Novum Kasus KM 50, Sebuah Kejahatan Pelanggaran HAM Berat, yang Harus Diadili dengan Pengadilan HAM, Bukan Pengadilan Biasa




Rabu, 21 September 2022

Faktakini.info 

*NOVUM KASUS KM 50, SEBUAH KEJAHATAN PELANGGARAN HAM BERAT, YANG HARUS DIADILI DENGAN PENGADILAN HAM, BUKAN PENGADILAN BIASA*

Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*

Advokat, Tim Advokasi Peristiwa KM 50

https://heylink.me/AK_Channel/

Kalau dipahami secara tekstual, Pengertian novum menurut Pasal 263 ayat (2) huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah:

_“apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.”_

Tentu saja, tafsir pernyataan Kapolri saat menjawab pertanyaan anggota Komisi III DPR RI saat ditanya soal peristiwa KM 50 bukanlah novum seperti yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP tersebut. Karena Kapolri berstatus penyidik, wakil negara untuk menyidik perkara, penegak hukum yang bertugas untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat.

Kapolri atau penyidik bukanlah kuasa hukum terdakwa. Kapolri tidak memiliki kepentingan untuk meringankan dan apalagi melepaskan terdakwa. Sebaliknya, Polri memiliki tugas menyidik pelaku kejahatan dan mengantarnya pada proses pengadilan untuk diadili dan diputus dengan seadil-adilnya.

Jadi, saat Kapolri menyampaikan novum pada peristiwa KM 50, maka kami menafsirkan novum dimaksud sebagai keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berbeda dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memberikan vonis onslag (lepas), atau akan dapat menjadi dasar penyidikan ulang pada satu kasus peristiwa pidana yang benar-benar berbeda dengan apa yang divonis oleh hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Karena itulah, pada Selasa (20/9) kami dari Tim Advokasi Peristiwa KM 50 mendatangi Mabes Polri untuk menyerahkan novum berupa Buku Putih Pelanggaran HAM berat pembunuhan 6 Pengawal HRS, yang diterbitkan oleh Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3). Selain Buku Putih, kami juga menyerahkan petikan putusan Habib Bahar bin Smith dan permohonan audit Satgasus Merah Putih.

Adapun pertimbangan kami menyerahkan novum tersebut adalah sebagai berikut :

*Pertama,* dalam kesimpulan dan tuntutan yang termuat dalam Buku Putih Pelanggaran HAM berat pembunuhan 6 Pengawal HRS (selanjutnya disebut novum), dinyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat dan direkomendasikan untuk dilakukan penyelidikan dan penyidikan peristiwa KM 50 agar perkaranya dapat diadili dalam pengadilan HAM berdasarkan ketentuan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Keadaan ini jauh berbeda dengan proses hukum KM 50 yang diadili via Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang tidak pernah mengadili adanya dugaan pelanggaran HAM berat. Lagipula, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili perkara karena perkara pelanggaran HAM berat semestinya diadili melalui Pengadilan HAM yang dibentuk secara ad hock, yang kewenangannya ada pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Apalagi, banyak fakta-fakta hukum dalam Novum yang berbeda sama sekali keadaannya, yang belum pernah atau tidak pernah diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memberikan vonis lepas (onslag) kepada Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella.

Atas dasar itulah, kami menyimpulkan Persidangan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memeriksa dan mengadili, lalu memberikan vonis lepas (onslag) kepada Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella, sebagai sidang dagelan dan peradilan sesat.

*Kedua,* pada putusan Habib Bahar Bin Smith juga memuat sejumlah

fakta-fakta hukum dalam Novum yang berbeda sama sekali keadaannya, yang belum pernah atau tidak pernah diperiksa dan diadili oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memberikan vonis lepas (onslag) kepada Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella.

Sebelumnya dalam perkara ini, Habib Bahar dituntut 5 tahun karena telah melakukan tindak pidana menyebarkan berita atau kabar bohong yang menerbitkan keonaran, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 1 UU RI Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.

Faktanya, Majelis Hakim hanya memvonis 6 bulan 15 hari karena hanya dianggap menyebarkan kabar yang tidak utuh atau tidak lengkap, sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat 1 UU RI Nomor 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana.

Artinya, Habib Bahar tidak bohong ketika berceramah di Margaasih Bandung, yang menjelaskan Enam pengawal Habib Rizieq Shihab dibunuh, dibantai, dicopot kukunya, dibantai, dikuliti, kemaluannya dibakar, mereka dibikin seperti binatang. Pernyataan ini hanya dianggap tidak lengkap atau tidak pasti.

Dalam fakta persidangan, banyak fakta yang berbeda seperti keterangan saksi dokter yang melakukan autopsi. Jika fakta-fakta tersebut dihadirkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tentulah hakim tidak akan memberikan vonis lepas (onslag) kepada Briptu Fikri Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella.

*Ketiga,* rekayasa Ferdy Sambo pada kasus pembunuhan Brigadir Josua mengindikasikan kuat adanya rekayasa di kasus KM 50. Kita bisa lihat dari soal fitnah tembak menembak, CCTV hilang, keterangan yang berubah-ubah, dan lain sebagainya.

Yang lebih substansial, ada Ferdy Sambo di kasus KM 50 yang memeriksa polisi yang melakukan pembunuhan dengan hasil nihil. Sebagai Kadiv Propam, Ferdy Sambo saat itu tidak menemukan adanya pelanggaran kode etik polisi, meskipun telah menyebabkan hilangnya 6 nyawa anak manusia.

Kalau di kasus Brigadir Josua saja Ferdy Sambo dengan entengnya melakukan rekayasa untuk menutupi kejahatan pembunuhan Brigadir Josua, bahkan melibatkan banyak anggota polisi dari pangkat terendah hingga perwira tinggi dalam kejahatan Obstruction of Justice, bukankah hal itu juga sangat mungkin terjadi bahkan hampir pasti terjadi dan dilakukan oleh Sambo saat menangani kasus KM 50 ?

karena itu, Satgasus Merah Putih harus diaudit. Kuat dugaan, Satgasus ini terlibat dalam peristiwa pembantaian 6 pengawal HRS, karena Ferdy Sambo menjabat sebagai Kepala Satgasus.

Tiga hal ini, yang melatarbelakangi kami mendatangi mabes Polri dan menyerahkan novum. Lalu, kenapa kami ke Kapolri jika tuntutannya adalah pengungkapan kasus karena adanya dugaan pelanggaran HAM berat dan tuntutan diadili melalui pengadilan HAM berdasarkan UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM ?

Sederhana, karena kami merespon Kapolri yang mengatakan jika ada novum akan membuka kasus kembali. Kapolri juga bisa membentuk Itsus dan Timsus, termasuk melibatkan Komnas HAM seperti di kasus Brigadir Josua. Hanya saja, perlu dipastikan proses hukum pada peristiwa KM 50 ini harus didorong untuk diadili di Pengadilan HAM  agar dapat dipercaya publik.

Lagipula, dengan membentuk Timsus dan Itsus Kapolri dapat menyidik dugaan Obstruction of Justice pada kasus KM 50, baik terkait pelanggaran pasal 211 KUHP, 233 KUHP, dan pasal-pasal lainnya. Kapolri juga dapat menindak hingga melakukan PTDH (pemecatan) kepada sejumlah anggota polisi yang tidak profesional dalam menangani kasus KM 50, dengan membentuk Itsus.

Satu nyawa Josua saja menyebabkan 93 anggota polisi diperiksa, 5 tersangka pembunuhan berencana dimana 3 diantaranya anggota polisi, 7 tersangka obstruction of justice, sejumlah perwira dipecat, dan sejumlah anggota polisi lainnya diproses hukum karena terlibat dalam pidana Obstruction of Justice. Kenapa dalam kasus KM 50 yang mengakibatkan hilangnya 6 nyawa anak bangsa, tak ada satupun polisi yang disanksi ? [].