Damai Lubis: MPR RI dan Presiden Baru 2024 Punya Beban Hukum Moral Inisiasi Perubahan UUD. 1945 & UU.MD. 3
Ahad, 23 Oktober 2022
Faktakini.info
MPR RI dan Presiden Baru 2024 Punya Beban Hukum Moral Inisiasi Perubahan UUD. 1945 & UU.MD. 3
*Damai Hari Lubis*
*Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212*
DPR RI sebagai representasi kedaulatan ditangan rakyat mesti dikembalikan fungsinya kesemula seperti sebelum adanya amandemen yang ke - 4 ( amandemen terakhir 2002 ) terhadap UUD. 1945. Diantaranya tentang impeachment atau pemberhentian presiden dan atau wakil presiden, cukup DPR. RI. Melalui Sidang Paripurna dan suara sah korum, lalu DPR membawa hasilnya terkait pemberhentian ke sidang MPR untuk dikukuhkan pemberhentian presiden dan atau wakil presiden secara hukum. Tidak perlu keharusan yang merujuk UUD. 1945 hasil amandemen, Jo. UU.MD. 3 ( UU. No.13 Tahun 2019 Perubahan Ketiga atas Undang - Undang No.17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyarawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ). Dimana menurut UUD. 1945 yang telah diamandemen, bahwa DPR. RI. Setelah proses sidang paripurna dan hasilnya memenuhi korum dengan keputusan menyatakan : " presiden dan atau wakilnya diberhentikan ", maka DPR RI diwajibkan mengajukan pemberhentian ke Mahkamah Konstitusi/ MK. Kemudian jika dikabulkan oleh MK. Maka putusan MK dimaksud dibawa kembali ke DPR RI. Baru kemudian oleh DPR RI berkas putusan dari MK dibawa ke sidang MPR.RI.
Demikian prosedurnya saat ini, sesuai ketentuan atas dasar sumber hukum NRI. yaitu pasal 7B. UUD.1945 yang bunyinya :
" Pasal 7B ( 1 ) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela ;
Kemudian Pasal 7B UUD.1945 dijadikan rujukan oleh UU.MD.3 yang terdapat didalam Pasal 36 dan Pasal 37 Paragraf 3 Tentang Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang pada saat masa jabatannya, MPR hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau
Wakil Presiden saat menjalankan masa jabatannya menurut ketentuan UUD. 1945. Oleh karena adanya inisiasi atau usulan daripada DPR. RI. Serta oleh karenanya
MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna MPR untuk memutuskan usul DPR mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden pada masa jabatannya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak MPR menerima usulan dimaksud. Dan usulan DPR harus dilengkapi dengan putusan Mahkamah Konstitusi bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela
Maka idealnya sesuai ketentuan bahwa tentang impeachment atau pemberhentian presiden dan atau wakil presiden, cukup melalui proses dari DPR RI ke MPR RI saja tanpa melalui proses panjang dan berliku serta menyita waktu yang harus melalui proses hukum di MK.
Dan jika merujuk dasar hukum yang tertera jelas pada pasal 1 ayat ( 2 ) konsitusi dasar UUD. 1945 yang isinya ada frase : " Kedaulatan berada ditangan rakyat ", maka jika para wakil rakyat yang dipilih secara langsung umum dan bebas serta rahasia/ LUBER, untuk duduk dikursi badan legislatif ( DPR dan DPD ) atau parlemen melalui sistim penyelenggaraan pemilu 5 tahun sekali, maka tentunya yang mewakili rakyat yang berdaulat yang dimaksudkan UUD. 1945 secara realitas maupun secara logika dan persepsi hukum selama ini representatifnya ( tepat mewakili ) adalah Para wakil rakyat yang terpilih, yang ada di- DPR RI dan MPR. RI sebagai badan legislatif yang anggotanya terdiri dari anggota DPR RI dan DPD RI. Bukan Para hakim MK.
" Bahwa oleh sebab bangsa dan negara ini dalam kehidupan sosialnya harus selalu berada didalam guiden rule of law (berpedoman hukum ), maka demi mendapatkan kepastian hukum dan berkeadilan, serta tidak terlepas daripada makna demokrasi pancasila yang dihubungkan dengan prinsip pilosofis ' rakyat berdaulat " harus dapat dipraktekan secara nyata dan sungguh - sungguh, bahwa kekuasaan pada hakekatnya pure/ murni berada ditangan rakyat, namun dalam praktek pelaksanaannya diwakili oleh kumpulan wakil rakyat yang representatif berada pada lembaga MPR RI. Bukan oleh dissenting serta voting dari anggota yudikatif yang hanya 9 orang hakim, yang keberadaanya ditetapkan oleh keputusan presiden.
Lalu logika bangsa yang bernalar sehat, cukup simple untuk mempertanyakan dilematika hukum ini, namun akan sulit dijawab oleh logika hukum dan nalar sehat, tentang, " mengapa rakyat yang mengangkat langsung presiden melalui one man one vote dari ratusan juta suara pemilu yang LUBER, dan secara representatif yang melantiknya juga melalui MPR RI, namun yang mendapatkan kuasa memberhentikannya bukan dikembalikan kepada para wakil rakyat yang sudah melalui proses sidang paripurna Dewan Perwakilan rakyat ( DPR RI - MPR RI ), namun kenapa yang memiliki hak " prerogatif " pemberhentiannya justru oleh 9 ( sembilan ) orang yang bukan dipilih langsung oleh rakyat ? Lalu, mengapa Para wakil rakyat bersedia dikebiri atau mengkerdilkan hak dan kewenangan yang mereka miliki melalui amandemen hingga melahirkan pasal 7B.
UUD. 1945
Maka kelak tugas Anggota MPR dan Presiden RI ( DPR RI dan DPD RI ) hasil Pemilu Caleg dan Pilpres 2024. Layak dan sepantasnya sesuai dasar ideologi negara Pancasila sebagai sumber hukum Nasional, serta berkesesuaian kepada sila ke- 4 " Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan perwakilan " mengamandemen kembali untuk menghapus atau meniadakan hak dan kewenangan MK. Terhadap pemberhentian presiden dan atau wakil presiden vide UUD. Pasal 7B Jo. Pasal 36 , 37 UU. MD.3
Sehingga demi ketaatan dan kepatuhan serta hirarkis sistim hukum ketatanegaraan. Selebihnya amat penting serta Ideal agar MPR dan Presiden yang baru terpilih di 2024, mesti berjuang demi pemaknaan atau nomenklatur serta fungsi yang tepat terhadap " kedaulatan ditangan rakyat " untuk berinisiasi melakukan amandemen kembali UUD. 1945 berikut merevisi atau menghapus dan atau merubah pasal - pasal pada semua sistim hukum sepanjang yang merujuk terhadap fungsi organ yang semestinya yakni subtansial tentang makna hukum " rakyat yang berdaulat " dan wakil rakyat yang sebenarnya adalah DPR. RI dan MPR RI. Sebagai kunci utama dan terakhir yang sah serta berkuasa penuh untuk pemberhentian presiden, bukan anggota yudikatif dengan jumlah hitungan jari sebanyak 9 orang hakim, yang notabene bukan pilihan langsung oleh dan dari rakyat melalui Pemilu, melainkan pilihan gotong royong/campuran, walau pencalonannya ( 9 orang hakim MK. ) dimaksud, melibatkan Mahkamah Agung ( yudikatif ), Presiden ( Eksekutif ) dan DPR RI. ( Legislatif ) namun penetapannya sebagai pejabat negara oleh dan atas dasar kekuasaan Presiden selaku penguasa kepala pemerintahan ( Vide UU.RI. No. 7 Tahun 2020 Tentang MK ) *" Sehingga dapat ditafsirkan dari sisi geo politik atau sistim politik dalam hubungannya dengan ketentuan - ketentuan dan kebijakan atau strategi serta kursi kekuasaan, adalah sarat dengan kepentingan penguasa yang hendak mempertahankan kekuasaannya "*