Tegas! Edy Mulyadi Keberatan JPU Hadirkan Ahli dari Polri di Sidang Kasus 'Tempat Jin Buang Anak vs Oligarki"
Rabu, 3 Agustus 2022
Faktakini.info, Jakarta - Terdakwa kasus 'Jin Buang Anak', Edy Mulyadi mengungkapkan protesnya saat Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan Muhammad Asep selaku ahli digital forensik dari Mabes Polri. Edy menganggap Asep tak akan objektif dalam memberikan keterangan.
Awalnya, tim penasihat hukum Edy melontarkan keberatan atas keterangan yang akan disampaikan Asep. Dalam persidangan dengan agenda mendengarkan ahli itu, sempat terjadi debat soal keabsahan kesaksian Asep.
"Ahli itu prinsipnya objektif, saya ragukan kesaksiannya karena masih satu institusi (Polri)," kata Edy dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Selasa (2/8/2022).
Hakim Ketua, Adeng AK berusaha menenangkan situasi. Ia menjamin keberatan dari kubu Edy Mulyadi akan menjadi catatan tersendiri bagi majelis hakim.
"Kembali ke KUHAP saja. Majelis (hakim) jangankan keberatan, tapi bisa tidak menganggap kesaksian ahli. Saksi ketika diajukan harus didengar, soal kesaksian gimana majelis yang menilai," ujar Adeng.
Seusai sidang, Edy menegaskan menghiraukan keterangan Asep. Ia menganggap keterangan Asep tak layak jadi pertimbangan hakim. "Keterangan (Asep) tidak perhatikan lagi. Saya abaikan, karena secara keseluruhan saya menolak keterangan tersebut," ujar Edy.
Edy juga meyakini latar belakang Asep yang berhubungan dengan kepolisian membuat keterangannya sulit berbeda dari arahan atasannya. "Saya berinteraksi dengan polisi-polisi dari mulai pangkat rendah sampai atasan. Dan saya bagaimana bisa menilai hubungan atasan bawahan di kepolisian. Itu enggak ada enggak siap, pasti siap. Enggak ada (bawahan) bilang wah enggak bisa, pasti siap," sebut Edy.
Edy menyimpulkan keterangan Asep tak bisa memenuhi unsur objektivitas. "Jadi, walaupun teorinya independen objektif segala macam, praktiknya tidak bisa. Pas komandan pimpinan mengarahkan begini begitu dan sebagainya. Saya menyatakan menolak (keterangan Asep)," kata Edy.
Pada perkara ini, Edy didakwa menyebarkan berita bohong alias hoaks. Pernyataan Edy diangggap bisa memantik keonaran di tengah masyarakat.
JPU mendakwa Edy Mulyadi melanggar pasal tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Diketahui, eks calon legislatif itu ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Bareskrim Polri pada akhir Januari 2022. Kasus yang menjerat Edy bermula dari pernyataannya soal lokasi Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan yang disebut tempat jin buang anak. Pernyataan Edy memancing reaksi keras sebagian warga Kalimantan.
Beberapa waktu lalu Edy telah menjelaskan maksud pernyataan tempat jin buang anak, yakni untuk menggambarkan istilah lokasi yang jauh. Dia lantas menyebut Monas hingga BSD juga dulu disebut sebagai tempat jin buang anak.
"Di Jakarta, tempat jin buang anak itu untuk menggambarkan tempat yang jauh, jangankan Kalimantan, istilah kita mohon maaf ya, Monas itu dulu tempat jin buang anak, BSD, Balai Serpong Damai itu tahun 80-90-an itu tempat jin buang anak, jadi istilah biasa," ucapnya.
Lebih lanjut, Edy Mulyadi menduga memang ada pihak yang sengaja memainkan isu yang diucapkannya itu. Bagaimanapun, dia mengakui tetap meminta maaf terkait pernyataannya.
"Tapi temen-temen saya nggak tahu dengan motif apa segala macam ada yang berusaha memainkan isu ini, tapi meski demikian saya ingin sampaikan bahwa saya minta maaf itu benar-benar bukan masalah, saya akan minta maaf, itu mau dianggap salah atau tidak salah saya minta maaf," ujarnya.
Kemudian, Edy juga meminta maaf atas pernyataannya jika melukai masyarakat khususnya warga Kalimantan. Dia lalu memberi gambaran maksud pernyataannya tempat jin buang anak seperti bahasa 'jancuk' oleh orang Jawa Timur yang dianggap kasar oleh orang Jawa Tengah.
"Jadi itu tetap gimanapun juga saya tetap minta maaf kalau ternyata ucapan tadi dianggap melukai, buat kami, di sini, di Jakarta khususnya, itu istilah yang sangat umum, sebagaimana ada beberapa daerah yang secara budaya umum," jelasnya
"Mohon maaf, misalnya Jawa Timur, dia biasa berkata-kata yang buat orang Solo 'wih kasar banget loh', gitu ya 'jancuk kon mati kapan', itu kan maaf-maaf artinya 'sialan lu, kapan mati lu?' itu kan buat Jawa Timuran biasa banget, tapi buat orang Solo Jawa Tengah 'ih kasar banget'. Nah pada konteks itu sekali lagi saya ingin tekankan tempat jin buang anak, buat kami, saya khususnya Jakarta itu, bener-bener hanya menggambarkan tempat jauh, nggak ada potensi merendahkan menghina nggak ada," tambahnya.
Sumber: Republika.co.id, detik.com