Habib Ali Alatas: Tentang Politik Identitas

 


Ahad, 21 Agustus 2022

Faktakini.info 

*TENTANG POLITIK IDENTITAS*

Ali Alatas, SH

Sekum DPP FPI (Front Persaudaraan Islam)

Saat pidato rutin tahunan Presiden Jokowi pada tanggal 16 Agustus, ada beberapa hal yang cukup menggelitik penulis, seperti Presiden Jokowi membanggakan citra Indonesia pada panggung Internasional, terutama capaian diplomasi Indonesia terkait upaya perdamaian atas konflik Rusia-Ukraina, dimana Indonesia dapat diterima oleh kedua belah pihak. Namun sejarah mencatat, ketika Jokowi berkunjung ke Ukraina kemudian dilanjutkan ke Rusia, Jokowi mengaku membawa pesan Zelensky selaku presiden Ukraina kepada Putin, akan tetapi Ukraina tidak mengakui. Begitu juga setelah selesai membawa pesan perdamaian ke Rusia, Rusia malah meningkatkan serangan ke Ukraina. Sehingga tidak sedikit kalangan menganggap misi perdamaian yang dibawa Presiden Jokowi telah gagal atau setidak-tidaknya dikatakan belum berhasil. 

Masih soal pidato Presiden Jokowi dalam acara sidang tahunan MPR RI pada Selasa, 16 Agustus 2022, ada hal yang perlu disoroti dan sangat menggelitik bagi penulis sampai harus menuliskan risalah ini, yakni soal ungkapan dalam pidato tersebut yang mengatakan "...saya ingatkan, Jangan ada lagi Politik Identitas, jangan ada lagi Politisasi Agama, jangan ada lagi polarisasi sosial...", begitu secuil kutipan dari pidato kemarin, yang memberikan highlight negatif terhadap Politik Identitas, Politisasi Agama, dan Polarisasi Sosial. 

Terkait Politisasi Agama dan Polarisasi Sosial, perlu pembahasan lebih mendetil atas masing-masing istilah tersebut, tapi sedikit saja yang menanggapi. Kami sangat setuju agar politisasi agama ditiadakan, akan tetapi jangan sampai justru mengantagoniskan agama sebagai sumber inspirasi dan aspirasi dalam ruang politik kenegaraan sebagaimana diinginkan paham sekularisme yang bertentangan dengan Pancasila. Dalam masalah Polarisasi Sosial, maka penyumbang terbesar polarisasi sosial adalah Buzzer bayaran yang terus menerus menyerang pribadi tokoh oposisi terhadap rezim serta hobinya mendulang untung dari kebencian dan ketakutan palsu yang disebarluaskan sendiri oleh mereka. 

Fokus tulisan kali adalah soal Politik Identitas. Jokowi dalam pidatonya seperti memberi peran antagonis bagi politik Identitas dalam ruang kenegaraan, sehingga menurutnya perlu dihabisi dan ditiadakan karena Politik Identitas sudah dianggap gangguan bagi konsolidasi Nasional. Tapi apakah politik Identitas adalah barang haram bagi perpolitikan di Indonesia? Sebelum jauh membahas maka wajib kita pahami terminologi konsep Politik Identitas agar tidak sesat dalam berpikir. Karena bukannya jarang dalam percakapan publik kita, istilah-istilah dilontarkan secara serampangan sehingga menimbulkan sesat dalam berpikir, akibatnya akan sesat dalam bertindak. 

Politik Identitas merupakan konsep yang terlahir relatif baru dalam ilmu sosial politik. Politik Identitas tercatat mulai populer digunakan pada sekitar akhir 1970an lewat gerakan pemenuhan hak sipil kaum wanita di Amerika Serikat pada dekade tersebut. Ia makin ramai digunakan seiring perkembangan gerakan sosial yang mengusung hak sipil kelompok tertentu, gerakan Feminis, gerakan nasionalis dan sejenisnya. Karenanya dari beberapa definisi yang tersebar dalam berbagai literatur sosial politik, Politik Identitas dapat dimaknai suatu pendekatan politik dimana suatu kelompok tertentu membentuk agenda politik yang didasari Identitas tertentu, baik Identitas ras, agama, etnis, gender, bahasa atau latar belakang sosial lainnya. Pada perkembangannya, istilah Politik Identitas juga digunakan untuk mengidentifikasi gerakan politik serupa bahkan sebelum istilah itu sendiri lahir. 

Di Amerika Serikat misalnya terdapat gerakan kaum kulit hitam yang mengusung usaha pemenuhan hak sipil kaum kulit hitam dengan tokoh yang muncul menjadi pemimpin seperti Martin Luther King Jr dan Malcolm X dan kemudian hari ini dikenal dengan gerakan Black Lives Matter, itu semua adalah politik Identitas, yang mengusung agenda politik yang didasari ras kulit hitam. Begitu juga di Kanada terdapat gerakan Quebecois Nationalism, yakni gerakan yang mengusung agenda politik yang didasari keunikan negara bagian Quebec yang berbahasa Perancis (Francophone) ditengah negara bagian lainnya di Kanada yang umumnya berbahasa Inggris (Anglophone), itupun Politik Identitas.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Dalam sejarah politik Indonesia, sejak sebelum kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, terdapat tiga arus besar utama gerakan politik, yakni gerakan Nasionalis-Islamis yang menjadikan Islam bukan hanya sekedar peribadatan belaka, namun juga menjadi fondasi yang mendasari perjuangan politiknya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, sebagaimana yang dilakukan Sarekat Islam, Muhammadiyah, NU, Masyumi dan lain sebagainya, kemudian gerakan Nasionalis-sekular yang menjadikan entitas kebangsaan sebagai alat utama dalam perjuangan politiknya seperti Perhimpunan Indonesia, Indische Partij, Partai Nasionalis Indonesia serta lainnya, dan yang terakhir adalah gerakan komunis yang menjadikan ide Marxisme-Leninisme sebagai dasar perjuangan politiknya seperti PKI. Baik gerakan Islam maupun gerakan Nasionalis perdefinisi dapat dikategorikan kedalam politik Identitas karena masing-masing mereka menjadikan Identitas Islam atau Identitas Kebangsaan sebagai dasar agenda politik mereka. 

Sedangkan gerakan Komunis yang menjadikan Marxisme dengan ajaran pertentangan kelasnya, walaupun terdapat sebagian ilmuwan sosialr politik memasukkan kelas sosial sebagai Identitas, namun cenderungnya ilmuwan sosial politik yang kekiri-kirian akan akan menolak Sosialis-Marxisme dengan segala variannya dikategorikan sebagai Politik Identitas. Umumnya mereka akan akan mengatakan politik mereka adalah politik kelas yang berfokus pada tema perjuangan kelas bukan politik Identitas. Sejarah pun mencatat bagaimana pengkhianatan kaum komunis di Indonesia yang melakukan pemberontakan pada tahun 1948 kemudian diulangi kembali pada pada tahun 1965, hingga saat akhirnya secara resmi ideologi Komunisme dilarang dikembangkan di Indonesia.

Dasar Negara Indonesia merdeka pun digodok dalam sidang BPUPKI, tiap-tiap perwakilan kelompok politik berdebat memperjuangkan idenya sebagai dasar negara, hingga akhirnya pada 22 Juni 1945 disepakati Piagam Jakarta yang berisi lima sila sebagai dasar negara Indonesia merdeka, dengan ciri khas pembedanya pada sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya." Kemudian Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, lalu keesokan harinya tanggal 18 Agustus, butir Pancasila direvisi pada sila pertamanya menjadi sebagaimana yang hari ini kita kenal yang berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa."

Keberadaan Pancasila sendiri sebagai Dasar Negara, tidak mematikan dan memusnahkan politik identitas yang sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Ia adalah Dasar Negara yang menjadi titik temu, wadah bersama, bagi berbagai bentuk agenda politik, mirip iklan "apapun makannya minumnya teh botol sosro, " begitu juga apapun agenda politiknya, Pancasila Dasar Negaranya. Kurang lebih begitulah manifestasi dari "Persatuan Indonesia" Sila ke 3 Pancasila. Soekarno sendiri saat berkuasa sebagai Presiden Indonesia, walaupun sudah ada Pancasila, tapi tetap menggaungkan konsep Nasakom, singkatan dari Nasionalis, Agamis dan Komunis, yang diklaim sebagai upaya penyatuan arus politik utama pada masanya. Apapun tanggapan anda soal Nasakom yang dikampanyekan Soekarno, setidaknya hal tersebut bisa jadi bukti bagi orang-orang yang mengklaim diri sebagai Soekarnois bahwa Soekarno sendiri mengakui eksistensi Politik Identitas dalam kerangka negara yang berdasarkan Pancasila. Pancasila justru mulai digunakan sebagai alasan menghilangkan identitas dalam ruang diskursus perpolitikan ketika masa asas tunggal, dimana tidak ada parpol maupun ormas yang diperbolehkan menggunakan asas lain selain asas Pancasila. Itupun masih bisa dikategorikan sebagai Politik Identitas. 

Walhasil, Politik Identitas sudah ada sedari Indonesia belum merdeka, bahkan menjadi kekuatan penting bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ganjil jika kemudian diberikan peran antagonis yang wajib ditiadakan, apalagi jika diungkapkan dalam suasana memperingati hari kemerdekaan Indonesia di bulan Agustus, dimana pahlawan yang berjasa bagi perjuangan kemerdekaan hampir seluruhnya, bila tidak mau dibilang semuanya, menganut politik identitas.