Novum Baru Pembantaian 6 Pengawal HRS Ada di Kantor Polisi

 





Jum'at, 2 September 2022

Faktakini.info, Jakarta - Keterangan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), Jenderal Listyo Sigit Prabowo tentang pembunuhan enam pengawal Habib Rizieq Syihab menarik dicermati. Ia mengatakan, peristiwa yang terjadi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek Km 50, pada 7 Desember 2020 itu akan diproses kembali jika ada bukti baru atau novum. 

"Terkait  dengan Km 50, saat ini sudah berproses di pengadilan. Memang sudah ada keputusan, dan jaksa juga sedang mengajukan banding terhadap kasus tersebut. Tentunya kami juga menunggu, " kata Sigit dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, di gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu,  24 Agustus 2022.

Kasus Km 50 kembali mengemuka setelah peristiwa pembunuhan terhadap anggota polisi Brigadir Josua Hutabarat yang juga dilakukan polisi. Pembunuhan berencana terhadap Josua diotaki oleh Inspektur Jenderal Ferdy,  Sambo yang sudah diberhentikan dengan tidak hormat sebagai anggota polisi (meski ia masih banding), dan juga istrinya Putri Candrawathi. Saat melakukan pembunuhan, Sambo menjabat sebagai Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri.

Kasus pembunuhan terhadap Josua dan enam laskar FPI di Km 50 hampir mirip. Mulai dari keterangan pers yang direkayasa dan penghilangan kamera pengintai atau CCTV.

Pasangan suami-istri tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka kasus pembunuhan berencana. Dua anggota polisi dan seorang sipil juga ditetapkan jadi tersangka. Enam perwira juga menjadi tersangka pelanggaran pidana menghalang-halangi proses hukum atau obstruction of justice terkait kasus tersebut. Sederet anggoga polisi lainnya ditempatkan di ruang khusus karena pelanggaran etika dan sebagian besar kemungkinan kena pidana.

Kembali ke ucapan Listyo Sigit mengenai kasus Km 50, maka pertanyaannya adalah novum yang bagaimana yang diharapkan? Kasusnya, mirip dengan pembunuhan Josua, berupa usaha menghilangkan kamera pengintai atau CCTV/Closed Circuit Television. 

Mari gunakan akal sehat menelusuri peristiwa Km 50 itu. Pertama, beberapa waktu setelah pembunuhan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) - kini berganti nama Front Persaudaraan Islam - itu, rest area atau tempat istirahat tersebut sudah rata dengan tanah.

Pertanyaannya, kenapa tiba-tiba dibongkar? Meskipun ada keterangan dari pihak PT Jasa Marga, pembongkaran sudah direncanakan sebelum peristiwa tersebut, namun tetap terasa janggal dan penuh misteri. Ya, kalaupun benar sudah direncanakan mau dibongkar, ya tunggu tiga sampai empat bulan tentu akan lebih nyaman dan tidak menjadi pertanyaan masyarakat, khususnya pengurus, anggota dan simpatisan organisasi yang telah dibubarkan pemerintah itu. Lebih khusus lagi, dari keluarga besar enam laskar tersebut. Lalu, siapa yang meminta atau memerintahkan supaya tempat tersebut segera dibongkar?

Kedua, CCTV yang ada di jalan tol menuju Km 50 dan di lokasi kejadian, katanya, rusak, mati, kena gangguan.  Kok bisa terjadi kerusakan secara bersamaan? Perlu diselidiki lagi, siapa yang merusak atau atas perintah siapa, sehingga seluruh CCTV tidak hidup. Untung tidak ada peristiwa besar lainnya yang terjadi pada waktu  hampir bersamaan.

Ketiga, enam HP atau telefon genggam laskar yang dibunuh hilang. Sampai sekarang, belum ditemukan/dikembalikan atau dijadikan alat bukti di persidangan. Ke mana dan di mana HP itu sekarang? Kalau hilang, siapa yang menghilangkan? Siapa yang meminta atau merampasnya dari tangan laskar? 

Keempat, keberadaan mobil Landcruiser hitam di Km 50.  Ada saksi mata yang melihat, begitu penumpang turun, para polisi yang berada di lokasi langsung memberi hormat. Ada semacam breefing atau pengarahan dari orang tersebut kepada sejumlah anggota polisi di tempat itu. 

Siapa penumpang yang turun dari mobil tersebut? Rasanya tidak masuk akal jika orang tersebut berpangkat rendah. Dapat dipastikan, penumpang Landcruiser itu orang berpengaruh dan memiliki posisi penting di kepolisian atau penegak hukum. Listyo Sigit, tentu mudah melacaknya, jika ada kemauan dan kesungguhan membongkar tuntas peristiwa Km 50 itu.

Kelima, ketika kendaraan yang ditumpangi HRS dan keluarga dipepet mobil yang tidak menggunakan plat nomor dinas polisi, seseorang berpakaian preman (tidak pakai seragam polisi) sempat mengeluarkan tangannya yang penuh tato ke mobil menantu HRS, Muhmamad Hanif. Hal itu terjadi ketika mobil yang ditumpangi Hanif mencoba menghalangi agar tidak memepet mobil HRS. Siapa orang itu? Coba Pak Listyo diselidiki, itu polisi bertugas di mana? 

Mudah juga menelusurinya. Berapa orang anggota polisi bertato seperti itu? Apalagi dalam kasus Josua, ada seorang polisi yang berfoto dengan Sambo (bersama ajudan lainnya) yang tangannya bertato juga. Cuma satu orang dan berjambang saat difoto.

Itulah sekedar masukan buat  Listyo Sigit. Jika ada kemauan, tidak usah menunggu bukti baru. Lima hal di atas saja, bisa menjadi novum, atau menjadi dasar penyelidikan dan penyidikan. Masih ada beberapa hal lainnya yang bisa dijadikan novum.

Apalagi, peristiwa penembakan enam laskar FPI itu diduga dilakukan oleh anggota polisi yang berada pada Satuan Tugas Khusus (Satgasus) Merah Putih  yang kini sudah dibubarkan. Kepala Satgasus saat peristiwa Km 50 adalah Ferdy Sambo.

Tahun 2021, Brigadir Jenderal (Brigjen) Hendra Kurniawan, anak buah Sambo di Divisi Propam  terlibat dalam tim khusus pencari fakta  kasus Km 50. Hendra ikut bersama Kapolda Metro Jaya, Irjen Fadil Imran dan Pangdam Jaya, Dudung Abdurachman saat menggelar jumpa pers peristiwa penembakan laskar itu. Hendra juga bagian dari Satgasus.

Ayo dong Pak Listyo Sigit. Sebenarnya, dari nurani yang dalam, Anda tahu semua itu.

Foto: Makam para syuhada FPI di Megamendung 

Sumber: FNN.co.id