Damai Lubis: Bangsa Ini Butuh Mahfud MD. Bertindak Non Sibi Sed Omnibus

 



Rabu, 12 Oktober 2022

Faktakini.info 

Bangsa Ini Butuh Mahfud MD. Bertindak Non Sibi Sed Omnibus

Damai Hari Lubis

Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212

Dalam Ketetapan MPR RI Nomor: VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, salah satunya dinyatakan didalam Bab II , No. 2. Tentang Etika politik dan Pemerintahan


*Bahwa ; " etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. "*


Dan berikutnya pada TAP MPR RI a quo didalam alinea yang sama, tentang Etika Politik dan Pemerintahan,


*Bahwa ;* " Etika pemerintahan mengamanatkan 

*agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.* "


Ditambah dengan prinsip kewajiban Aparatur Penyelenggara Negara yang diwajibkan tunduk dan patuhi susuai Asas - Asas Good Governance menurut UU.Administrasi Pemerintahan ( UU.No. 20 Tahun 2014 )


Namun Jokowi dan Penyelenggara Negara dibawah kekuasaannya  ( Hak Prerogatif ) sampai level Komisaris pada Badan Usaha Milik Negara/ BUMN, dan pada level Direktur/ Dirut yang ada dibeberapa institusi pemerintahan negara , yang pada realitasnya tampak banyak pejabat publik tersebut yang kadang kala mengambil langkah kebijakan - kebijakan melalui managemen yang buruk, kebijakannya semrawut saling tumpang tindih dan kadang bahkan tidak masuk akal dan diluar nilai sistim yang semestinya berkesinambungan sebagai sebuah program yang terencana, termasuk beberapa orang pejabatnya yang berada dalam lingkaran istana, diantaranya mereka masing - masing pertontonkan kepribadian yang individual, atau tidak kolektif dan kolegial serta attitudenya kadang amat mencederai rasa keadilan dan melukai hati nurani masyarakat sehingga cenderung mengganggu nalar sehat atau logika publik 


Mengingat dan mempertimbangkan hal - hal demikian, maka quo vadis ? Mau kemana arah atau diarahkannya bangsa ini, dan entah bagaimana mempertanggungjawabkannya kelak kedepannya, dihadapan anak bangsa serta dihadapan Tuhan ? Kian menumpuk bakal black history, bahkan dalam dimensi sejarah yang hitam pekat, maka sebagai pejabat dalam bidang politik, hukum dan keamanan, alangkah bijak, elok serta idealnya  jika, Prof. Moh. Mahfud MD. Selaku Menkopolhukam. Dan termasuk tokoh politik senior sipil saat ini, untuk segera berinisiatif melakukan diskusi internal dengan rekan - rekan sesama Menteri di Kabinet Indonesia Maju Jilid II, lalu bersepakat untuk menghimbau Jokowi mengambil solusi yang terelok dan gentleman, agar tidak menjadikannya kelak tercatat oleh sejarah, lalu dikenang sebagai seorang tokoh penjahat bangsa, untuk itu ideal Jokowi mengajukan pengunduran diri selaku Presiden RI kepada MPR RI. Melalui DPR RI. digantikan oleh Wapres RI. Maruf Amin selaku Presiden RI. Sampai masa jabatan Presiden berakhir pada tahun 2024, sesuai pasal 8 ayat ( 1 ) UUD. 1945


Hal pengunduran diri Jokowi ini demi kondusifitas kehidupan sosial dan kebaikan bangsa dan NKRI. Serta konstitusional selain merujuk berdasarkan TAP. MPR RI .No. VI / Tahun 2021, yakni merujuk pasal 7 b. UUD. 1945 ; 


1. Presiden mengundurkan diri oleh sebab sesuatu yang sesuai UUD.45 Vide Pasal 7 b. Ayat ( 1 ) UUD. 1945, dalam frase *" Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela"* 


Proses Penggunaan mekanisme pengunduran diri presiden ini lebih sederhana selain lebih terhormat, dibanding harus melalui Proses hukum keputusan atau vonis tentang sahnya impeachment atau Pemberhentian Presiden RI melalui Mahkamah Konstitusi / MK. 


Hal terkait MK. Ini jika melalui proses merujuk Pasal 7 b. ayat ( 2 ), ( 3 ), ( 4 ), ( 5 ) UUD  1945. Jo. UU. MD.3./ UU. RI. No.13. Tahun 2019 Tentang Perubahan Ketiga atas UU  RI. No.17 Tahun 2014, yakni proses pemberhentian presiden yang melalui prosedur sidang paripurna DPR. RI serta sidang DPR. RI. Telah mengantongi persetujuan dari hasil Sidang Paripurna dimaksud atau telah disetujui oleh sekurang- kurangnya dari  2/3  suara yang hadir pada rapat paripurna DPR RI. Lalu kemudian DPR RI, menindaklanjutinya sesuai proses mekanisme ( UUD. 1945 Jo. UU. MD.3 ) dengan mengajukan proses pemberhentian presiden kepada MK. dan lalu jika MK. Menyetujui pemberhentian presiden, maka MPR RI. Sesuai aturan Pasal 7 b. Ayat ( 6 ) dan ayat ( 7 ) UUD. 1945 melakukan proses sesuai mekanisme pemberhentian presiden dan mengangkat Wakil presiden menjadi pengganti presiden. Dan tentunya hal  pemberhentian oleh MPR RI. Disebabkan DPR RI telah selesai menggunakan fungsi controlling atau pengawasannya, itupun dengan catatan jika atau apabila DPR RI. Telah mendapat persetujuan oleh 2/3 suara dari seluruh peserta rapat paripurna, maka DPR RI berdasarkan putusan hasil rapat mengajukan permohonan atas putusan paripurna pemberhentian presiden  kepada MK. Maka ketentuan ini butuh proses hukum yang amat berkepanjangan dan menyita waktu yang bergulir lama serta dalam proses yang panjang tersebut akan ada pro dan kontra serta saling memunculkan atau melahirkan propoganda politik kepada publik atau kepada para simpatisan masing - masing partai dan oleh karenanya bisa menimbulkan peristiwa yang rawan, sehingga dapat memilukan atau menyedihkan bagi bangsa dan negara ini, serta akan menjadi tontonan yang memalukan bagi masyarakat dunia Internasional, terkait dalam hubungannya dengan pokok permasalahan yang sudah lama terpendam namun tetap dibicarakan publik sehubungan dengan jatidiri Jokowi, namun terus gencar berkembang dewasa ini, hal ini tentang rumor atau isu bahwa Presiden Jokowi " menggunakan ijasah palsu dan terkait surat keterangan keturunan ( gen ) yang dipalsukan. Maka secara hukum tentu sebagai seorang pejabat eksekutif tertinggi negara , atau jabatan presiden yang disandangnya " Tentang kebenaran atau ketidakbenarannya atas isu yang ada, mengakibatkan isu a quo, akan terus bergulir, oleh sebab ada fakta hukum yang terjadi terkait eksistensi tuntutan hukum dalam bentuk gugatan hukum keperdataan, atau PMH/ Perbuatan Melawan Hukum yang dilakukan oleh penguasa atau onrechtmatige daad overheiddaad, dengan objek perkara terkait " Ijasah palsu SD. SMP dan SMA yang dimiliki oleh Jokowi ". Selain adanya gugatan PMH.  juga dipublik terus ramai perbincangan tentang isu, terkait informasi publik yang beredar luas diberbagai media sosial di tanah air perihal Ijasah IR./ Insinyur -nya Jokowi yang berasal dari salah satu universitas terkemuka di Jogjakarta, diduga adalah sebuah kepalsuan dan juga termasuk gen keturunan yang dituduhkan kepadanya mengandung kepalsuan atau dalam asas atau teori hukum yang berlaku di tanah air,  merupakan bagian dari kebohongan publik yang sayangnya dilakukan oleh nota bene seorang Presiden, selaku pejabat penyelenggara tertinggi publik/ negara ini


Sehingga dan semestinya Gugatan Pro Justitia dalam kategori PMH. Ini,  sebenarnya tidak perlu dilayangkan oleh individu WNI atau atas nama perwakilan publik, jika ada itikad baik Jokowi selaku Presiden RI atau melalui pejabat negara lainnya yang secara hukum positif dapat mewakilinya untuk memberikan klarifikasi, oleh sebab secara hukum positif dan moralitas seorang pejabat publik memang sebagai kewajibannya untuk memberikan klarifikasi sesuai ketentuan serta kaidah hukum dan moral, jika mengacu UU. No. 14 Tahun 2008 , Tentang Keterbukaan Informasi Publik. Tentunya berikut berbagai alat bukti serta kesaksian- kesaksian, sehingga publik pun jika benar apa yang disampaikan serta diklarifikasi oleh Jokowi atau yang mewakilinya, maka isu publik yang berisi informasi sesat harus berhenti, jika tidak tentunya penegak hukum yang berwenang akan memproses hukum sesuai kaidah- kaidah yang ada. Namun jika isu publik yang beredar dimaksud, tidak dilakukan klarifikasi , atau dilakukan namun tidak sesuai kriteria hukum atau  tidak disertai fakta fakta hukum, tentunya isu rumor Jokowi menggunakan data - data palsu didalam riwayat hidupnya atau CV. / Curicullum Vitae, tidak dapat dihentikan, dan terlebih tentunya jika benar apa yang dituduhkan publik kepada dirinya, tentu atas kesemuanya ( Jokowi tidak memberikan klarifikasi, atau memberikan namun tidak bersesuaian atau tidak secara kompherensif, atau tidak atau kurang akurat ) atau justru semakin banyak ditemukan keganjilan terhadap bukti klarifikasi Jokowi dan keanehan lainnya yang tidak berkesesuaian dengan bukti pendamping atau sampel valid yang dimiliki oleh publik, maka beresiko Jokowi harus dapat mempertanggungjawabkan sesuai ketentuan- ketentuan hukum yang berlaku, yang tentunya akan membuat repot dan membuang enerji sia - sia aparatur negara termasuk enerji masyarakat bangsa ini, dari sabang hingga merauke, serta menggangu konsentrasi semua pejabat dan aparatur negara dalam tugasnya masing - masing, oleh karena dampak gejolak dan dinamika masyarakat akan bermunculan, diantaranya selain semakin marak dan banyaknya kontoversi yang akan dilanjutkan suara - suara negatif publik dan berbagai aksi - aksi demo yang bisa jadi akan berjilid - jilid, dengan tuntutan proses dan adili Jokowi dan tentunya peristiwa hukum terkait pemalsuan ini bila terbukti ada perbuatan tercela terkait CV. Jokowi selaku  persyaratan kelengkapan dirinya dahulu di KPU dalam rangka mengikuti, Pilwalkot Solo, Pilgub DKI Jakarta, Pilpres 2014 dan 2019 hingga dilantik dan disumpah sebagai seorang presiden, tentu hal ini merupakan sebuah delik atau kejahatan serta memiliki sanksi Pidana Penjara  yang bersifat dan berlaku equal 


Hal terkait dan oleh sebab terhadap isu super sensitif ini, jika merujuk sistim UU.RI No. 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi publik yang mesti transparansi, adalah hal yang bersesuaian dengan kewajiban seorang penyelenggara pemerintahan negara untuk patuh pada keseluruhan prinsip - prinsip Good Governance yang ada didalam UU. No. 30 Tahun 2014 Tentang Adminstrasi Pemerintahan dan Good Government yang ada didalam UU. No. 28 Tahun 1999, Tentang  Penyelenggaraan Negara Yang Bersih, Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang realitas pada faktor penyelenggaraan asas- asas pada prinsip Good Governance, khusunya terhadap dugaan kebohongan publik terkait CV. Jokowi, tidak dilakukan atau dilanggar serta tidak diinisiasi baik dari dan oleh presiden Jokowi, sebagai pribadi terkait informasi publik tentang CV. yang memuat Gen atau keturunannya berikut ijasahnya yang marak dituduh palsu, dan jika ini benar, secara hukum berdampak dengan penggunaan CV. Yang merupakan bagian dari alat bukti delik, yang tentunya alat atau merupakan sebagai bagian BB/ Barang Bukti delik, dan yang sudah beberapa kali dilakukan oleh sebab CV. Sebagai kelengkapan persyaratan telah Jokowi serahkan dengan tanda terima kepada KPUD. Solo, DKI dan KPU/ Pusat,  berupa KK./ Kartu Keluarga, KTP, berikut Akte Nikah, Ijasah, termasuk mungkin Paspor, dan lain - lain yang pernah Ia gunakan, dan semua tindak pidana dimaksud  sesuai teori hukum pidana , telah selesai Ia atau dirinya lakukan, karena telah beberapa kali digunakan dan selebihnya pastinya sebagai mahluk sosial yang mobile, tentunya sudah pernah digunakan demi dan untuk kepentingan transaksi - transaksi pribadi Jokowi dalam dan sepanjang kebutuhan pribadinya, namun tak terlepas daripada hukum positif atau norma - norma yang mengikat


Oleh karenanya menurut teori dan asas - asas hukum pidana bagi pelakunya yang menggunakan data atau keterangan palsu berupa surat biasa, terlebih akte atau  surat - surat otentik memiliki kaitan dengan delik yang pelanggaran Pasal 263 Jo. 264 KUHP, yang memiliki sanksi atau resiko penjara, bahkan beresiko atas dampak - dampak yang bisa menjadikan beberapa tuntutan pidana dalam berbagai pasal atau tuntutan pidana dengan pasal yang  berlapis, oleh sebab banyak praktek penggunaannya selaku dirinya sebagai seorang presiden dan atau untuk kebutuhan pribadi, yang Ia, Jokowi gunakan sebagai alat dalam bertransaksi ( bank, kesepakatan bisnis  dan lain - lain ? ). Belum lagi dengan resiko hukum ketatanegaraan beserta aspek atau akibat - akibat hukum dengan berbagai kebijakan - kebijakan hukum, termasuk legalitas produk undang - undang dan atau perpu - perpu yang dirinya selaku presiden sahkan, atau inisiasinya selaku presiden, hingga melahirkan diantaranya Kepres, Perpres  termasuk berbagai Diskresi, dan termasuk keabsahan atas pertanggung jawaban hukumnya sebagai presiden terhadap MPR RI, termasuk pertanggung jawaban hukumnya atas jabatannya selama dirinya dahulu menjabat menjadi pejabat publik pemerintahan daerah ( Walikota Solo, Gubernur DKI ) dan selaku Presiden RI, jika tetap menjabat sejak tahun 2022 hingga tahun 2024 atau akhir masa jabatannya


Serta perbuatan Jokowi atas CV. Yang dibuat atau dimilikinya akan menelan korban pejabat sipil/ publik lainnya, dan atau Para Penegak Hukum yang mengetahuinya dengan adanya pendiaman dan atau pembiaran adanya CV.  Dalam peristiwa hukum dugaan a quo publik yang booming di tanah air dan jika terungkap kebenarannya atas kepalsuan CV. yang menyangkut akte otentik atau surat biasa ( bukan otentik ) dari sisi hukum positif, salah satunya selain seluruh para menteri kabinetnya sesuai asas fiksi hukum setiap orang yang mengetahui adanya tindak pidana, atau oleh karena jabatannya telah melakukan pembiaran hukum dari yang seharusnya dia lakukan, dan pembiaran adanya informasi publik ini, terkait isu dan kini bahkan telah menjadi sebuah objek perkara tuntutan perdata yang dipublis, sehingga masuk kategori notoire feiten derogat ( sudah menjadi alat bukti hukum yang tak terbantahkan oleh karena dianggap sudah sepengetahuan umum terkait adaya rumor ijasah palsu dan dengan adanya gugatan a quo oleh sebab dimediakan dan publis ), maka korban atau calon korbannya ( dari sisi hukum pidana ) adalah termasuk pihak rektor dan atau Dekan serta Para Pembantu Rektor dan atau Pembantu Dekan yang berwenang di UGM. Dan termasuk Para Kepala Sekolah dan eks Kepala Sekolah, sesuai riwayat sekolah yang tercantum dalam CV. Jokowi.Atau kerugian moril dari sisi hukum, para masyarakat sipil biasa ( pedagang , petani, atau wiraswasta maupun PNS sebagai para pemilih atau konstituen/ pendukungnya yang merasa tertipu memilihnya saat PilWalkot Solo, Pilgub DKI dan Pilpres 2014 dan pada Pilpres di- 2019


Seandainya- pun materi yang diajukan tidak termasuk gugatan terhadap keberadaan ijasah palsu dengan gelar Ir.( Insinyur) nya, hanya SMA atau sekolah dibawa SMA.nya, namun hal terkait ijasah  daripada produk Kemendiknas di tahun 1985 yang berasal dari perkuliahannya atau sebagai kelulusan UGM/ Universitas Gajah Mada Jogjakarta, tentunya terkait atau ada kaitan hukumnya terhadap pihak UGM, maka pihak UGM pun sudah semestinya selain utamanya Jokowi, selaku yang dituduh publik berijazah palsu yang berasal dari UGM. Seharusnya kedua pihak , Jokowi, dan UGM membuat pernyataan tentang kejelasan status ketidakbenaran atau kebenaran daripada isu publik yang sudah booming di berbagai media sosial. Sehingga jika pun baru muncul kebenaran fakta hukum atau sejarah atau setelah 2024 hukum dapat menemukan serta membuktikan tentang kepalsuan gelar Ir. nya . Maka tentu Pengurus Sekolah SD. SMP,  SMA dan Universitas/ UGM, baik rektor,  maupun dekan sesuai asas hukum didalam teori " pembiaran " dan sehubungan fiksi hukum,  berikut orang - orang yang terlibat didalam pembuatan dan atau penggunaannya ijasah palsu termasuk dalam hal ini Kapolri sebagai kepala Kepolisian RI. selaku Aparatur Negara Penegak Hukum, harus mempertanggung jawabkannya sesuai ketentuan hukum yang berlaku karena adanya informasi publik serta hak-nya selaku bidang yang berkewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Walau delik pidana dilakukan oleh Jokowi, mereka belum ( tentu ) sudah menjabat rektor dan atau dekan dan atau sebagai para pembantunya, atau sebagai aparatur penegak hukum ( termasuk Kapolri saat ini dan para abdi hukum lainnya ) yang berwenang,  namun dari sisi kacamata hukum, tentang adanya pembiaran dalam hubungannya terhadap asas fiksi hukum ( semua orang dianggap tahu akan adanya norma hukum beserta larangan dan sanksi hukum )  tentunya tentang dan terkait kebenaran atau tidaknya isu Ijasah Palsu, SD, SMP, SMA dan ijasah sarjana Insinyur Kehutanan-nya, semua yang terkait akan diminta pertanggung jawaban  hukumnya sekurang - kurangnya turut menjadi saksi a charge atau yang memberatkan bahkan yang meringankan a de charge


Maka kembali kepada materi isi gugatan, sekalipun isi gugatan ini bukan sebuah gugatan terhadap objek perkara ijasah ( produk UGM ). Namun  juga sudah menjadi bagian isu publik perihal dugaan kepalsuannya, bahkan termasuk poto yang menempel atau tertera pada ijasah Jokowi sebagai Ir. adalah bukan Jokowi yang saat ini Presiden RI. Atau poto orang lain selain Jokowi ( Presiden RI ). Lalu bagaimana dengan isu Jokowi dari Akun Bjorkan ? Jokowi hanya seorang lulusan Diploma atau Doktoral 4 atau Setara Sarjana ? 


Bukankah gelar yang disandangnya tidak atau seharusnya bukan Insinyur / Ir melainkan  untuk lulusan D4, gelarnya adalah S.Tr. atau Sarjana Terapan yang kemudian diikuti oleh program studinya. Atau Jokowi apakah sudah selesaikan studi S.1 ditempat lain atau kah sudah melanjutkan studi-nya S-1 di UGM ?  Ingat hal ini menyangkut identitas sebagai yang menyangkut riwayat hidup yang tidak boleh didustakan serta berhubungan dengan  mentalitas atau moral dari Jokowi, yang nota bene seorang Presiden dan berhubungan dengan TAP. MPR RI No.VI Tahun 2021 dan Tentu berhubungan dengan Pasal 7 ayat ( 1 ) UUD. 1945 serta berhubungan dengan asas good governance 


Dalam materi gugatan oleh perwakilan publik masyarakat ini adalah termasuk sebagai bentuk pengujian hakekat kebenaran formilnya terhadap berbagai isu a quo yang beredar melalui PN. Jakarta Pusat, sebagai bentuk kepatuhan hukum atau demi upaya publik salah satunya dalam peran serta masyarakat pada bidang penegakan hukum, selain tentunya demi kebenaran materil atau materielle waarheeid ( kebenaran yang sebenarnya kebenaran ),se- liner atau vertikal untuk temuan hakekat kebenaran yang dicurigai publik atau " dugaan publik " oleh sebab tidak adanya jawaban keterbukaan informasi publik, sehingga para wakil publik ini ( Para Penggugat ) melanjutkan upaya due of process/ ranah jalur hukum melalui jalur tuntutan keperdataan, sehingga oleh sebab upaya hukum dilakukan secara due process, maka  gugatan  PMH. Terhadap penguasa ini, mesti dipandang serta ditanggapi sesuai ketentuan hukum dan termasuk dari sisi equality before the law (  Asas sistim hukum NRI yang terdapat didalam UUD. 1945 ), bahwa setiap orang WNI. berkesamaaan dimata hukum. Selanjutnya tentunya semua tahapan mesti dilalui oleh kedua belah pihak, penggugat dan Para Tergugat dengan mekanisme persidangan serta dihadiri para pihak sesuai ketentuan hukum acara perdata yang ada pada HIR/ Herzien Inlandsch 

Regelemen diluar hukum acara pidana atau KUHAP atau proses hukum acara perdata yang menggunakan RIB. Reglemen Indonosia yang diperBarui.


Dari sisi sudut pandang hak yang dimiliki setiap WNI. Petitum atau tuntutan hukum gugatan a quo in cassu, sejatinya adalah demi perlawanan isu - isu yang menyesatkan atau fitnah terhadap kepala negara , dan yang secara notoire feiten derogat, atau yang disebut merupakan bukti yang tidak harus dibuktikan lagi, oleh sebab sudah layaknya menjadi se/ pengetahuan umum  ( diketahui publik secara transparan ) berikut data empirik , yang dapat dilihat dengan mata telanjang setiap harinya di semua media sosial dari para peselancar atau penggunanya media sosial ( twitter ), adalah diantara jutaan manusia adalah termasuk Prof. Moh. Mahfud MD. Kapolri Yulistyo Sigit dan Polisi Ciber, BIN. dan semua  institusi negara merupakan pengguna atau yang memang sebagai tupoksinya dalam bidangnya untuk pemantauan atau sosial kontrol dan kesemuanya pejabat aparatur negara ini yang pengamat tulis dan sebutkan, memang mengetahui, apa yang dinyatakan sebagai diketahui umum ( bukti notoire feiten ), Prof. Moh.Mahfud MD. Cs. Selaku pribadi maupun sebagai pemangku  jabatan yang disandang atau dimiliki oleh para pejabat bersangkutan , dan dalam hal ini terkait Prof Mahmud MD. Pada dirinya melekat sebagai status seorang Menkopolhukam,  sebagai pemilik akun media sosial dimaksud ( akun twitter ). 


Bukankah dari muatan narasi atau konten - konten publik, termasuk Jokowi sendiri yang memiliki akun di twitter, dapat terang benderang, mengetahui, begitu amat rendahnya gambaran seorang Presiden Jokowi dihadapan jutaan atau bahkan puluhan juta pemilik akun twitter dan media sosial lainnya ( FB. Tiktok, YouTube, dan instagram ) tentang  wibawa dan martabat Jokowi yang riil-nya seorang Presiden RI. Namun mengapa sampai bahkan adanya dua gugatan perdata , yang pertama adalah gugatan atas kebohongan - kebohongan yang dilakukan oleh Jokowi di - PN. Jakarta Pusat, pada Tahun 2021. Dengan petitum. Jokowi dimundurkan oleh dan berdasarkan vonis. Dengan nomor register perkara 266/ PDT G./ PN.Jkt.Pst/ 2021 dan saat ini pada gugatan perdata dengan register perkara No. 592/ PDT.G/ PN. Jkt. Pst/ 2022


Dan termasuk DPR RI pun pernah digugat di Di. PN. Jakarta Pusat dengan register perkara No. 265/ PDT G./ PN.Jkt.Pst/ 2021 oleh individu dan atau maupun sebagai bagian kelompok masyarakat, atas pendiaman atau pembiarannya dan atau disfungsinya dalam kontrol terhadap Jokowi yang banyak melakukan kebohongan kebohongan publik dan termasuk kontrol sosialnya tidak dilakukan oleh sebab hukum gambaran buruk terhadap Jokowi pun Para Anggota DPR RI telah mengetahui oleh sebab sebagian besar mereka selain terbebani tanggung jawab moral oleh sebab terbebani fungsi controlling, selaku anggota parlemen atau legislatif terhadap presiden selaku eksekutif 


Bahkan narasi dan konten publik secara hakekat atau subtansial adalah amat dan sangat  merendahkan logika atau nalar sehat para intelektual seluruh Para Anggota Kabinet Jokowi ( Indonesia Maju Jilid II)   termasuk  semua Anggota DPR. RI  serta merendahkan makna intelektualitas daripada seluruh bangsa ini serta penipuan terhadap nalar sehat yang Kodratullah Pemberian Tuhan yang harus disyukuri serta digunakan secara positif, jujur dan adil, namun nyatanya disuguhkan oleh praktik berbagai kebohongan Jokowi ( 66 lebih kebohongan yang dilakukan secara transparan dan bahkan menambah atau berulang ), yang dapat menjadikan bibit kepribadian yang buruk, meracuni mentalitas dan bobot moralitas bangsa ini, atau bibit kemunduran akhlak dan perangai, dan atau adab seluruh masyarakat Bangsa, yang seharusnya oleh Jokowi diberikan suri tauladan kejujuran kepada seluruh bangsa di tanah air NKRI. 


Dengan banyaknya praktik kebohongan yang dilakukan oleh Jokowi, terhadap 66 lebih kebohongan sesuai data empirik yang dimiliki publik, masyarakat dalam praktiknya bak disuguhkan dengan sebuah kejahatan sistematik, masif dan struktural, yang berimplikasi dan completed sebagai manifestasi mendustakan cita-cita kehidupan masyarakat/ bangsa yang cerdas dan modern, cukup tragis, tidak bersesuaian dengan cita - cita ilmu pengetahuan dan tehnologi (science and technology), melainkan kembalikan kepada struktur bangunan " jahiliah ", mengkerdilkan kejujuran sebagai adab nusantara yang wajib dipertahankan dan perjuangkan bersama melalui sistim hukum sesuai konstitusi dasar negara ini, karena yang dipertontonkan oleh Jokowi dan para anggota kabinetnya serta para anggota legislasi sebagai pelaksanaan kepada kebijakan - kebijakan yang pro pembodohan bangsa, sehingga patut dimaknai dengan upaya dalam sebutan nomina, sebagai antiklimaks dari kewajiban mencerdaskan anak bangsa sesuai konsitusi dasar negara RI serta pastinya melanggar sila fundamental bangsa ini,  Kemanusiaan yang adil dan beradab.


2. Fungsi DPR RI. Dalam meng-impeach Presiden dari sisi logika hukum dan kepastian hukum yang berkeadilan.


Terkait sistim impeachment ini, seyogyanya reasonable untuk ditengarai sebagai praktek khianat terhadap retorika , teori dalam artian subtansial pada penyebutan nomina " tugas pejabat penyelenggara dalam trias politika ( legislatif , eksekutif dan  yudikatif ) negara telah berlaku curang kepada bangsa ini, " pada hakekat atas makna pokok subtantif pemberian amanah rakyat terhadap para wakilnya di parlemen DPR RI- MPR RI dan DPD RI. Karena pada prakteknya tidak demikian, DPR RI bersepakat menundukkan dirinya dengan mengenyampingkan beban moral sebagai wakil rakyat, dan terhormat, menurut teori trias politika yang menjadi rujukan awal ( montesque ) atau berkesejajaran dihadapan eksekutif dan yudikatif ( Mahkamah Konstitusi / MK ), namun setelah mereka mendapat kebenaran dan permintaan para pemberi amanah ( rakyat bangsa ini melalui musyawarah voting ) atau telah melalui proses keputusan paripurna, namun serahkan diri secara logika atau perspektif hukum untuk di-obstruksi atau dibelenggu  oleh kewajiban membawa putusan sebagai sebuah permohonan kepada MK. maka pertanyaan dalam perspektif dan logika hukum. Siapakah Wakil rakyat sesungguhnya ?DPR RI yang mendapat amanah melalui proses Pemilu Legislatif 5 tahun sekali, dengan anggaran negara cukup besar untuk berkompetisi pemilu. *Atau* justru  MK. Sebagai perwakilan rakyat, darimana asal legal standingnya ? Asas hukumnya dan berkesesuaiankah dengan asas trias politika dimaksud, atau dimana keberadaannya bukti sistim hukum yang perlu korektif tersebut.  *Ada,* justru inilah bukti yang faktual sebagai  penghianatan dari badan  legislasi DPR. Selaku yang terbebani amanah dan moral dari rakyat, justru dewan yang mewakili rakyat menundukkan diri kepada Eksekutif atau Presiden RI, selaku inisiasi sebagai perancang, dan pembuat dan pengesah Undang - Undang, dan hal ini sudah diwujudkan melalui proses mekanisme yang berlama-lama atau mempersulit hak rakyat untuk menggantikan presiden yang tidak amanah, menipu rakyat , ingkar dan menginjak - injak konsitusi dan Pancasila, *( Vide TAP. MPRS RI No. XX Tahun 1966 Jo. Vide TAP. MPRS No. XXV/ Tahun 1966. Jo. UU.  berdasarkan pembukaan alinea ke 4. UUD  1945 . Jo. UU. RI  No. 12 Tahun 2011. UU. Tentang Pembentukan Peraturan Perundang -  Undangan  )* Contoh empirik, salah satunya yang amat fatal RUU. HIP yang telah disahkan oleh DPR RI namun tidak diundangkan oleh Presiden. Dan ketentuan proses izin dalam meng-impeach presiden mesti wajib melalui proses permohonan kepada MK. jadi jika ditolak maka proses dari mekanisme DPR RI sebagai wakil rakyat menjadi nihil , nir manfaat. Lalu jika dikembalikan kepada RUU. HIP . Sejatinya adalah bentuk makar atau attemp / poging anslag ( percobaan makar cukup dengan adanya percobaan atau poging ) , namun tragisnya justru dilakukan oleh Para Pejabat Penyelenggara Negara, sesuai Pasal 107 ayat 1 huruf a sd huruf e UU.RI. No. 27 Tahun 1999 Tentang  KUHP. Dan oleh sebab dilakukan poging makar tersebut dilakukan oleh Pejabat Publik tentu secara teori pidana ditambah dengan ancaman 1/3 dari ancaman sanksi yang terberat, bukan diperingan dengan menggunakan dalil yang aneh-aneh


Peristiwa Makar tersebut tentu dapat dinyatakan secara hukum adanya faktor pembiaran yang dilakukan oleh eksekutif / Presiden RI dan fakta hukumnya pun tidak disahkan oleh presiden, sungguh semrawut karena oleh sebab hukum yang overlapping, sehingga berakibat atau menimbulkan *fenomena penegakan hukum bak benang kusut,* sebuah pelanggaran konstitusi

Pada pasal 20 Ayat 5 UUD. 1945 Dari yang  keharusan tunduk patuh sebagai wujud rule of law Dan melanggar UU. Tentang MD. 3, yakni Undang-undang RI. No. 13 Tahun 2019, Tentang Perubahan Ketiga atas Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, *karena menurut Pasal 20, UUD. 45  setelah 30 hari, jika RUU. tidak disahkan maka RUU. Mutatis mutandis atau otomatis berlaku sebagai UU*


 *Namun pada kenyataanya UU. HIP tidak kedengaran keberlakuannya, tentu ini juga perilaku bernegara yang bertentangan dengan rule of law serta menunjukan negara ini tidak memiliki kepastian hukum, carut marut rezim dibawah kepemimpinan Jokowi*


3. Maka mempertimbangkan sistimatika proses hukum pada poin 2 tersebut diatas yang teramat sulit digunakan , serta mempertimbangkan sejarah hitam bangsa ini kelak, dikomparasi dan dihubungkan dengan kecacatan hukum yang diketahui seluruh aparatur bangsa ini terkait kecacatan moral dan dihubungkan peliknya pertanggung jawaban hukumnya dari sisi hukum ketatanegaraan yang positif dan walau mesti diberlakukan serta bukti justru dibenarkan dengan pembiaran seorang yang cacat moral dan penuh pelanggaran hukum pada jatidiri dan perbuatannya, lalu terus diberikan kesempatan memimpin bangsa besar ini, apa dasar hukumnya, bagaimana mau disebut bangsa beradab yang patuhi norma hukum, walau terus tak berhenti himbau patuhi UU. dan konsitusi yang juga mereka para perancang , pembuat dan pengesahannya ? Lalu pada kenyaatan logika hukum dan kesempatan atau waktu yang bersisa sedikit dari masa kepemimpinan Jokowi dan hiruk pikuk pertanggungan jawaban hukum dan sisi moral yang bisa saja menimbulkan gejolak politik yang amat hebat, ditambah propokasi para pihak yang tak bertanggung jawab dan para komprador yang justru gunakan kesempatan membuat chaos/keos bangsa ini demi ambisi " sang provokator dan komprador bangsa asing ".  Tentu implikasinya akan meluluh lantakan bangsa dan negara ini pasca selesainya tugas Jokowi di 2024 ,serta membuat pekerjaan yang mubazirkan sinergitas , karena akan banyak menimbulkan kesia - sia- an suksesi kepemimpinan, siapapun individu pemimpinya,


Lalu apa manfaatnya pertahankan seorang Jokowi ? 


Maka irrasional jika Para Pemimpin Bangsa ini dibawah presiden Jokowi, justru terus mencoba pertahankan kepemimpinannya dari sudut pandang yang seolah reasonabel, justru hal pertahankan seorang Jokowi adalah nir adab dan cacat moral terlebih dari sisi pandang hukum 


4 . Maka justru salah seorang menteri dibidang hukum , sebagai bagian penting pada posisi jabatannya di kabinet ini yakni Prof. Moh. Mahfud MD. Selaku Menkopolhukam daripada proses hukum yang tidak mungkin dapat digunakan ( UU. MD .3 ) dalam konteks waktu, dan pengesahan kelanjutan kepemimpinan seorang presiden yang berlatar belakang pribadi dan hukum yang carut marut, dan jikapun digunakan selain debatebel politik di Badan legislasi DPR RI, seperti jika pemberlakuan Jo.poin 2 tersebut di atas  , yang bakal banyak benturan oleh sebab masing masing anggota partai memiliki kepentingan kelompok dan pribadi, lalu jika pun lolos terbentur dengan proses waktu dan proses MK. Lalu habis masa jabatan kepresidenan serta dapat membuat gejolak chaos  keos, bahkan revolusi sosial yang kwalitasnya dampak negatif-nya akan menimbulkan berlipat ganda kerugian, serta akan dirasakan anak bangsa ini, Jo. Poin 3 tersebut di atas, serta pertanggung jawaban atas asas fiksi hukum atau presumptio iures de iur, semua orang dianggap tahu tentang adanya norma - norma hukum ? Sehingga kausalitasnya tentu akan membebani sanksi hukum bagi mereka yang telah mempertahankan dan atau melakukan pembiaran adanya pemimpin yang jatidirinya penuh dengan tumpukan yang berkualitas pelanggaran ekstra hukum dengan sanksi berat


5. Maka berdasarkan segala polemik hukum yang ada terjadi dan berasal dari Jokowi yang Presiden, serta dari tidak kepedulian wakil rakyat di lembaga yang terhormat DPR RI dari 3 kali warning masyarakat bangsa ini melalui 2 buah gugatan perdata kepada Presiden Jokowi, termasuk 1 buah gugatan terhadap DPR RI di PN. Jakarta Pusat namun Para Wakil rakyat bergeming, *serta mengingat dan menimbang* jalan panjang dan berliku jika mengikuti alur regulasi yang ada dalam sistim, yang harus melalui proses mekanisme hukum DPR RI Jo. MK, namun ada dasar klausula eksepsional yakni pengecualian hukum, tanpa adanya penyimpangan hukum  daripada sistim- sistim hukum lainnya , bahkan ini metode yang diusulkan untuk diterapkan justru lebih tinggi atau setidak- tidaknya terdapat yang sederajat atau sama tinggi dari sistim hirarkis perundang - undangan, sehingga tidak ditemukan overlapping.


Oleh sebab jika dibanding melalui mekanisme DPR. RI lalu mesti melalui MK. Perlu jalan berliku dan waktu yang amat panjang serta mengingat sumber hukum NKRI yakni UUD 1945 Terkait Tata Cara pengunduran diri Presiden dan rujukan sistim hukum yang lebih tinggi daripada UU. Yaitu TAP MPR RI NO. VI Tahun 2021, Jo. UUD. 1945. Maka pertimbangan hukum sesuai TAP MPR a quo, yang dinyatakan didalam Bab II , No. 2 . Tentang Etika politik dan Pemerintahan. 


Bahwa ; " etika Politik dan Pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Etika ini diwujudkan dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, *jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya. "*


Dan berikutnya pada TAP MPR RI a quo didalam alinea yang sama, tentang Etika Politik dan Pemerintahan,


*Bahwa ;* " Etika pemerintahan mengamanatkan 

*agar penyelenggara negara memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur* apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara."


Serta Jo. dihubungkan sikap dan atau perilaku Jokowi terhadap isi pada Pasal 7 b. Ayat ( 1 ) UUD. 1945, dalam frase " Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,  *tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela"*


Kumulasi sifat negatif ( kemampuan dan kepribadiannya) Jokowi yang riil banyak berlawanan dengan kewajiban yang disyaratkan oleh TAP. MPR RI No. VI Tahun 2021 Jo. UUD. 1945 Pasal 7 b. Ayat ( 1 ). Untuk dan oleh karenanya terhadap Jokowi sudah memenuhi persyaratan sistim konstitusi dan momentum untuk disarankan kepada Jokowi agar melepas atau mengundurkan diri dari jabatannya selaku Presiden RI. Oleh sebab fakta hukum yang empirik, telah menunjukan banyak kewajiban yang telah dilanggarnya, Jokowi tidak sanggup atau gagal didalam bidang pembangunan ekonomi, terbukti janji Perekonomian RI. meroket pada tahun 2018 terbukti gagal dan sebaliknya menimbun banyak utang negara, dan Jokowi tidak melaksanakan dan tidak memiliki kepedulian yang tinggi dalam hal Keterbukaan Informasi publik, terkait dan dikaitkan dengan eksistensi daripada narasi dan konten dari publik di banyak media sosial, dimana secara hukum penggunaan media untuk penyampaian pendapat publik tersebut adalah absah oleh sebab sistim hukum ( UU. ITE ), yang narasi - narasinya  banyak memuat isi yang hinaan, atau rendahkan dirinya selaku kepala negara, Jokowi juga tidak memiliki keteladanan melainkan sebagai kepala negara terlampau banyak berdusta dengan janji janji bohongnya atau manipulatif, yang hakekatnya merendahkan nalar sehat bangsa ini umumnya dan khususnya terhadap dunia akademisi dan intelektualitas para ahli secara general ( pada semua disiplin ilmu ) 


Maka sudah sepantasnya, Jokowi berinisiasi karena gagal atau tidak sanggup serta melanggar Pasal - pasal yang tertera jelas pada sumber hukum di negara ini, UUD. 1945 dan TAP. MPR RIM No. VI Tahun 2021. Maka secara moral dan hukum, inisiasi Jokowi mundur dan atau saran presiden mundur ini, adalah agar tidak menjadi preseden buruk yang akan berdampak negatif serta berkelanjutan terhadap masa depan anak bangsa, kesatuan dan persatuan dari kacamata dan framing NKRI, serta akan berkelanjutan terhadap lemahnya penegakan hukum yang mesti berkeadilan serta berkepastian hukum, selain merugikan para tokoh pejabat aparatur bangsa saat ini yang duduk dalam kekuasaan dan buruknya historis bangsa kedepan, termasuk juga buruknya historis sejarah  penegakan hukum yang akan terpampang didalam buku sejarah nasional, terkait sejarah negara khususnya dimasa atau fase Jokowi berkuasa 2014 - 2019 - 2022 yang amat memalukan, bahkan " bernuansa aplikasi kepada peng-legitimasi-an  " pemerintahan kriminal " karena banyak ditemukan praktek state crime, semisal adanya banyak indikasi korupsi, namun para pelaku tidak dapat disentuh, bahkan ada aktor terpaparnya, justru dijadikan aktor intelektual didalam kabinet ( penyelenggara negara) Indonesia Maju Jilid II dan juga sebagai pejabat publik dibeberapa insitusi atau lembaga milik Pemerintah Pusat/ NRI.  Sehingga jargonnya perihal Revolusi Mental nyatanya manulatif, justru minim edukasi dari-nya, bisa jadi deduksi/ kesimpulan publik justru Jokowi merupakan mental destroyer atau perusak mental, atas contoh sekian puluh kebohongan yang dibuatnya atau 100 ( seratus ) kebohongan menurut hitungan fadli zon, maka sah- sah saja oleh sebab banyak realitas kebohongan dari dirinya, maka Jokowi boleh disatirekan dengan gelar destroyer of education, karena attitude atau perilaku moralnya tidak menandai adanya edukatif


Oleh karenanya Mahfud MD. Selaku untuk pertanggung jawaban moral yang melekat pada dirinya dengan jabatan Menkopolhukam dan selaku pejabat yang memiliki kewenangan, bahkan seorang pakar atau ahli hukum, idealnya segera melakukan tindakan hukum darurat ( force mejeur ) melalui tindakan yang Non Sibi Sed Omnibus atau tindakan yang bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk semua Anak Bangsa dan Negara serta tanah air NRI, agar tetap utuh dan bersatu didalam kesatuan NKRI. 


Dan hendaknya Prof. Moh. Mahfud MD. Dalam waktu singkat dan sesegera mungkin melakukan aproach politic dalam bentuk musyawarah kepada seluruh jajaran menteri dan Para Tokoh Nasional/ Bangsa serta Para Tokoh Ulama Tanah Air. Dan terkait Tokoh Ulama, tentunya juga harus sebagai Tokoh Bangsa, karena Tokoh ( dari ) Para Ulama ini tentu harus memiliki integritas, kualified, intelektualitas ( ilmuwan), sehingga  tidak diragukan tentunya dalam bingkai religius serta kacamata nasionalisme, semestinya harus ada catatan riil mewakili banyak ummat ( mayoritas ) sehingga sesuai dengan asas demokrasi, dan jangan salah dalam mendudukkan seorang Tokoh Ulama yang juga sebagai Tokoh Bangsa, melainkan seorang yang berkesanggupan menerima beban mandat untuk ikut merumuskan kebijakan politik/ police politic, dan harus kharismatik, jangan buat masalah lagi, dan coba - coba mendekati " yang salah orang ". *Harus pure Sang Tokoh, berjiwa ikhlas dan ksatria dalam perspketif objektif, terjamin dan tidak ada dendam dan subjektif* dalam realitas kehidupan nyata bangsa yang sedang berjalan, bukan tokoh ulama yang sekedar label atau karbitan, yang selalu hidup senang dan cari selamat demi kekuasaan dan kekayaan, namun dapatkan serta dudukan Tokoh Ulama Besar di Republik ini yang realistis, sang tokoh tersebut " telah kenyang oleh aniaya  " . Tokoh ulama tersebut ada nyata dinegeri ini, diyakini akan objektif ( proporsional ) oleh sebab semata ideologi yang Ia suguhkan hanya demi kepetingan ummat pada bangsa dan negara ini, semoga Ia sebagai Tokoh Ulama dimaksud mau diajak bersepakat dengan Prof Mahfud MD. Serta Para Petinggi , tokoh bangsa nalar sehat lainnya, untuk mendorong Jokowi agar mengundurkan dirinya dari jabatan presiden, mengundurkan dari sumber pokok permasalahan bangsa ini


Semoga Prof. Moh. Mahfud Md. mau melakukan sibi sed omnibus, *tidak memberikan hak merampungkan tugas dari seorang yang cacat integritas membuat suksesi atau melahirkan kepemimpinan terhadap kroninya*.

Posting Komentar untuk "Damai Lubis: Bangsa Ini Butuh Mahfud MD. Bertindak Non Sibi Sed Omnibus"