Jalih Pitoeng: Politik Identitas dan Identitas Politisi

 



Rabu, 9 November 2022

Faktakini.info, Jakarta - Politik indentitas akhir-akhir ini kembali dimunculkan dan berkembang isyu yang dituduhkan pada aksi 411 sebagai gerakan pemecah bangsa beredar diberbagai media.

Aktivis kelahiran betawi sekaligus alumni 212, Jalih Pitoeng sangat menyesalkan tudingan tersebut.

Dalam orasinya pada aksi 411, Jalih Pitoeng menyampaikan bahwa Aksi Bela Rakyat 411 adalah sebuah gerakan rakyat yang bersifat inclusive. Karena diikuti bukan hanya umat islam yang tergabung dalam FPI, PA 212 saja. Akan tetapi para pendukung aksi yang dimotori oleh GNPR (Gerakan Nasional Pembela Rakyat) juga didukung dan dihadiri oleh berbagai ormas-ormas islam serta ormas-ormas nasionalis lainnya.

"Ini adalah gerakan yang inclusive bukan gerakan yang exclusive" kata Jalih Pitoeng dalam orasinya pada Aksi 411, Jum'at (04/11/2022).

"Hari ini kita mengkonfirmasi bahwa aksi kali ini bukan hanya dihadiri dan didukung oleh umat islam, tapi juga oleh umat lain dan ormas-ormas lain selain ormas islam" terang Jalih Pitoeng.

Diketahui bahwa selain ormas-ormas islam yang tergabung dalam FPI dan PA 212, Aksi Bela Rakyat yang digelar oleh GNPR juga didukung dan dihadiri puluhan ribu massa aksi 411 dari berbagai daerah dan komponen bangsa seperti ASELI (Aliansi Selamatkan Indonesia), ARM (Aliansi Rakyat Menggugat), PEJABAT, Bang JAPAR, Jawara Betawi, Jawara Sunda Komunitas, Emak-emak, Mahasiswa serta berbagai Ormas, LSM dan Komunitas lainnya yang memiliki keperihatinan serta kepedulian terhadap nasib dan perjalanan bangsa saat ini.

Saat dihubungi, aktivis yang dikenal sangat kritis inipun menyampaikan bahwa soal politik indentitas itu sudah selesai sejak Indonesia merdeka.

"Banyak orang mengomentari masalah tanpa menguasai dan memahami masalahnya" ungkap Jalih Pitoeng, Rabu (09/11/2022).

"Makanya hadir, ikut dan fahami aksi kami. Baru komentari" pinta Jalih Pitoeng.

"Saat ini banyak orang berkomentar tentang politik indentitas. Tapi tidak banyak orang yang peduli dan mencermati tentang indentitas pilitisi. Seperti yang pernah digugat soal dugaan ijasah palsu presiden Jokowi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kemarin" sesal Jalih Pitoeng.

"Jadi menghembuskan isyu politik indentitas saat ini menurut pendapat saya adalah suatu kemunduran. Karena kami umat islam faham betul tentang keberagaman, kebhinekaan dan toleransi yang dibungkus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI" lanjutnya.

Masih menurutnya, politik indentitas tidak perlu lagi dihembus-hembuskan dan dikhawatirkan terlalu berlebihan karena sudah selesai sejak Indonesia merdeka. Dan semua itu telah dituangkan dalam UUD  1945 sebagai pedoman berbangsa dan bernegara.

"Negara menjamin warganya dalam menjalankan syari'at agama dan kepercayaannya. Artinya kita juga tidak pernah usil jika umat lain ingin menjalankan syari'at agama mereka. Bahkan kita sangat menjunjung tinggi kebhinekaan dan nilai-nilai toleransi" Jalih Pitoeng melanjutkan.

"Contoh saat Nyepi di Bali. Semua kegiatan tutup. Penerbangan, Pelabuhan, bahkan bisnis terhenti, Itu bukti bahwa kita sangat menghargai kebhinekaan dan toleransi" Jalih Pitoeng menegaskan.

Ditanya apakah aksi-aksi tersebut merupakan upaya penggalangan massa untuk mendukung salah satu capres mendatang, Jalih Pitoeng spontan menjawab.

"Itu bukan kompetensi saya untuk menjawab" jawab Jalih Pitoeng.

"Namun saya sangat meyakini bahwa aksi-aksi kami selama ini tidak ada kaitannya dengan dukung-mendukung apalagi jegal menjegal tentang copras-capres. Kami masih menunggu keputusan Ijtima ulama secara resmi" Jalih Pitoeng menegaskan.

"Aksi kami hanya menuntut keadilan dan hukum ditegakan. Terutama terhadap beberapa kasus kemanusiaan yang saya sebut sebagai hutang negara kepada rakyat" sambungnya.

Saat ditanya mengapa aksi tersebut meminta Jokowi mundur, Jalih Pitoeng yang merupakan salah satu prinsipal yang pernah menuntut Jokowi mundur bersama Eggi Sudjana dkk di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat inipun menjawal lugas.

"Meminta Jokowi mundur adalah hak konstitusional masyarakat yang dilindungi oleh undang-undang. Bahkan undang-undang tertinggi di bangsa ini yaitu UUD 1945" Jalih Pitoeng mengingatkan.

"Sehingga jika ada yang nyinyir apalagi melarang dan menghalang-halangi aksi unjuk rasa, justru mereka tidak faham dalam memaknai hakikat Demokrasi, Pancasila dan UUD 1945 sebagai konsensus para ulama dan pendiri bangsa. Mereka lupa sejarah. Atau sengaja mendistorsi sejarah bangsa ini" pungkas Jalih Pitoeng.