Damai Lubis: Anies Presiden Hapus Jaksa Pengacara Negara Tidak Perlu JR. Ke MK.

 



Sabtu, 21 Oktober 2022

Faktakini.info 

Anies Presiden Hapus Jaksa Pengacara Negara Tidak Perlu JR. Ke MK.

Damai Hari Lubis

Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212 


Pengahapusan yang diharapkan ini oleh sebab didalam UU.RI No.16 Tahun 2004. Tentang Kejaksaan Republik Indonesia, terdapat pasal yang didalam ketentuannya ada klausula baku yang overlapping jika dimaknai melalui praktek hukum, khusus klausula baku yang tumpang tindih ini terkait tugas atau fungsi dan kewenangan jaksa sebagai pengacara negara


Klausula baku ( kondisi teetentu ) ada pada Pasal 30 Bab III. Bagian Pertama, Tugas Dan Wewenang Jaksa didalam UU. NO.16 Tahun 2004. Tentang Kejaksaan ayat ( 2 ) : 


*" Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah ."*


Sementara UU. a quo Pasal 30 didalam ayat - ayat :


" (1) Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :

a. melakukan penuntutan;

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan

penyidik.

( 3 ) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa

khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk

dan atas nama negara atau pemerintah. Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut menyelenggarakan kegiatan:

a. peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. pengawasan peredaran barang cetakan;

d. pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

*e. pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;*

f. penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal ".


Perihal isi pasal 30 ayat ( 2 ) a quo, tentu janggal dengan ayat 1 dan ayat 3,  cukup krusial atau kontroversial terkesan konyol dan ambigu, berkualitas merusak tatanan hukum dan fungsional seorang Jaksa Penuntut Umum terhadap tugas  pokok dari kewenangannya selaku dan sebagai penuntut umum yg dinyatakan oleh UU. RI No. 6 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan ini, diluar *selain ayat ( 2 ) dan termasuk pada ayat ( 3 ) huruf e Pada klausula " pencegahan penyalahgunaan dan/ atau penodaan agama "*.


Adapun alasan ambigu atau dualisme terhadap klausula baku ini, oleh sebab tugas jaksa yang diamanahkan oleh UU. Dalam praktek pemaknaannya ternyata menjadi kabur atau tidak jelas sehingga menjadi sungsang atau antitesis dari kesan atau image buruk publik terhadap jaksa sebagai seorang penuntut umum terhadap para pelaku tindak pidana atau JPU. sebagai pendakwa kepada para pelaku kejahatan


Karena Para Jaksa yang 1 ( satu ) atap terpecah fungsi dan kewenangan yang amat subtansial, ketika menemukan seseorang sebagai pejabat publik atau pejabat negara perkara dimana berada dalam posisi hak atau fungsi dan kewenangan menjadi dualisme, disatu sisi tugas dan fungsinya sebagai penuntut dalam tindak pidana umum dan penyidik serta penuntut dalam pelanggaran tindak pidana Korupsi yang dilakukan pejabat publik dan atau penyelenggara negara, namun pada kesempatan yang sama dengan fungsinya sebagai penyidik dan atau penuntut, para Jaksa  dibebani oleh sistim hukum didalam sebuah perkara perdata, yang bila pihak tergugatnya merupakan pejabat penyelenggara negara atau birokrat ( eksekutif ), maka terhadap perkara perdata ini, jaksa memiliki tugas dan fungsi berperan sebagai pembela ? Atau pada kesempatan lain fungsi satunya lagi selain selaku penunutut,  adalah  berposisi sebagai pengacara atau pembela kepada seorang klien yang nota bene penyelenggara negara, yang semestinya " mereka kelak ", bisa jadi akan berhadapan dengan para jaksa selaku penuntut ?


Sehingga jika terjadi adanya peristiwa hukum atas sebuah objek perkara gugatan perbuatan melawan hukum / PMH atau onrechtmatige overheidsdaad, atau PMH yang dilakukan oleh seorang pejabat penguasa penyelenggara negara.*lebih spesifik lagi, semisal presiden atau seorang menteri agama yang digugat melalui PMH di sebuah badan peradilan, oleh karena peristiwa hukum, contoh ;  " penodaan agama " yang dianggap oleh seorang individu dan atau kelompok masyarakat telah melakukan perbuatan melawan hukum.* Maka lucu, ambigu, jika ilustrasi peristiwa hukum ini berlangsung, maka dapatkah mereka Para JPU. berlaku objektif atau mengedepankan asas profesionalisme dan proporsionalisme. Sementara sifat advokat/ pengacara atau pembela melulu mesti mengedepankan subjektivisme untuk mendapatkan objektifitas terhadap sebuah perkara klien yang dibelanya


Oleh karenanya tentu tidak sepatutnya UU. No.16 Tahun 2004 hasil produk era Presiden Megawati ini memiliki unsur yang dualisme dan faktanya berlaku saat ini, yakni JPU digiring untuk berlaku subjektif dari yang semestinya harus berlaku objektif. Sehingga tentunya amat kontrovesi daripada sistim hukum yang mengedepankan posisi JPU. selaku aparat penegak hukum berlaku subjektif, dari seorang aparatur negara yang semestinya profesional , proporsionalism atau mengedepankan objektifitas sesuai prinsip - prinsip good governance. Dengan kata lainnya, JPU. Tidak boleh ambigu serta dilarang berlaku subjektif dan diskrimininatif.


Maka kelak jika Anies Baswedan sebagai presiden, semoga individu atau kelompok masyarakat yang mempermasalahkan dwi fungsi Jaksa ini, tidak perlu untuk diarahkan untuk melakukan JR. Terhadap pasal - pasal yang overlapping ke Mahkamah Konstitusi, seperti Era Jokowi saat ini. Ideal atau keharusan jika presiden terpilih di 2024 adalah Anies Rasyid Baswedan kelak akan merevisi atau menghapus pasal 30 ayat ( 2 ) dsn ayat ( 3 )  huruf e, atau Tentang Jaksa Adalah Pengacara Negara


*Selanjutnya kelak, biarkanlah mereka para pejabat negara selaku tergugat jika tidak menghendaki gunakan staf biro hukum yang seharusnya berkwalitas sama dengan ahli hukum yang profesional, maka silahkan mencari dan menemukan penasihat hukum atau pengacara independen untuk mereka yang sedang dalam posisi tergugat, terlebih gugatan dalam kapasitas dalam kerangka " Peran Serta Masyarakat " sebagai alat kontrol sosial*