guru besar Hukum Tata Negara Indonesia sekaligus Menkopolhukam Moh Mahfud MD yang berjudulkan "Islamofobia VS Radikalisme dan Spiritualitas", yang cukup menggelitik bila dibaca seksama. Tulisan opini tersebut dibuka dengan kalimat "Adanya kajian "Ba'da zhuhur" secara rutin di Bank Indonesia selama ini menjadi bukti bahwa di Indonesia tidak ada Islamofobia oleh negara."

Dari pembukaan saja dapat terlihat bagaimana Mahfud MD berupaya ingin membuktikan bahwa Islamofobia itu tidak ada di Indonesia. Latar belakang upaya Mahfud MD diceritakan sendiri olehnya dikarenakan pasca Majelis Umum PBB menerbitkan Resolusi yang menetapkan tanggal 15 Maret sebagai hari Anti-Islamofobia, banyak aktifis menyebutkan bahwa fenomena Islamofobia juga terjadi di Indonesia. bisa

Anehnya, Mahfud MD menceritakan latar belakang diterbitkan resolusi PBB itu semata-mata karena sikap rasis dan diskriminasi yang dialami atlet di dunia olah raga dengan memberi contoh pesepakbola muslim Mohammed Salah dan Zinedine Zidane. Mahfud MD seperti menutup mata dan lupa atas diskriminasi dan pelecehan terhadap muslimah yang terjadi semisal di Perancis yang melarang penggunaan Hijab dan sikap diskriminasi serupa di India yang bahkan mengarah kepada genosida. 

Tampaknya kegusaran Mahfud MD terhadap isu Islamofobia di Indonesia itu tidak bisa dilepaskan dengan deklarasi Gerakan Nasional Anti Islamofobia yang diprakarsai oleh berbagai tokoh dan aktifis muslim di Masjid Al Azhar Kebayoran Baru, pada tanggal 15 Juli 2022. Mungkin dalam benak Mahfud MD mana mungkin lah bila Indonesia negara dengan mayoritas muslim terbesar di dunia, bisa terjangkit virus Islamofobia yang umumnya terjadi di negara dengan populasi muslimnya minoritas. 

Sampailah kita pada pernyataan paling mendasar, apa itu Islamofobia? Dan mungkin kah di Indonesia ini dimana selalu membanggakan populasi muslimnya mayoritas dan terbesar di dunia, bisa terjadi fenomena Islamofobia? Untuk menjawab ini, ada kiranya perlu melakukan tinjauan teoritis terkait konsep Islamofobia itu sendiri. 

Menurut _Oxford Dictionary_ Islamofobia adalah _dislike of or prejudice against Islam or Muslims, especially as a political force._ yakni ketidaksukaan dan prasangka buruk terhadap Islam atau muslim, terutama sebagai kekuatan politik. Sedangkan bagi Organisasi Kerjasama Islam atau OKI, Islamofobia adalah kombinasi dari kebencian, ketakutan, dan prasangka buruk terhadap Islam, terhadap muslim dan terhadap segala yang diasosiasikan kepada agama Islam, seperti masjid, _Islamic Center_, kitab suci Al Qur'an, hijab dan lainnya. Masih termasuk pada Islamofobia yakni kebencian, rasisme dan diskriminasi dalam kehidupan sehari-hari, di media, pada tempat kerja, dalam dunia perpolitikan dan lain-lain. 

Islamofobia bertempat pada alam pikir, tercermin dalam sikap tindak tanduk dan dapat termanifestasi menjadi aksi kekerasan seperti pembakaran masjid, perusakan properti, kekerasan terhadap wanita yang menggunakan jilbab atau menghina dan menista Nabi SAW serta simbol-simbol lainnya yang disucikan dalam Islam. Bayrekli dan Hafez memberikan definisi yang lebih mendalam terhadap Islamofobia, yang dikatakan sebagai _epsitemic racism_ dimana Islam dianggap sebagai antitesis dari peradaban Barat dengan konsep "masyarakat sekuler modern". 

Terdapat makalah menarik yang ditulis oleh seorang pakar Islamofobia sekaligus Profesor di bidang Hukum Tata Negara Amerika Serikat, yakni Khaled Beydoun. Ia menulis makalah yang berjudul _Exporting Islamophobia in the Global “War On Terror”_, dimana digarisbawahi  bahwa Islamofobia bukan sekedar permusuhan, kebencian, kecurigaan, atau ketakutan belaka, akan tetapi Islamofobia juga merupakan alat politik. Islamofobia memiliki tiga dimensi, yakni _Private Islamophobia, Structural Islamophobia_ dan _Dialectical Islamophobia._ 

_Private Islamophobia_ atau Islamofobia dalam dimensi privat yakni Islamofobia yang dilakukan oleh perseorangan, yang terwujudkan dalam sikap tindak tanduk perorangan belaka. Sedangkan _Structural Islamophobia_ atau Islamofobia dalam dimensi struktural yakni Islamofobia yang dilakukan atau setidaknya disponsori oleh negara atau aparatur negara, yang termanifestasikan lewat pemberlakuan dan penerapan kebijakan.

 Islamofobia dalam dimensi privat maupun struktural tidak berdiri masing-masing, melainkan saling terikat satu sama lain yang kemudian fenomena tersebut dinamakan _Dialectical Islamophobia._ _Dialectical Islamophobia_ sendiri adalah dialektika yang sistematis, cair,  dan sangat terpolitisir antara negara dan warganya, dialektika dimana aktor negara membentuk, mewarnai dan mengkonfirmasi pandangan salah tentang Islam dan muslim. Singkatnya hubungan saling mempengaruhi antara aktor negara dan aktor privat dalam pembentukan prasangka buruk dan perlakuan buruk terhadap Islam dan Muslim.

Umumnya kasus Islamofobia memang lebih populer terjadi di negara-negara Barat, karena itu pasti akan dipertanyakan apakah bisa Indonesia negara yang mayoritas muslim bisa terjadi Islamofobia? Jawabannya bisa, setidaknya  itu yang dijawab oleh Bayrakli dan Hafez dalam buku _Islamophobia In Muslim Majority Society_. Bayrekli dan Hafez menggambarkan fenomena Islamofobia dengan gambaran mengenai kelompok yang dominan bertujuan merebut, menstabilkan dan memperlebar kekuasaan dengan cara membuat kambing hitam, baik asli atau rekayasa belaka, serta mengucilkan dan mengusir kambing hitam tersebut dari ungkapan "kita".

Bayrekli dan Hafez menggarisbawahi, bahwa pada esensinya, fenomena Islamofobia terikat dengan konteks politik global yang tersusun dari tatanan pasca-kolonial dan terkait erat dengan hegemoni global Amerika Serikat hari ini. Islamofobia pada masyarakat mayoritas muslim selain pengaruh hegemoni barat pada panggung pergaulan bangsa-bangsa, juga akibat pihak yang dinamakan oleh Bayrakli dan Hafez sebagai "elit yang terbaratkan", dimana elit tersebut tersebar diberbagai bidang baik elit politik, elit ekonomi, elit intelektual dan lainnya. 

Elit terbaratkan pada masyarakat mayoritas muslim ini muncul akibat dua sebab; yang pertama fenomena penjajahan barat di wilayah-wilayah muslim, hingga akhir muncul kaum yang menyerap nilai dan pengetahuan ala barat, yang kedua lewat fenomena _Self Westernization_, atau fenomena dimana wilayah muslim tidak mengalami penjajahan, tapi karena persinggungan intens menyebabkan orang-orang yang menyerap nilai barat dan menganggap pilihan terbaik berhadapan dengan barat adalah dengan menjadi barat. 

Elit terbaratkan ini mengalami penyakit yang dikatakan oleh Syed Hussein Alatas dengan sebutan _Captive Mind_ atau mental terbelenggu, terbelenggu oleh apa? Terbelenggu oleh anggapan bahwa tradisi atau _Worldview_  (pandangan dunia) Islam sudah usang dan tertinggal, kemudian bila masyarakat Muslim ingin maju maka harus menjadi masyarakat modern yang sekuler dan untuk mencapai itu ditempuh lewat jalan pembaratan alias westernisasi atau yang lebih tepat oleh Syed Naquib Alatas dinamakan sekularisasi. 

Karena itu elit terbaratkan melakukan upaya pengaturan terhadap identitas keislaman agar tidak menjadi ancaman bagi bangunan negara bangsa sekuler ala Barat. Karena itu Salman Sayyid menganggap Islamofobia itu seputar bagaimana caranya agar identitas politik Islam tidak bisa hidup. Bagi Salman Sayyid, tantangan hari ini bagi muslim adalah tidak adanya tempat bagi identitas keislaman dalam ruang epistemologis dan politik.

Lantas bagaimana Indonesia? Indonesia mengalami penjajahan oleh negara-negara Barat, seperti Portugis, Spanyol, Inggris dan yang terlama adalah Belanda, untuk Jepang walaupun sendiri walaupun dari negara Asia namun kaisar Meiji telah melakukan program restorasi Meiji dimana salah satunya adalah melakukan westernisasi pada masyarakatnya, sehingga nilai-nilai yang dibawa pun masih bercorak Barat. Sebelum penjajahan menancapkan kuku pada masyarakat Indonesia, Indonesia sudah mengalami masa kesultanan Islam yang menerapkan Syariat Islam sebagai tatanan hukumnya. 

Pada masa penjajahan Belanda terlahir konsep _"Ethische Politiek"_ atau politik etis atau politik balas budi, yang tercermin dalam tiga kebijakan utama yakni, Irigasi, Imigrasi dan Edukasi.  Politik Etis sebagai bentuk balas budi pemerintah kolonial yang selama ini telah mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia Indonesia akan akan tetapi tetap membiarkan kondisi Bumiputera tetap dalam keadaan yang dianggap rezim kolonial sebagai masyarakat tertinggal dan terbelakang. Pada kebijakan Edukasi dalam Politik Etis, memberi kesempatan kaum Bumiputera untuk mengenyam pendidikan ala barat yang dikemudian hari melahirkan tokoh-tokoh elit pribumi yang kebanyakan muslim menjadi elit yang terbaratkan. 

Nilai-nilai Barat-Sekuler yang tertanam pada elit terbaratkan terus dikembang-biakkan dan dilanjutkan dalam dunia pendidikan, terbukti lewat pola dikotomis pendidikan Indonesia yang memisahkan pendidikan umum dan pendidikan agama, terutama Islam. Seolah-oleh modernitas itu dapat diperoleh lewat mengenyam pendidikan umum, sedangkan hanya yang terbelakang saja yang mengambil pendidikan Islam. 

Pada masa orde baru, keberadaan asas tunggal menyebabkan identitas keislaman dalam ruang politik makin tersudutkan, terus menurus diawasi dan dicurigai bahkan dihabisi bila sedikit bergerak, hingga muncul label EKA atau Ekstrim Kanan. Pasca Reformasi, keran kebebasan dibuka luas akan tetapi pasca peristiwa 11 September dan deklarasi _Global War On Terrorism_, kecurigaan terhadap Islam dan kelompok Islam dalam dunia politik kembali menyeruak dikalangan publik. 

Dimasa rezim hari ini, Identitas keislaman dalam ruang politik semakin dibatasi lewat berbagai labelisasi dan demonisasi dengan menggunakan istilah politik identitas, politisasi agama dan sebagainya. Belum lagi penistaan terhadap ajaran dan simbol agama Islam yang semakin marak tapi ketika dilaporkan kepada pihak penegak hukum, maka umat Islam hanya bisa gigit jari atas miskinnya penanganan, apalagi bila dilakukan oleh para BuzzeRp atau atau pendengung pro-rezim. 

Lalu kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis Islam juga nyata terjadi. Ingatan publik belum lupa bagaimana Habib Rizieq Syihab dipidana hanya karena mengatakan "baik-baik saja" suatu keputusan hukum yang Andi Hamzah, Guru Besar Hukum Pidana senior di Indonesia, kepusingan lihatnya, atau bagaimana bapak Munarman dipidana hanya karena ikut seminar. 

Tidak lupa, bagaimana Hijrah Fest, suatu acara anak muda milenial yang berisi motivasi perbaikan diri, tetapi dicurigai dengan berbagai tuduhan. Atau labelisasi "Kadrun" atau Kadal Gurun kepada orang-orang yang menunjukkan kesalehan diruang publik, seperti berjenggot, bersurban, bergamis, membaca Al Qur'an diruang publik, berdzikir bersama dan lain sebagainya. Hal ini diakui sendiri eksistensinya oleh Mahfud MD dalam tulisan opininya di Kompas. 

Belum terlalu lama Majelis Ulama Indonesia melakukan Ijtima Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia pada 9 November 2021 menerbitkan fatwa yang merekomendasikan Agar Masyarakat dan Pemerintah tidak memberikan stigma negatif terhadap makna jihad dan khilafah, hal ini timbul dikarenakan keresahan MUI atas labelisasi negatif kepada dua ajaran yang masih termasuk dalam ajaran Islam. Begitu juga MUI menfatwakan kriteria penodaan agama sebagai respon maraknya penodaan agama yang bila dilaporkan kepada pihak penegak hukum, tapi ditolak dengan alasan belum ada fatwa MUI.

Belum lagi BNPT yang sudah terlalu sering melakukan kontroversi, seperti mencirikan penceramah radikal dengan ciri-ciri yang hanya tendensius kepada Islam atau mengumumkan pesantren terafiliasi teroris, atau mengatakan strategis teroris masuk ke partai dan ormas Islam. Adalagi Menteri Agama yang mengatakan paham radikal dibawa oleh anak anak yang good looking, penguasaan bahasa Arab bagus dan hafiz Qur'an. Kemudian Menteri Agama selanjutnya tidaklah lebih baik, dengan membandingkan suara azan dengan gonggongan anjing. Na'udzubillah min dzalik. 

Mahfud MD mengakui bahwa adanya serangan terhadap aktivitas dan simbol-simbol keislaman, akan tetapi tidak mengakui adanya Islamofobia di Indonesia, Wapres Ma'ruf Amin saja mengakui adanya Islamofobia dalam pidatonya di Islamic Book Fair 2022. Apakah tidak membuka mata Mahfud MD? Diamnya saja pemerintah terhadap Islamofobia yang dilakukan privat, adalah dengan sendirinya dukungan pemerintah _By Omission_ terhadap Islamofobia, sehingga dengan sendirinya juga dapat membuktikan dugaan berbagai kalangan bahwa terdapat aktor dalam pemerintahan pun terjangkit Islamofobia. 

(Jakarta 30 Agustus 2022)