Khozinudin: Surat Terbuka untuk Pimpinan MPR RI Agar Kooperatif dan Siap Melakukan Sidang Istimewa untuk Memberhentikan Presiden Jokowi
Sabtu, 8 Oktober 2022
Faktakini.info
*SURAT TERBUKA UNTUK PIMPINAN MPR RI AGAR KOOPERATIF DAN SIAP MELAKUKAN SIDANG ISTIMEWA UNTUK MEMBERHENTIKAN PRESIDEN JOKOWI*
Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*
Koordinator Advokat Tim Advokasi Bambang Tri Mulyono (Penulis buku Jokowi Undercover)
Sebelum amandemen konstitusi, Indonesia mengadopsi sistem 'parlementer' dalam pengertian luas. Maksudnya, parlemen memiliki wewenang untuk memilih, menetapkan, sekaligus memberhentikan Presiden melalui forum MPR RI.
Kekuasaan parlemen melalui MPR memiliki kontrol efektif terhadap kekuasaan eksekutif. Presiden Soeharto dan Gus Dur lengser, tidak lepas dari kekuasaan parlemen di MPR.
Namun pasca amandemen konstitusi, pasca Pilpres langsung, sistem pemerintahan murni menjadi presidensiil. Presiden menjadi lembaga kuat, tidak bisa diberhentikan oleh parlemen.
MPR berubah hanya menjadi lembaga seremonial untuk melantik dan memberhentikan Presiden. MPR hanya melantik Presiden berdasarkan hasil Pilpres. MPR hanya memberhentikan Presiden berdasarkan putusan MK. MPR tak memiliki wewenang memilih dan memberhentikan Presiden.
Dalam gugatan perdata perbuatan melawan hukum yang diajukan klien kami Bambang Tri Mulyono yang telah terdaftar dengan nomor perkara : 592/Pdt.G/2022/PN.Jkt.Pst, kami telah membantu MPR agar lebih berfungsi secara progresif melalui mekanisme :
*Pertama,* kami menggugat Presiden Jokowi berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata, tentang perbuatan melawan hukum berupa membuat dan/atau menggunakan ijazah palsu dalam pencapresan pada Pilpres tahun 2019, untuk jabatan Presiden 2019-2024.
*Kedua,* kami tuntut Presiden Jokowi untuk dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum dan menyatakan berhenti dari jabatannya sebagai presiden periode 2019-2024.
*Ketiga,* kami minta MPR RI melakukan sidang istimewa dengan agenda penetapan pemberhentian Presiden Jokowi dari jabatannya.
Berdasarkan pasal 8 ayat (1) UUD 1945, dijelaskan :
_"Jika Presiden mangkat, *berhenti,* diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia digantikan oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya"_
Kami fokus pada alasan kedua, yakni Presiden berhenti dari jabatannya. Karena pernyataan Presiden berhenti, hanya bernilai hukum setelah ditetapkan oleh MPR. Maka, MPR harus bersidang untuk mengeluarkan ketetapan tentang pemberhentian Presiden.
Kami tidak mengajukan gugatan untuk memakzulkan Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur sebagai berikut:
_"Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden."_
Karena aktivasi pasal 7A ini harus bermula dari Hak Menyatakan Pendapat (HMP) DPR RI, Sidang Pemakzulan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), baru sidang istimewa oleh MPR RI untuk memakzulkan Presiden.
Kami ambil jalur potong kompas, untuk memudahkan MPR menetapkan pemberhentian Presiden dari jabatannya. Karena itu, kami berharap MPR dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tidak melawan isi gugatan kami dan menyatakan siap melaksanakan sidang istimewa untuk menetapkan pemberhentian Presiden Jokowi dari jabatannya. Soal siapa penggantinya, kami tidak ada urusan. [].